Entah bagaimana ceritanya. Salah satu kandidat cagub yang dikenal intelektual muda dan toleran diisukan bermazhab Syiah. Karena mungkin diyakini bahwa propaganda masif pengkafiran Syiah berhasil membuat publik jadi intoleran dan anti Syiah, Isu ini mungkin dihembuskan sebagai bagian dari kampanye negatif terhadap kandidat tersebut.
Karena khawatir menghambat jalan menuju kursi Gubenur DKI, disebarkanlah bantahan atas isu itu.
Pantaslah bila kandidat itu menolak dianggap Syiah. Pantas pula bila para penganut Syiah di Indonesia juga menolak anggapan itu.
Sebenarnya tak perlu menyangkal tuduhan Syiah. Mazhab ini tidak makin mulia karena dilekatkan pada seorang tokoh politik atau agama. Ia mulia karena prinsip-prinsip yang menjadi fondasinya dan karena jejiwa suci adalah pendirinya.
Semoga bantahan itu tidak didasarkan pada stigma serampangan “Syiah bukan Islam. Syiah memang bukan Islam, Sunni juga. Islam adalah agama yang dibawa Nabi Muhammad SAW pemungkas ajaran para nabi sebelumnya.
Syiah dan Sunni bukan nama agama dan bukan pengganti Islam. Sunni dan Syiah adalah dua jalan dan metode alias mazhab yang tersedia bagi siapapun untuk meyakini dan mengamalkan Islam.
Bila sebagian penganut mazhab ini menolak disebut Syiah, itu bukan karena taqiyah. Taqiyah dalam situasi terbuka mungkin tak lagi relevan. Mereka menolak sebutan itu karena memandangnya sebagai tiara mulia yang secara moral, spiritual, intelektual dan praktikal hanya layak disandang oleh pengikut sejati. Sekali lagi, sebutan ini bukan aib, tapi prestasi.