Skip to main content

Boom! HK menggebrak media sosial. Kemasan visualnya biasa-biasa saja. Narasinya pun kadang hanya kalimat-kalimat yang diulang-ulang. Tapi gaya ceplas ceplos dan pernyataan vulgar tanpa sensor itu justru menjadi magnit melejitkan nama dan channelnya, terutama bagi warganet yang sepemikiran. Begitulah rezim algoritma.

Karena mengandalkan spontanitas dan otensitas, tentu terlihat tidak santun tidak rapi. Sebagian yang menentang para habib penggerak umat intoleran dan sepemikiran dengannya menyesalkan blunder yang kerap terlontar dari mulutnya. Ada pula yang menganggap kehadiran HK di medsos kontraproduktif karena para penentangnya terutama kalangan radikalis, mencoba menghentikan laju popularitasnya dengan mengaitkan HK dengan Syiah yang terus digempur dengan stigma sesat bahkan kafir yang bisa menyulitkan komunitas penganutnya. Namun, anggapan itu rapuh. Tanpa HK pun, Syiah akan tetap dibenci oleh para pemimpi khilafah juga pembid’ah maulid. Hampir semua tokoh toleran dilempari stigma Syiah agar dianggap sesat lalu dikucilkan.

Blunder HK yang paling fatal adalah pernyataan soal eksistensi keturunan Yaman sebagai penumpang di sini (plus ejekan pulang saja ke kampung halaman yang tandus, miskin, dan primitif itu). Ini justru bertentangan dengan esensi kebangsaan yang merupakan produk konsensus dari Sumpah Pemuda. Pernyataan absurd itu selain memberi pupuk segar falasi rasisme, melibas dirinya sebagai bagian nyata dari subjek. Mestinya reaksi terhadap perilaku buruk sejumlah oknum habib diisi dengan narasi kebhinnekaan dan kesetaraan.

Terlepas dari blundernya, HK mengingatkan kita bahwa sebagian kesantuan dan kerapian diksi hanyalah pencitraan dan kepalsuan hasil setingan.

HK merefresh memori kita kepada salah satu mantan gubernur DKI yang lugas dan ceplas ceplos. Kebetulan keduanya dari etnis minoritas. Bedanya, HK bukan politikus, bukan pejabat, bukan akademisi dan bukan agamawan. Dia secara sosial, bukan siapa-siapa. Karena bukan siapa-siapa, dia “berhak” tidak rapi.

Mengutip komentar salah seorang dosen, HK penting untuk melawan glorifikasi dua nama selainnya pasca proses hukum mereka, untuk meyakinkan awam dengan “bahasa Indonesia” bahwa yang sedang dipenjara bukan Nelson Mandela.

Meski cara dan diksinya mengakibatkan beberapa blunder, HK tetaplah protagonis. Mensejajarkannya dengan para pengamen di panggung umat tidaklah adil.

Semoga dia belajar dari blunder, menerima kritik kontstuktif dan terus menyempurnakan konten-kontennya dengan memperbanyak kosa kata, menghindari generalisasi tetutama tentang bangsa, suku, etnis dan kelompok serta tidak keluar dari tema intoleransi dan kapitalisasi agama.