CIUM TANGAN

CIUM TANGAN
Photo by Unsplash.com

Tak pernah terlintas di benak saya sebelumnya bayangan mengupas tema cium tangan. Namun setelah memperhatikan polemik kecil di kolom comment di bawah foto yang saya share, saya terdorong untuk memberikan perspektif tentang tema tak fundamental ini.

Cium tangan diawali oleh orang yang menerima salam, kemudian tangannya dipegang oleh orang tersebut, dan telapak tangannya menghadap ke bawah; atau diawali dengan orang yang memberikan salam, kemudian ia mengulurkan tangannya, dan tangan tersebut diterima dengan cara digenggam oleh orang yang ia beri salam. Tangan kadang dicium dengan hidung sebagaimana di Hadramaut dan di Indonesia, dan kadang dengan bibir atau dikecup seperti dalam masyarakat aristokrat Eropa. Sekarang malah cium tangan hanya ditempelkan di pipi. Di era pandemi cium tangan tentu dianjurkan untuk tidak dilakukan sebagai bagian dari prosedur protokol kesehatan.

Di Turki, Malaysia, Indonesia, Brunei, dan Filipina, cium tangan adalah cara yang umum untuk memberi salam atau menyapa orang-orang yang lebih tua, terutama kerabat terdekat (kedua orang tua, kakek-nenek, dan paman atau bibi) dan guru. Di Indonesia, cium tangan yang dilakukan kepada orang tua atau guru dapat disebut sebagai salim. Kadang-kadang, setelah mencium tangan, penyium tangan akan menarik tangan ke dahinya mereka sendiri.

Cium tangan digunakan di dalam film The Godfather, sebagai cara untuk menunjukkan seseorang adalah Don. Cium tangan juga ditampilkan di film, seperti Dangerous Liaisons. Sebagaimana diketahui, Sisilia di Italia dan beberapa wilayah Eropa seperti Malta dan Spanyol terutama Granada yang terhubung secara geografis dengan kawasan Arab di Timur Tengah dan Afrika Utara dipengaruhi oleh budaya juga etnis Arab.

Di kalangan Islam mainstream di Indonesia yang direpresentasi oleh masyarakat NU cium tangan merupakan salah satu etika umum antara santri dan guru atau kyai juga menjadi parameter kesopanan serta relijusitas dalam masyarakat umum.

Sangat mungkin budaya ini berasal dari para pendakwah dari keturunan Nabi yang datang dari Hadramaut. Hierarki dalam keluarga besar alawiyin kerap ditandai dengan pola interaksi khusus, termasuk cium tangan. Para pengiman kemuliaan posisi alwiyin sebagai keturunan Nabi yang lazim disebut muhibbin lazim mengekspresikan preferensi dengan cium tangan tanpa membedakan usia tua atau muda, agamawan atau awam, bahkan berperilaku baik atau berperilaku buruk. Biasanya cium tangan dianggap sebagai bukti kemuhibbinan seseorang dan penghormatannya kepada dzuriyah. Tapi tradisi cium tangan dzuriyah kini tidak selazim dahulu. Mungkin karena banyak figur habib yang gagal mencerminkan keteladanan atau mungkin karena dianggap sebagai bagian dari feodalisme oleh sebagian orang yang berpikir modern dan kritis.

Di Iran yang mayoritas penduduknya adalah etnis Arya dan bermazhab Syiah cium tangan bukan tradisi umum masyarakat, termasuk dalam keluarga kecuali saat awam menjabat tangan figur rohaniawan terkemuka. Di Iran cium dahi justru lebih lazim dilakukan sebagai ekspresi penghormatan dan sayang seseorang kepada anak, isteri dan sahabat karib. Tidak ada ketentuan khusus cium tangan sayyid di sana. Sedangkan saling cium pipi atau saling mendekap atau menempelkan dada berlaku lebih umum di dunia termasuk dalam masyarakat Arab dan Eropa.

Terlepas dari perbedaan pendapat dan sikap tentang penting dan tidak pentingnya cium tangan dalam interaksi hierarkis, yang terpenting adalah mutual respect dengan tetap menjadikan perilaku baik dan kesalehan sebagai parameter preferensi.

Read more