Skip to main content

Hari ini, siapa sih yang tak kenal “taqiyah”? Istilah ini bahkan kian popular setelah dijadikan bulan-bulanan oleh segelintir takfiri beragama wahhabi. Modusnya: istilah itu dicuri dari khasanah Islam untuk kemudian dibonsai maknanya lalu disesat-artikan menurut birahinya untuk mengecoh masyarakat agar ikut mengafirkan artikulatornya, yaitu mazhab keislaman Syiah.

Target utama kaum takfiri dalam menjungkirbalikkan maksud “taqiyah” bukan hanya mendiskreditkan mazhab Syiah dan mengecoh penganut mazhab keislaman lainnya. Lebih jauh lagi, meneror dan mencipta ketakutan di lubuk hati setiap muslim Syiah. Artinya, kaum takfiri bernafsu hadir di tengah muslim Syiah sebagai momok sekaligus juru bicara Syiah yang paling kompeten dalam memaknai taqiyah dan konsep-konsep khas lainnya.

Karena itu, diperlukan klarifikasi terkait makna taqiyah. Ini perlu dilakukan agar tidak ada lagi korban yang jatuh dalam buaian intrik takfiri, utamanya dari kalangan internal muslim Syiah sendiri yang justru memahami taqiyah dari teror kelompok takfiri.

Sebelum menjadi doktrin teologi, taqiyah sendiri merupakan putusan logis yang bersumber dari sense of priority. Bahkan sebelum menjadi aksioma kognitif “mengutamakan yang terpenting dari yang penting”, taqiyah merupakan respon intuitif yang mendahului premis-premis yang mengisi slot pikiran kaum homo sapien.

Taqiyah Formal dan Materal

Taqiyah, sebagaimana terma-tema dalam khasanah filsafat dan agama, berdimensi formal dan material. Ada kalanya ia bersembunyi dalam lipatan kata-kata dan narasi, ada kalanya pula terungkap dalam ujaran dan konten tematik. Bagaimana mendeteksinya? Mudah msaja. Pelototi saja lindikator-indikatornya secara nalar. Tapi ada syaratnya: jangan ada prasangka stereotipe di antara nalar dan indikator taqiyah.

Umatu pada umumnya, baik menurut Sunni maupun menurut Syiah meski berbeda terma dan dan aplikasinya, memperbolehkan prevensi dan proteksi demi melindungi Muslim dari bahaya apa pun dalam konteks iman maupun kehidupan duniawi. [Shahih Bukhari hadis 5780, 5685 dan 5707, Al-Qurthubi, Al-Jami’ li Ahkamil-Quran 10: 180, Al-Imam Malik, Al-Mudawaanah Al-Kubra, 3: 29, Al-Hakim, Al,-Mustadrak, 2: 91, Al-Baihaqi, As-Sunan Al-Kubra, juz 8 : 209, As-Suyuthi, Ad-Durr Al-Mantsur, 10 : 16, Ibn Sa’d, Ath-Thabaqat Al-Kubra, 3 : 249].

Janganlah orang-orang beriman menjadikan orang kafir sebagai pemimpin urusan orang-orang beriman. Barang siapa berbuat demikian, maka sama sekali bukan dari Allah, melainkan karena ketakwaan demi menjaga diri dari sesuatu yang kamu takuti dari mereka. Dan Allah memperingatkan kamu akan diri(siksa)-Nya dan hanya kepada Allah kembali.

Kebolehan taqiyah tidak khusus untuk ketakwaan seorang Muslim dari seorang kafir, melainkan kebolehannya meluas, bahkan mencakup taqiyah seorang Muslim dari seorang Muslim. Para fuqaha mendukung makna ini.[Al-Fakhr Ar-Razi, At-Tafsir Al-Kabir pada tafsir ayat 28 surah Ali Imran]

Banyak ulama Sunni – di antaranya Syafi’i – menyatakan bahwa diperbolehkan bagi seorang Muslim untuk takut kepada seorang Muslim untuk melindungi dirinya sendiri.[Al-Inshaf, juz 2 : 330 – 331].

