BUKAN TUHAN, BUKAN "MANUSIA"

Dalam sains hukum Kesenyawaan menjelaskan bagaimana dua entitas atau fenomena dengan karakteristik atau kualitas yang serupa memiliki kecenderungan untuk berinteraksi atau terhubung satu sama lain. Prinsip ini didasarkan pada gagasan bahwa entitas yang memiliki kesamaan atau afinitas akan secara alami tertarik satu sama lain dan membentuk hubungan berdasarkan pada kesamaan tersebut.
Sains
Hukum Kesenyawaan dapat diamati dalam berbagai bidang, termasuk kimia, fisika, biologi, dan bahkan ilmu sosial.
Dalam kimia, Hukum Kesenyawaan sering dikaitkan dengan ikatan kimia. Unsur-unsur dengan konfigurasi elektron atau sifat kimia yang serupa cenderung membentuk ikatan yang lebih kuat satu sama lain dibandingkan dengan unsur-unsur yang memiliki sifat yang berbeda. Misalnya, unsur-unsur dalam golongan yang sama dalam tabel periodik sering menunjukkan perilaku kimia yang serupa karena konfigurasi elektron yang sama.
Berikut jenis ikatan kimia yang umum,
1. katan Kovalen. Ia terbentuk ketika dua atom (atau lebih) berbagi pasangan elektron bersama untuk mencapai konfigurasi elektron yang lebih stabil.
Dalam ikatan kovalen, elektron dibagi secara bersama-sama antara dua atom yang terlibat, sehingga kedua atom berbagi beban elektron yang sama. Contohnya, dalam molekul Hidrogen (H2), kedua atom hidrogen berbagi sepasang elektron. Setiap atom "menggunakan" elektron yang dibagikan untuk mencapai konfigurasi elektron gas mulia (dua elektron di lapisan terluar).
2. Ikatan Ionik. Yaitu ikatan yang terbentuk antara atom yang memiliki perbedaan keelektronegatifan yang signifikan, di mana satu atom mendonorkan elektron dan yang lainnya menerima elektron.
Dalam ikatan ionik, atom yang mendonorkan elektron akan membentuk ion positif (kation), sementara atom yang menerima elektron akan membentuk ion negatif (anion). Contoh ikatan ionik adalah NaCl (garam meja), di mana atom natrium (Na) melepaskan satu elektron untuk membentuk Na+ (kation) dan atom klor (Cl) menerima elektron untuk membentuk Cl- (anion).
3. Ikatan Logam. Yaitu ikatan logam antara atom logam di mana elektron valensi bebas bergerak secara kolektif di antara atom dalam jaringan logam.
Pada ikatan logam, elektron valensi yang terlepas dari atom logam membentuk sejenis "laut elektron" yang memberikan kestabilan dan kepantasan bahan logam. Contohnya adalah pada logam tembaga (Cu), di mana elektron valensi dari atom tembaga bergerak bebas di sepanjang struktur kristal logam untuk membentuk ikatan yang kuat.
Dalam ikatan kovalen, elektron dibagi secara bersama-sama, sementara dalam ikatan ionik, elektron ditransfer dari satu atom ke atom lainnya untuk membentuk ion. Di sisi lain, dalam ikatan logam, elektron valensi bergerak bebas di antara atom logam untuk memberikan sifat fisik dan konduktifitas yang khas pada bahan logam. Setiap jenis ikatan ini memainkan peran penting dalam membentuk molekul dan senyawa yang beragam dalam kimia.
Dalam fisika, Hukum Kesenyawaan dapat dilihat dalam konsep tarik-menarik magnet. Benda-benda dengan kutub magnet yang sama (utara-utara atau selatan-selatan) saling tolak-menolak, sementara benda-benda dengan kutub yang berlawanan (utara-selatan) saling tarik-menarik. Prinsip tarik-menarik magnet ini didasarkan pada afinitas atau kesamaan sifat magnetik antara benda-benda tersebut.
Dalam biologi, Hukum Kesenyawaan terlihat dalam pembentukan struktur biologis dan interaksi antara molekul-molekul. Protein, sebagai contoh, menunjukkan afinitas terhadap molekul-molekul atau substrat tertentu berdasarkan bentuk dan sifat kimianya. Enzim dan substrat membentuk ikatan sementara karena bentuk dan afinitas komplementer mereka, memfasilitasi reaksi biokimia.
Secara keseluruhan, Hukum Kesenyawaan menegaskan pentingnya kesamaan dan afinitas dalam memfasilitasi koneksi dan hubungan antara dua entitas dalam berbagai konteks ilmiah. Dengan mengakui dan memahami afinitas tersebut, ilmuwan dapat lebih memahami prinsip-prinsip mendasar yang mengatur interaksi dan pembentukan struktur dalam dunia alam.
