Baru-baru ini ada tulisan yang disebarkan berkenaan berbuka puasa dengan yang manis-manis. Tulisan itu mengatakan bahwa tidak baik berbuka puasa dengan yang manis-manis karena gula yang kita gunakan merupakan bentuk karbohidrat sederhana. Sedangkan gula pada kurma yang biasa dikonsumsi Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa Sallam ketika berbuka merupakan bentuk karbohidrat kompleks.
Terus terang ada keraguan menerimanya karena kurma yang saya coba selalu manis sejak di Indonesia sampai di Arab Saudi, baik dalam bentuk ruthab atau tamr. Paling kalau ruthab ada sepet-sepetnya sedikit. Juga dalam artikel itu ada penukilan riwayat “Makanlah hanya ketika lapar, dan berhentilah makan sebelum kenyang” yang seingat saya lemah (tapi bukan berarti lantas boleh makan berlebihan lho). Sebagian ikhwah juga menerangkan bahwa ada kekeliruan dalam komposisi gula kurma yang disebutkan artikel itu.
Sumber yang saya rasa cukup dapat dipercaya adalah dari FAO. Dari bibliorafinya dapat kita lihat bahwa dokumen itu bersumberkan dari banyak penelitian-penelitian di Timur Tengah. Juga yang dibahas adalah kurma segar dalam berbagai fasenya. Kita fokuskan pada fase ruthab dan tamr yang dikonsumsi Rasulullah saw. (http://aridha.multiply.com)
Lihat bagian artikel terkait di:
http://www.fao.org/docrep/t0681E/t0681e03.htm#1.2.b
Terutama grafik berikut:
http://www.fao.org/docrep/t0681E/T0681E35.gif
Fokuskan perhatian pada grafik perubahan komposisi. Total proporsi gula pada kurma memuncak pada fase ruthab, sedangkan secara bobot berpuncak di fase tamr. Sukrosa menurun karena berubah ke bentuk glukosa dan fruktosa dan ketiga bentuk itu adalah karbohidrat sederhana.
Tentunya di sini bukan berarti lantas kita berlebih-lebihan dalam memakan yang manis-manis. Ingatlah bahwa Rasulullah saw mencukupkan diri beliau dengan tiga butir kurma dan air.