BERANI MATI ATAU BERANI HIDUP?
Pandemi virus corona tak jua berakhir. Bahkan belakangan kian menggila dan makin ganas. Lebih lagi, petaka global itu ikut menciptakan serangkaian petaka lain.
Salah satunya adalah kecemasan yang menginvasi zona nyaman dan aman kita. Bagaimana tidak?
Setiap hari, berita kematian datang bertubi-tubi. Jumlah orang yang terjangkit terus melonjak ke angka nan fantastis. Bunyi sirine ambulan yang meraung-raung rutin menampar kendang telinga.
Suasananya benar-benar mencekam, seolah tak ada lagi jarak antara kita dan kematian. Malaikat maut bisa tiba-tiba mencerabut nyawa siapa, kapan, dan di mana pun.
Monster super mikro itu juga laksana hantu gentayangan. Jalanan dibuat senyap akibat peraturan dan gelap akibat pemadaman. Semua itu melukiskan dunia yang kita huni tak lagi aman.
Sebagian orang berusaha kabur dari kecemasan. Modusnya macam-macam. Kalangan non-religius, sekular, hingga anti agama cenderung melancarkan kontra narasi. Pandemi, katanya, cuma akal-akalan, hasil konspirasi, dan sebagainya.
Kalangan relijius sendiri, khususnya Muslim, terbelah dua; yang serius dan tidak serius beragama. Kaum religius yang tidak serius beragama cenderung pamer dan cerewet menolak fakta pandemi hingga membangkang pelbagai aturan sosialnya, atas nama Tuhan.
Mereka pun enteng mencemooh siapa pun yang mematuhi protokol kesehatan. Mengolok-olok mayoritas yang rela mengantri vaksinasi sebagai orang-orang yang takut mati dan tak percaya takdir Ilahi.
Kaum relijius yang serius beragama justru kebalikannya. Mereka dididik agama untuk taat aturan dan fakta. Itulah mengapa mereka tidak berusaha kabur dari kecemasan. Justru mereka menjadi yang pertama mengamini fakta pandemi dan ikut aturan demi mengakhirinya.
Mengapa mereka tidak ikut terseret dan larut dalam arus kecemasan global? Poinnya terletak pada jenis kecemasan itu sendiri. Kecemasan sebagai buah petaka pandemi sepenuhnya bersifat psikologis.
Kecemasan macam ini merupakan reaksi jiwa terhadap pikiran. Semakin kalut pikiran, semakin cemas. Justru kecemasan inilah yang membuka pintu bagi kematian. Diakui atau tidak, inilah derita jiwa yang sesungguhnya.
Apakah itu artinya kalangan yang serius beragama tidak mengalami kecemasan? Tidak juga. Mereka juga mengalami kecemasan. yaitu kecemasan ontologis.
Kecemasan ontologis merupakan reaksi jiwa terhadap Tuhan. Mereka cemas, misalnya, jika bermaksiat kepada-Nya, gagal mendapatkan keridhaan-Nya, lalai menjalankan amanat Ilahi, dan seterusnya.
Alhasil, orang yang wafat telah bebas dari kecemasan dan derita psikologis. Namun, siapa saja orang yang berusaha tetap hidup harus siap menjalaninya.
Dalam situasi teramat sulit seperti saat ini, tetap hidup adalah perjuangan mulia. Tentu banyak jalan menuju tetap hidup. Salah satunya dengan taat aturan dan protokol kesehatan.
Dalam wawasan agama, mengingat kematian termasuk salah satu ibadah terbaik. "Cukuplah kematian (seseorang yang dekat denganmu atau dikenal) sebagai nasihat (penyadar)," sabda Nabi saw.
Ya, bagi manusia yang waras, kematian (sebagai metafor dari petaka pandemi) justru kian mengintensifkan kecemasan ontologisnya yang jauh melampaui kecemasan psikologisnya.
Di tengah wabah, misalnya, ia akan cemas jika tak membantu sesama. Kematian sendiri baginya bukan soal fenomena, tapi substansi dan konstruksi berupa keridhaan-Nya dan perjumpaan dengan-Nya yang begitu dirindukan.
Lain hal dengan orang yang jatuh ke level kecemasan psikologis. Kematian di matanya selalu tampak mengerikan dan absurd. Inilah kecemasan negatif dan kematian destruktif.
Pemberani bukanlah orang yang tak takut mati tapi tak takut hidup.