Filsafat
Dalam filsafat, terutama metafisika Islam, afinitas (kesenyawaan) dipahami dalam rangkaian isu yang cukup kompleks.
Polemik seputar isu eksistensi dalam tiga aliran besar, yaitu pluralisme, monisme, dan gradualisme, memiliki latar belakang filosofis dan teologis yang beragam. Setiap aliran memiliki pandangan yang berbeda mengenai konsep eksistensi dan bagaimana mereka mengintegrasikan konsep ini dalam pemahaman filosofis dan metafisika.
Pluralisme
Dalam pandangan pluralisme, terdapat keyakinan bahwa ada keberagaman dan keragaman dalam eksistensi. Ibnu Sina, sebagai salah satu tokoh dalam aliran ini, menekankan bahwa ada entitas-individual terpisah yang eksis secara independen. Dalam pandangan ini, berbagai entitas individu mempunyai eksistensi yang terpisah dan berbeda satu sama lain. Pandangan ini menekankan pluralitas dalam eksistensi dan mengakui keberagaman entitas-individual.
Monisme
Monisme mengusulkan bahwa ada satu realitas dasar atau satu eksistensi yang mendasari semua entitas yang ada. Ibn Arabi dan para sufi yang menganut unitas eksistensi meyakini bahwa sebenarnya hanya ada satu eksistensi yang menyatukan segalanya. Mereka melihat semua entitas-individual sebagai manifestasi dari satu eksistensi yang tunggal. Dalam pandangan monisme, keberagaman entitas dianggap merupakan perwujudan dari realitas yang satu.
Gradualisme
Teori gradasi eksistensi mengintegrasikan unitas dan pluralitas dalam satu eksistensi gradual). Meski sama-sama mengoreksi pluralisme dan monisme serta meyakini bahwa ada tahapan-tahapan atau gradasi dalam eksistensi yang mengintegrasikan pluralitas dan unitas, Suhrawardi dan Mulla Sadra mengemukakan teori ini secara berlainan. Suhrawardi memperkenalkan konsep gradasi cahaya untuk menjelaskan perubahan tahapan eksistensi menuju kesempurnaan dengan menghapus eksistensi sebagai isu sentral lalu menggantinya dengan cahaya. Sedangkan Mulla Sadra mengoreksi teori cahaya Suhrawardi dengan mengembalikan filsafat ke fundamamentalitas eksistensi (ashalah wujud) lalu merumuskan teori gradasi eksistensi yang memadukan aspek-aspek pluralitas dan unitas lalu mempersembahkan eksistensi singular dan plural dalam altar yang gradual.
Dalam pandangan pluralisme relasi antar entitas terjadi secara diametrikal karena eksistensi setiap entitas merupakan realitas-realitas otonom. Karenanya, hukum afinitas tak menemukan landasannya untuk mendarat. Afiniitas bisa mendarat mulus di atas landasan teori gradasi wujud Mulla Sadra.
Dalam konteks Teori Gradasi, realitas-realitas eksistensi yang bersosok sama-sama memilik kaitan irisan persamaan dan peberbedaan yang tidak lain hanyalah eksistensi itu sendiri sesuai kualitas kelemahan dan kekuatan di dalamnya. Seperti cahaya terang yang berbeda dengan cahaya redup dalam kecerahannya dan kekuatannya, namun bukan berarti kekuatan dalam cahaya terang adalah sesuatu yang berbeda dengan cahaya dengan cahaya yang redup. Perbedaan kualitas cahaya tidak menafikan kesamaan kecahayaan itu sendiri.
Dalam sistem gradasi eksistensi ditetapkan bahwa adanya entitas unik yang berposisi sebagai kopula yang dalam logika menjadi penyambung subjek dengan predikat. Wujud kopulatif yang menjadi entitas interval ini terserap dalam gradasi, bukan entitas asing dari dua entitas yang dihunbungkannya.
Media yang berposisi sebagai konektor itu mesti :
1. Memuat dua sisi relasi dan arus. Andai memuatnya, maka ia bukanlah penghubung. Bila ia bukan penghibung, maka keterhubungan tidak terjadi.
2. Bukanlah dua entitas yang dihubungkannya. Andai sama, ia bukan penghubung. Bila bukan penghubung, mesti ada penghubung lain, dan begitulah seterusnya. Bila penghubung berikutnya sama dengan dua entitas yang dihubungkannya, maka ia bukanlah penghubung. Bila penghubung-penghubung berikutnya sama juga dengan dua entitas yang dihubungkanlah, maka penghubung tiada. Bila penghubung tiada, keterhubungan tidak terjadi.
3. Bukanlah salah satu dari dua entitas yang dihubungkannya. Andai ia adalah salah satunya, maka ia bukanlah penghubung. Bila ia bukan penghubung, tak ada penghubung. Bila tak ada penghubung, maka keterhubungan tak terjadi.
