Bui Tanpa Jeruji Besi

Bui Tanpa Jeruji Besi
Photo by Unsplash.com

Sebuah tulisan yang patut direnungkan dan dijadikan sebagai bahan introspeksi buat setiap manusia Indonesia yang cinta bangsanya. Setuju atau tidak, itu tidak penting. Silakan membacanya.

Mereka berangkat membawa tugas dari bangsa. Terhalang pulang karena pergolakan politik 1965. Banyak di antara mereka yang bergelar doktor.

Selama bertahun-tahun, peristiwa 1965 atau G.30.S hanya diketahui oleh masyarakat Indonesia sebagai peristiwa penculikan dan pembunuhan enam jenderal dan satu perwira pertama Angkatan Darat. Sementara itu peristiwa yang terjadi sesudahnya, yakni pembantaian massal dan penangkapan besar-besaran anggota dan simpatisan PKI sama sekali tak pernah mencuat ke ranah publik. Orde Baru menulis sejarah secara parsial: hanya menulis apa yang berkaitan langsung dengan kepentingan Soeharto sebagai penguasa: legitimasi kekuasaan.

Pada masa Orde Baru, sejarah yang disampaikan kepada masyarakat ternyata bukan sejarah yang sepenuhnya mencerminkan kebenaran. Kebenaran dalam sejarah pergolakan politik 1965-1969 banyak terpendam di dalam memori korban, pada relung-relung ingatan mereka yang ditindas selama Soeharto berkuasa. Cerita itu beredar dari mulut ke mulut, di kalangan korban dan sanak familinya, tanpa pernah dituangkan ke dalam sebuah buku sejarah yang kemudian diajarkan kepada generasi muda: bahwa suatu ketika, di Indonesia, pernah terjadi pertumpahan darah yang rekornya bisa menyamai Holocaust oleh NAZI di Jerman.

Kejatuhan Soeharto pada 21 Mei 1998 menjadi pertanda baik bagi penulisan sejarah tragedi kemanusiaan 1965-1969. Mereka yang semula terpasung dan dibungkam satu per satu angkat bicara tentang perlakuan apa saja yang Orde Baru lakukan pada mereka. Pada saat itu pula semua orang tahu tentang apa yang Orde Baru lakukan di awal kekuasaan mereka. Tentu saja tak semua orang menerima pengakuan itu dan bahkan ada banyak pihak tampaknya antipati terhadap usaha untuk menulis sejarah kelam rezim Orde Baru.

Dari sekian peristiwa kemanusiaan yang terjadi sepanjang tahun 1965-1969, mulai dari pembunuhan massal sampai dengan penangkapan paksa, persoalan eksil masih belum diketahui secara luas oleh masyarakat. Benar beberapa tahun belakangan terbit beberapa buku yang menuliskan kehidupan eksil di Eropa, seperti yang ditulis oleh Imam Soedjono dalam Yang Berlawan, biografi Ibrahim Isa, Umar Said, JJ Kusni, Sobron Aidit dan menyusul akan terbit biografi Mawie Ananta Jonie, eks mahid-cum-penyair yang kini menetap di negeri Belanda. Namun demikian, kendati banyak buku mengenai eksil diterbitkan, persoalan ini belum lagi menjadi pengetahuan masyarakat luas.

Kaum eksil (exile) adalah mereka yang terhalang pulang akibat peristiwa Gestok 1965. Mereka terdiri dari para mahasiswa ikatan dinas (Mahid), diplomat dan wartawan yang sedang ditugaskan mewakili bangsa dan negara di luar negeri. Paspor mereka dicabut karena dituduh terlibat dalam peristiwa G.30.S 1965 atau terkait dengan organisasi yang dilarang Orde Baru, PKI.

Sebagian besar eksil terdiri dari Mahid. Sekira akhir 1950-an sampai dengan 1965 ada banyak pemuda Indonesia yang dikirim ke luar negeri untuk tugas belajar. Mereka menimba ilmu di berbagai perguruan tinggi terkenal di beberapa negara Eropa, barat maupun timur.

