Bentrok Antar kelompok (Sunni) di Irak
Baghdad, Kamis - Kelompok Sunni terlibat bentrokan berdarah dengan kelompok Al Qaeda di timur laut ibu kota Baghdad. Peristiwa ini mencerminkan kian parahnya perpecahan horizontal di Irak. Sebelumnya, kedua kelompok ini bekerja sama untuk memerangi pasukan Amerika Serikat dan pemerintahan Syiah Irak.
Bentrokan dipicu oleh serangan sekitar 200 anggota Al Qaeda ke Desa Ibrahim al-Yehia dan Sheik Tamim di Provinsi Diyala, Kamis (23/8) pagi. Brigadir Polisi Ali Delayan, yang bertugas di Baqouba, mengatakan, kelompok Al Qaeda menembaki kedua desa itu dengan mortir sebelum melancarkan serbuan.
Dalam peristiwa itu, setidaknya 15 warga Sunni tewas dan 22 lainnya luka-luka. Salah seorang korban tewas adalah Sheikh Yunis al-Tae, imam masjid dan pemimpin desa. Jumlah korban tewas diperkirakan akan bertambah karena ada sejumlah warga yang masih terjebak di bawah reruntuhan bangunan.
Serangan Al Qaeda itu memicu kemarahan kelompok bersenjata Sunni di desa tersebut. Mereka balas menyerang kelompok Al Qaeda dan menewaskan setidaknya 10 anggota Al Qaeda.
Bentrokan antara kelompok Al Qaeda dan kelompok Sunni di Diyala menggambarkan semakin kerasnya pertikaian horizontal di Irak yang dipicu oleh perebutan kekuasaan. Reuters, Kamis, menuliskan, hingga beberapa bulan yang lalu, Al Qaeda dan kelompok Sunni bekerja sama memerangi pasukan AS dan pemerintahan Irak yang dipimpin kelompok Syiah.
Associated Press (AP) pada hari yang sama melaporkan, sejumlah kelompok Sunni yang sebelumnya menjadi sekutu Al Qaeda kini balik menentang. Pasalnya, Al Qaeda dianggap semakin brutal dan tindakannya sering mengakibatkan terbunuhnya warga sipil. Selain itu, Al Qaeda dianggap memaksa kelompok Sunni untuk menerima interpretasi mereka atas Islam.
Pemberontakan kelompok Sunni itu, lanjut AP, mulai muncul secara spontan di Provinsi Anbar, salah satu benteng pertahanan kelompok perlawanan Sunni di Irak barat. Pemberontakan itu kemudian menyebar ke Diyala dan beberapa daerah di Baghdad. Situasi ini makin mengancam keamanan di Irak, termasuk pasukan AS.
Rabu lalu, Presiden AS George W Bush menuduh para pemimpin Irak tidak sanggup mengendalikan keamanan. Tuduhan itu langsung dibantah PM Irak Nuri al-Maliki.
Pada kesempatan yang sama, Bush juga menyatakan bahwa penarikan pasukan AS dari Irak secara terburu-buru akan mengakibatkan kerusuhan dan pertumpahan darah di Irak. Situasinya akan mirip dengan situasi di Vietnam ketika ditinggalkan pasukan AS tiga dekade lalu.
Pemerintah dan rakyat Vietnam marah atas pernyataan Bush. "Tidakkah dia sadar bahwa jika AS bertahan di Vietnam lebih lama, mereka akan membunuh lebih banyak orang. Tak seorang pun yang menyesali berakhirnya Perang Vietnam kecuali Bush," kata Vu Huy Trieu, seorang veteran Vietnam yang ikut berperang melawan pasukan AS. (AP/AFP/REUTERS/BSW)
sumber: Kompas, 24 Agustus 2004.