CALON PERAMPOK

CALON PERAMPOK
Photo by Unsplash.com

Kadal-kadal berebut posisi kadal utama demi meraih kuasa pengkadalan dalam pilkadal di sejumlah Kadalkarta.

Politik mulanya adalah etika pengelolaan kepentingan individu. Entah bagaimana kronologinya sekurang diartikan seni meraih dan mempertahankan kekuasan.

Karena peregeseran makna itu, politik seolah-olah subjek tanpa predikat/perilaku bebas nilai. Karena itu, jumlah suara lebih penting dari nilai apapun.

Saat masyarakat terpahamkan bahwa pilkada adalah ajang barter kertas suara dengan kertas uang, peluang kembali ke makna primernya sebagai etika lenyap.

Akibatnya, politik jadi bisnis yang tunduk pada rezim modal. Sedemikian kuat pengaruhnya, hingga norma-norma humanitas pun secara sadar dicampakkan.

Selanjutnya terjadilah kompetisi jorok dan perkelahian bebas. Pembunuhan karakter, intimidasi & semua kreasi kenistaan terkesan wajar.

Dalam iklim seperti itu, yang terjun karena tulus atau karena fulus jadi adonan. Energi niat tulus untuk mengabdi kepadal rakyat tak cukup mengubahnya.

Saat sadari bahwa viberasi energi tulus ini terlalu lemah untuk menciptakan arus sendiri, ia tak kuasa menolak gravitasi dan gratifikasi.

Sekali merespon, saat itu ia melakukan harakiri moral, menikam idealismenya. Ia mengalami mutasi dari politikus ke tikus politik.

Dalam pustaka etika, statistik & volume tak berpengaruh. Uang diukur dengan jumlah tapi pengkhianatan tidak ditakar dengan digit.

Lalu apakah politik harus diserahkan kepada “yang mau” atau kepada “yang mampu”? Apakah kita harus puas jadi penonton yang cuma sibuk mengecam?

Logika menetapkan bahwa pencampuran baik dan buruk tidak menghasilkan sintesa baru. Berpolitik dengan etika dalam lingkungan tak etis sangatlah perlu bukan untuk berebut kuasa tapi demi menghadirkan politik yang etis dan logis agar arena kuasa tak hanya terisi oleh para kandidat bromocorah dan calon perampok.

Read more