Tak pernah diketahui secara pasti apakah Bung Karno sedang meniru Restorasi Meiji atau tidak. Yang pasti pasti, pada periode itu pemerintah Indonesia memang banyak mengirimkan pemudanya untuk belajar ke luar negeri. Restorasi Meiji adalah awal dari perubahan struktur sosial dan politik Jepang. Restorasi Meiji yang dalam bahasa Jepang dikenal sebagai Meiji Ishin itu berlangsung pada 1866 sampai dengan 1869 yang mencakup pada akhir era Edo dan permulaan era Meiji. Restorasi atas inisiatif Kaisar Meiji (1868-1912) ini adalah dampak langsung dari dibukanya Jepang terhadap kedatangan kapal Amerika yang dipimpin oleh Kapten Matthew Perry. Sejak saat itulah Jepang membuka diri dan berinteraksi dengan dunia luar.

Restorasi Meiji menjadi tonggak awal kebangkitan Jepang sebagai bangsa yang maju. Salah satu program terpenting dalam Restorasi Meiji adalah pengubahan sistem pendidikan Jepang dari sistem tradisional menjadi modern. Program wajib belajar digalakan kepada seluruh pemuda Jepang, bahkan banyak di antara mereka yang dikirim ke luar negeri untuk menimba ilmu untuk kemudian dibawa pulang ke Jepang. Transfer ilmu dan teknologi dari barat dilakukan demi membangun Jepang.

Sebagai presiden pertama Indonesia, Bung Karno memang ingin agar dibangun oleh pemuda-pemuda terampil yang telah berhasil menggondol ilmu dan keterampilan dari luar negeri. Paling tidak keinginan itu tercermin dari perbincangannya dengan putri pertamanya, Megawati, menanggapi begitu banyak pertanyaan kepadanya soal kenapa ia tak segera mengelola sumber daya alam Indonesia. “Dis, tunggu sampai kita punya insinyur-insinyur sendiri,” kata Bung Karno dalam pidatonya.

Ia sadar sedari awal bahwa untuk menjadikan Indonesia yang mandiri, bebas dari cengkeraman neo kolonialisme dibutuhkan lebih dari keberanian, tapi juga pengorbanan. Bung Karno mahfum benar kalau keadaan ekonomi Indonesia di tahun 1960-an terseok-seok. Semua itu bukan berarti harus membuatnya berkata, “come in America” malah sebaliknya dia berkata “go to hell with your aid”. Menderita adalah memperkuat diri, demikian Bung Karno dalam otobiografinya.

Sejak awal pula ia sudah tahu bahwa Indonesia adalah negeri yang kaya, namun ia tak mau bermurah hati menggadaikan semua kekayaan alam Indonesia pada pihak asing, terlebih yang berkaitan langsung pada hajat hidup orang banyak. Bung Karno bercita-cita ingin membawa Indonesia kepada sosialisme: agar keadilan sosial-ekonomi tercipta bagi seluruh rakyat Indonesia. Mimpi itu memang sudah ia kemukakan pada saat aktif sebagai tokoh pergerakan di tahun 1930-an.

Tujuan mulia, butuh kerja keras. Indonesia perlu manusia-manusia tangguh dan cerdas. Oleh karena itu mengirimkan pemuda-pemudi terbaiknya untuk belajar di luar negeri adalah jalan terbaik menuju Indonesia mandiri. Kerjasama dengan beberapa negara pun dijalin erat. Pemerintah Soekarno yang agak condong ke blok timur menghasilkan kesepahaman di antara beberapa negara blok timur untuk menjalin kerjasama dalam program pendidikan.