Kaum Syi’ah juga menyimpulkan kebolehan taqiyah dengan ijmak yang bulat.[Al-Karaki, Ar-Rasa’il juz 2 : 21, Al-Bujnuwardi, Al-Qawa’id Al-Fuqhiyah, juz 5 : 50)

Hal itu juga diambil dari ijmak dalam beberapa literatur Sunni.[Al-Qurthubi, Al-Jami’ li Ahkam Al-Qur’an, tafsir 28 surah Ali Imran]

Intimidasi yang sangat intensif dan ekstensif terhadap kaum Syiah sepanjang sejarah, terutama di era dinasti Umayyah dan Abbasiyah, menjadikan taqiyyah sebagai kebutuhan bagi kelangsungan eksistensi Syiah.

Taqiyah dibagi dalam beberapa bagian yang terkait dengan aturan dan hukumnya. Syekh al-Mufid membaginya menjadi wajib, haram, mustahab (dianjurkan), dan mubah (diperbolehkan).

Jika seseorang takut bahaya menimpa dirinya sendiri, maka taqiyah berlaku wajib. Jika takut bahaya atas hartanya, maka taqiyah berlaku mubah (diperbolehkan). Beberapa riwayat memasukkan alasan bahaya atas tubuh (cedera) diri dan keluarga sebagai taqiyah yang wajib. Sedangkan taqiyah yang dianjurkan adalah mendoakan dan mengunjungi orang yang bisa dihindari efek buruk tindakan dan sikapnya. Adapun taqiyah yang diharamkan adalah melakukan hal-hal yang mutlak haram seperti pertumpahan darah, pembongkaran Ka’bah, minum alkohol, dan meninggalkan salah satu hal prinsipal dalam agama.

Tentu ironis bila taqiyah harus diungkap dan dibincangkan, terlebih dalam bayang-bayang fitnah takfirisme. Karenanya, betapa berat beban intelektual dan emosional yang harus dipikul para pihak yang sudah berusaha mati-matian menghadirkan seutas narasi alternatif dan interpretasi dalam wawasan rekonsiliasi, namun dipaksa pula untuk menjadi objek yang bungkam bagi sinisme, dan tuduhan-tuduhan berat.

Menggagalkan Agenda Peredaan

Mengungkap strategi detensi sejumlah orang sekeyakinan di ruang publik yang sebagiannya adalah musuh takfiri dengan sengaja mengabaikan asas tabayyun secara tertutup kepada pihak-pihak yang menyusunnya setelah diskusi panjang dan berkonsultasi serta direstui oleh pihak otoritatif kemudian menuduh strategi tersebut sebagai menyesatkan dan tuduhan keji provokatif lainnya meski diselingi dengan ungkapan palsu menanti tangggapan padahal bertujuan menjadikannya sebagai bahan polemik di ruang publik adalah tindakan tendensius yang membahayakan komunitas sekeyakinan.

Sadar diri merupakan kata sekaligus pilihan kunci untuk menyetop libido mengagresi yang begitu menggelegak. Kedengkian atau kepongahan bisa berubah menjadi kutukan! Maksud hati mempertontonkan keterampilan beratraksi dengan beberapa teks yang miskin konteks, yang terjadi malah pamer kenaifan. Simptom ni tak hanya membuat subjek terisolasi dan teralienasi dalam ruang hampa simulakra megalomaniak yang luar biasa absurd, namun menjadikan komunitas yang mulai sadar makna konsolidasi sebagai tumbal yang terus diseret-seret ke dalam lubang gelap stigma ambisius transnasionalisme dan jurang politisasi agama yang justru melawan arahan Wali Faqih.

Semoga tersisa secercah harapan semua pihak untuk saling menghormati dan berdialog dengan cara beradab dan komunikasi yang konstruktif. Inilah basirah, sebuah sikap yang ditentukan oleh kesadaran memprioritaskan kelestarian komunitas yang mungil ini di tengah mayoritas.