Skip to main content

CALON MALING

By February 8, 2017No Comments

Politik mulanya adalah etika pengelolaan kepentingan individu. Entah bagaimana kronologinya sekurang diartikan seni meraih & mempertahankan kekuasan.
Karena peregeseran makna itu, politik seoalah-olah subjek tanpa predikat/perilaku bebas nilai. Karena itu, jumlah suara lebih penting dari nilai apapun.
Saat masyarakat terpahamkan bahwa pileg adalah ajang barter kertas suara dengan kertas uang, peluang kembali ke makna primernya sebagai etika lenyap.
Akibatnya, politik jadi bisnis yang tunduk pada rezim modal. Sedmikian kuat pengaruhnya, hingga norma-norma humanitas pun secara sadar dicampakkan.
Selanjutnya terjadilah kompetisi jorok dan perkelahian bebas. Pembunuhan karakter, intimidasi & semua kreasi kenistaan terkesan wajar.
Dalam iklim seperti itu, yang terjun karena tulus atau karena fulus jadi adonan. Energi niat tulus untuk mengabdi kepadal rakyat tak cukup mengubahnya.
Saat sadari bahwa viberasi energi tulus ini terlalu lemah untuk menciptakn arus sendiri, ia tak kuasa menolak gravitasi dan gratifikasi.
Sekali merespon, saat itu ia melakukan harakiri moral, menikam idealismenya. Ia mengalami mutasi dari politikus ke tikus politik.
Dalam pustaka etika, statistik & volume tak berpengaruh. Uang diukur dengan jumlah tapi pengkhianatan tidak ditakar dengan digit.
Lalu apakah politik harus diserahkan kepada “yang mau” atau kepada “yang mampu”? Apakah kita harus puas jadi penonton yang cuma sibuk mengecam?
Logika menetapkan bahwa pencmpuran baik & buruk tidak menghasilkan sintesa baru. Berpolitik dengan etika dalam lingkungan tak etis kdengan perlu.
Bila money politic diterima secara de facto sebagai DP & asuransi untuk masuk ke parlemen, lebih baik diperjelas posisi hukum biaya jadi caleg.
Bila ditolak tapi faktanya diterapkan, money politic hanya jadi bahan saling jegal antar caleg. Padahal boleh jadi itu biaya logistik.
Baca: Awas! Eks Kriminal Akan Jadi Wakil Rakyat!, juga “Perusahaan-perusahaan Politik” yang Kandas di KPU