Bila diterapkan dalam konteks relasi Tuhan dan selainNya maka hukum gradasi menetapkan aksioma jarak kualitas eksiastensial antar keduanya yang diperantarai oleh sebuah entitas dengan kriteria-kriteria sebagai berikut :
1. Bukan Tuhan.
Andai dia gugurlah fungsinya sebagai konektor dan tak terhubung dengan selainNya secara langsung..
2. Bukan manusia.
Dengan kata lain, dia bukan manusia biasa. Bila manusia biasa (sama dengan rata-rata manusia yang tak bebas dari salah), maka tak bebas dari salah. Bila tak bebas dari salah, dia pasti mengalami lupa.Karena bisa dan pasti lupa, maka yang dibawanya adalah ajaran biasa (tak bebas dari salah). Karena dia pasti salah, ajaran yang dibawanya pasti salah. Karena pasti salah, makai yang dibawa tak benar. Karena tak benar, maka ia bukan ajaran Tuhan. Karena bukan ajaran Tuhan, ia tak layak dipercaya. Karena tak tak layak dipercaya, ajaran tak pantas dianut.
3. Manusia.
Andai bukan manusia, ia tidak jadi konektor karena konektor haruslah lebih sempurna secara eksistensial dari yang memerlukannya, yaitu manusia.
4. Manusia sempurna.
Bila bukan manusia sempurna, ia tidak jadi konektor bagi manusia sederajat dengannya yang juga tak sempurna. Karena insan sempurna, ia punya sesuatu yang tak dimiliki insan-insan tak sempurna. Andai memiliki sesuatu yang juga dimiliki insan-insan tak sempurna, ia tak sempurna. Karena dialah insan paling sempurna, maka dialah makhluk paling sempurna. Karena makhluk paling sempurna, dialah konektor utama .Karena dialah konektor yang mahasempurna mengkoneksikan wujudNya dengannya. Karena berkoneksi dengan mahasmpurna, ia senyawa secara eksistensial denganNya
Kalimat syahadah yang lengkap memuat iman kepada kehambaannya sebelum iman kepada kerasulannya, “Asyhadu anna Muhammadan abduhu wa rasuluh”. Muhammad SAW adalah entitas immanen yang menyejarah sebagai manusia sekaligus transenden sebagai manifestasi eksternal nama-nama dan sifat-sifat Tuhan..
Sebagai kombinasi imanensi dan transendensi, Muhammad SAW adalah manusia sempurna yang merupakan cahaya kedua yang bersih dari perilaku yang bertentangan dengan citra kesucian.
Dalam kesadaran mistikal yang berbasis aksioma filsafat, ia bukan hanya sebuah entitas personal yang pernah hadir dalam sebuah etape masa, namun ia adalah entitas impersonal yang eksistensial. Karena itulah shalawat menjadi penting.
Shalawat semula adalah bentuk plural dari shalat. Dalam bahasa Indonesia shalat dimaknai berbeda shalawat. Ia adalah salah satu zikir. Secara populer ia didefinisikan sebagai doa untuk Nabi Muhammad. Ia wajib diucapkan dalam shalat dan dianjurkan diucapkan di luar shalat.
Shalat dapat dibagi 3; ritual, verbal dan eksistensial. Shalat sebagai ritus adalah ibadah yang diawali dengan takbir dan diakhiri dengan salam. Shalat sebagai zikir adalah ucapan shalawat. Sedanngankan shalat secara eksistensial adalah shalat memuat 2 huruf dasar ص dan ل yang bermakna sambungan seperti silaturahmi (صلة الرحم). Itu berarti shalat adalah koneksi.
Karena yang mahasuci dan makhluk abstrak berkoneksi (يصلون) dengan konektor, manusia-manusia tak sempurna lainnya berkoneksi denganNya melalui dia.
Setelah terkoneksi, ia lakukan keberserahan kepada konektor karena dialah akibat perdana disusul jejiwa suci dibawahnya dalam gradasi wujud.
Shalawat kepada insan sempurna dan insan-insan sempurna yang dibawahnya bukan sekadar suara menguap tapi deklarasi konektivitas eksistensial. Insan sempurna itu adalah manifestasi dan penampakan sifat dan asmaNya seperti aziz, ra’uf, rahim dan lainnya. Dia bersanding dengan-Nya selalu.
Muhammad dihadirkan, agar Tuhan yang takkan sama dengan manusia dan manusia yang takkan sama dengan Tuhan, sebagai entitas interval yang menghubungkan humanitas yang transenden dengan divinitas yang immanen, supaya Ia dekat dengan kita, untuk ditiru dan diteladani, bukan diturunkan dan diimaginasikan sesuai standar estetika fisikal dalam temporalitas dan mortalitas. Ia adalah asma' dan sifatNya. Dia adalah Dia dalam dimensi zhuhur-Nya.