PRIMADONA pemilu 2009 ternyata bukan partai, juga bukan caleg, melainkan DPT (daftar pemilih tetap) dan Herman S Sumawiredja, jenderal polisi bintang dua. Lho. kok polisi, bukannya politisi? Memang bukan politisi. Tapi polisi dan politisi sekarang kan nyaris tak ada bedanya.
Paling tidak, itu yang dirasakan Irjen Herman. Soalnya, konon gara-gara mau menindak Ketua KPUD Jatim, yang “patut dapat diduga” menyulap DPT pada pilgub Jatim, sehingga kandidat dukungan partainya Presiden menang, jabatannya sebagai Kapolda Jawa Timur langsung dicopot Kapolri.
Petinggi Polri, ternyata juga seperti bos partai politik zaman Orba bila me-recall anggota DPRnya yang tidak sejalan, membantah keras Mabes intervensi urusan demokrasi. “Itu hanya pergantian antar-waktu biasa, PAW yang sudah dipersiapkan jauh hari sebelumnya!” Kita hanya bisa ketawa mendengar alasan klise parpol yang begini. Ketawa kita jadi lebih keras karena alasan model begini masih juga dipakai, oleh Mabes Polri lagi. Padahal zaman sudah kian transparan. Informasi apa pun gampang diakses. Termasuk info siapa yang bisa menembus mesin DPT, dan menggelembungkan angkanya.
Makanya, masuk akal bila bos sejumlah parpol, seperti Jusuf Kalla, Prabowo, Megawati, dan beberapa lainnya yang tak perlu disebut namanya, langsung meradang melihat modus operandi yang canggih di Jatim itu. Apalagi setelah terbukti di banyak tempat ternyata juga muncul DPT fiktif itu. Angka penggelembungannya berkisar antara 20 hingga 30 persen.
Jadi kalau total DPT nasional 171.265.442 sesuai Perppu No 1/2009, maka jumlah pemilih yang dikategorikan “pemilih siluman” itu sekurang-kurangnya 42,8 juta, setara dengan 25 persen. Artinya, bila pemilih siluman itu di-pool di satu partai, tanpa harus kerja keras dan cukup tiduran di rumah, parpol perekayasa DPT siluman itu sudah bisa dipastikan bakal lahir sebagai pemenang pemilu 2009.
Jadi bila ini dibiarkan, maka pemilu 2009 untuk pertama kalinya dalam sejarah pemilu di muka bumi, akan melahirkan “bayi tabung”. Kok bayi tabung? Lho, bayi tabung itu kan bayi yang “proses pembuahannya” tidak melalui mekanisme biologis biasa. Sperma dan indung telur disatukan di dalam tabung di laboratorium. Setelah itu baru dikirim ke dinding rahim.
Dalam pemilu, yang disebut rahim itu ya KPU. Jadi kalau KPU-nya penyakitan, apalagi kalau tidak jujur dan ada kankernya, dijamin bayi yang dilahirkannya bakal mengalami “cacat bawaan”. Itu yang terjadi pada pemilu 2004 lalu. Akibatnya sedang kita rasakan sekarang. Ada yang kerjanya bohong melulu, ada yang korupsi melulu, dan tidak sedikit yang bisu dan tuli bila menyangkut urusan perut rakyat.
Proses “pembuahan in vitro” dalam pemilu 2009 ini, menurut pengamatan ahli geneologi politik kita, biasanya dimulai dengan merekayasa hasil survei, kemudian dipublikasikan ke publik dengan amat gencarnya, tanpa alasan jelas apa urgensinya hasil survei itu diiklankan segala. Misalnya, menurut survei, Partai A dapat 10 persen, Partai B 15 persen, Partai C 20 persen, dan Partai D 25 persen, lalu dinobatkan sebagai pemenang pemilu, sebab sisanya diperebutkan oleh partai E, F, G, H, dst. Padahal pemilunya saja belum kejadian. Dalam ilmu tanaman, gaya begini disebut “planting”, tapi yang ditanam informasi sesat soal hasil survei itu.
Kalau DPT bisa disebut “sperma” demokrasi, maka surat suara adalah “indung telurnya”. Tapi dengan teknologi manipulasi yang canggih, “sperma siluman” itu dikawinkan dengan “indung telur fiktif”. Maksudnya, kertas suara dicontreng di luar TPS lalu ditanam di rahim KPU. Maka dengan “planting information” itu, membuat kita terlena. Percaya kalau Partai D sungguh-sungguh meraih suara 25 persen..
Pertanyaannya, apakah akan kita diamkan proses pemilu yang tidak wajar ini? Artinya kita membantu proses lahirnya anak siluman dalam rumah demokrasi kita. Kalau kita beragama dan bermoral, tentu akan menghentikan proses “bayi tabung” demokrasi yang ajaib dan palsu ini. (artikel ini ditulis oleh Oleh Adhie M Massardi dan dicopy dari milis jurnalisme)