Skip to main content

Melarang perbuatan buruk bukan pertanda tak melakukannya meski sebagian pelarang berharap yang dilarang beranggapan begitu karena melarangnya lebih mudah dari tak melakukannya dan karena pula mengira melarangnya sama mulianya dengan tak melakukannya.

Sebagian koruptor sebelum tertangkap tangan melakukan korupsi dan ditahan sebagai koruptor mengecam korupsi dan koruptor demi mengalihkan perhatian dari praktik korupsi yang telah, sedang dan akan dilakukannya.

Menganjurkan perbuatan baik bukan jaminan melakukannya meski sebagian penganjur berharap yang dianjurkan beranggapan begitu karena menganjurkannya lebih mudah dari melakukannya, karena pula mengira menganjukannya sama dengan melakukannya.

Sebagian pelaku intoleransi menganjurkan dan memberikan pernyataan mendukung toleransi sebagai modus mencitrakan diri sebagai toleran dan moderat agar sepak terjangnya yang diskriminatif terhadap kelompok minoritas tidak mendapat perhatian dari masyarakat dan media.

Bicara tentang akhlak baik supaya dianggap pasti telah mempraktikkan semua ajaran akhlak, miimal setengahnya. Awam yang karena malas berpikir kritis, mengandalkan sangka baik (husnudhon ilegal) mengagumi penyampai (ustadz gadungan atau intelektual abal-abal) yang modal keahliannya hanya menerjemah pun dengan aplikasi translate, mencomot artikel penulis di luar sana atau konten ceramah seorang agamawan di daerah dan lingkungan yang hampir pasti tak terjangkau awam.

Post truth yang memenjara publik dalam penjara imagologi menjadi sumber income yang takkan pernah habis baginya. Sekuat itu posisinya dan sebodoh itu followernya, sehingga bila terbukti melakukan kejahatan, awam membantahnya atau memaafkannya atau menafsirkannya dengan justifikasi yang menguntungkannya.

Dalam budaya kehidupan digital yang sebagian besar dibangun di atas post truth dan imagologi yang menjungkirbalikkan standar moral dan sistem nilai, kebaikan dan kebenaran tidak lagi ditentukan oleh esensi dan penerapannya dalam interaksi real namun ditentukan oleh penerapannya dalam interaksi virtual dan imajinal. Karenanya, kebaikan dan kebenaran pun ditentukan oleh pemilik pengaruh dan besarnya respon pengaruh terhadapnya.

Tak mengherankan bila banyak warga dunia digital yang mencoba berebut pengaruh engagement demi mendapatkan legitimasi dan otoritas (menurut standar media sosial) juga feedback benefit finansial dengan membagikan konten seunik dan semenarik mungkin secara visual tentang spiritualitas, cinta, optimisme, kebebasan, kesehatan, kesejahteraan, kesuksesan, dan semua yang disuka warga media sosial, entah orisinal atau kutipan atau bahkan jiplakan, demi menjaring pengaruh dan engagement sebanyak mungkin respon, termasuk kontra.

Ketika kebaikan dan kebenaran didefinisikan secara diam-diam tapi masif oleh sentra-sentra global big data sebagai apa yang paling disuka dan banyak dibagikan serta ramai dibincangkan, maka itu berarti ia telah dipisahkan dari esensi transendennya. Itulah moralitas virtual.

Salah satu indikator terjangkiti virtual syndrome adalah menyukai info yang telah diketahui dan pandangan yang telah diyakini yang berarti menolak info yang tak diketahui dan membenci pandangan tentang apapun yang tak diyakini, termasuk politik dan agama,

Indikator lainnya adalah mengutamakan asesoris atas substansi sehingga menetapkan kehebohan, viralitas dan visualitas atau pengaruh psikologis yang subjektif sebagai parameter kebenaran kontennya. Karena penyampainya adalah sosok yang santer dikabarkan baik atau tenar atau punya banyak follower atau tampan atau cantik, muda, kaya raya, cara berpakaiannya unik, selalu pakai kancut misalnya, maka apa yang disampaikannya ditetapkan benar dan produk yang direkomendasikannya divonis bagus.