Peristiwa Gestok 1965 mengubah segalanya. Soeharto secara perlahan namun pasti menggeser posisi Soekarno sebagai presiden. Sejak 1 Oktober 1965 secara de facto Soeharto memegang kendali negara. Kampanye besar-besaran dilancarkan untuk menumpas PKI dan semua orang yang dianggap sebagai pendukung Soekarno. Bahkan di Purwodadi, Jawa Tengah, anggota PNI pun tak luput dari penangkapan dan pembunuhan massal. Militer di sana menyebut mereka sebagai Soekarno-Sentris atau SS.

Tentu saja situasi pascaperistiwa Gestok 1965 itu menimbulkan kebingungan bagi mereka yang berada di luar negeri. Serentetan pertanyaan pun muncul: ada apa dengan Soekarno? Apakah ini sebuah kudeta gagal? Apakah Soekarno masih memimpin Indonesia? Siapa gerangan seorang jenderal yang bernama Soeharto itu? Ada apa...? Bagaimana...?? dan seterusnya.

Setelah terbitnya Surat Perintah 11 maret 1966, beberapa Kedutaan Besar Republik Indonesia di masing-masing negara memanggil semua warga Indonesia seraya menyodorkan surat dukungan kepada pemerintah Soeharto sebagai penguasa baru di Indonesia. Tentu saja bagi mereka yang menggangap Soekarno masih presiden yang sah memimpin bangsa Indonesia enggan untuk menandatangani surat itu. Belakangan, banyak juga kalangan warga eksil yang sudah mengendus gelagat buruk dari rezim Soeharto.

Pilihan untuk tetap bersetia kepada pemerintahan Soekarno yang sah ternyata membawa konsekuensi yang cukup berat. Sebagian besar eksil dibiarkan terkatung-katung tanpa kewarganegaraan. Paspor mereka dicabut, seperti yang dialami oleh AM Hanafi, Duta Besar Republik Indonesia di Kuba atau S Tahsin Sandjadirdja, Duta Besar Republik Indonesia untuk Mali.

Dalam sebuah pertemuan Gus Dur pernah memberi “titel” kepada eksil sebagai orang-orang yang klayaban. Hidup di luar negeri, terlebih di Eropa, betapa pun dipenuhi fasilitas selayaknya negara maju, tentulah tetap sebagai penderitaan kalau harus berpisah dengan sanak famili tanpa ada kesempatan untuk pulang. Keadaan seperti itu tiada beda dengan berada di sebuah bui namun tanpa jeruji besi.

Di antara begitu banyak warga eksil, tak jarang di antara mereka ada yang mengantongi gelar doktor, seperti Achmad Supardi, PhD dari Universitas Moskwa atau Sujak yang mengantongi gelar insinyur pertambangan. Karena terhalang pulang Sujak malah bekerja membangun tambang minyak di Aljazair dan kini menikmati masa pensiunnya di Amsterdam, Belanda.

Kendati sudah tinggal puluhan tahun di luar negeri, mereka masih ingat pesan dari Bung Karno sebelum mereka berangkat, “bawalah badanmu keliling dunia, tetapi tunjukanlah jiwamu tetap kepada Tuhan dan Indonesia.” Demikian ujar Mawie Ananta Jonie di dalam otobiografinya.

Di antara begitu banyak warga eksil, ada beberapa sastrawan terkenal seperti Agam Wispi (Belanda) dan Utuy Tatang Sontani (Rusia), keduanya sudah meninggal dunia. Karya-karya mereka dikenal sebagai karya sastra eksil.

Warga eksil Indonesia bisa pulang ke Indonesia ketika sudah mengantongi paspor sebagai warga negara asing. Tapi pulang di sini bukan berarti back for good, bukan untuk selamanya, melainkan hanya sekadar berkunjung, seperti halnya wisatawan mancanegara. “Kalau dengan paspor Belanda setidaknya kami bisa pulang. Bagaimana pun kami tetap orang Indonesia,” kata Sarmadji, eksil Indonesia yang kini mengelola Perhimpunan Dokumentasi Indonesia di Negeri Belanda. (Bonnie Triyana)

Read more