DAHULUKAN LOGIKA ATAS BUDAYA
Mungkin karena jenuh dengan agama yang selalu dipertentangkan bahkan karena tak memahaminya secara serius, sebagian orang mulai menggugat asal usulnya sehingga istilah agama pendatang dan agama import mulai sering terlontar. Umumnya para penggugat "agama transnasional" mengagungkan "budaya lokal" sembari menyodorkannya sebagai alternatif dengan klaim memelihara warisan moyang dan leluhur seolah itu lebih aman, lebih mulia dan lebih agung.
Sebenarnya atribusi agama dengan "pendatang" dan semacamnya berangkat dari kerancuan membedakan agama yang diklaim sebagai ajaran Tuhan dan budaya yang disepakati sebagai produk manusia di suatu daerah.
Menganut agama apapun dan mengagungkan budaya adalah perilaku terpuji, namun apakah ia mutak dan bebas dari standar nilai?.
Karena logika, etika dan estetika disepakati sebagai basis nilai, maka agama tak melampauinya. Artinya, doktrin penafsiran) terhadap agama (yang kerap kali dianggap sebagai agama mutlak oleh awam dan para agamawan pengendali awam) harus selaras dengan logika, etika dan estetika.
Bila agama (baca : doktrin dan ajarannya) harus logis dan etis juga estetis, maka budaya sebagai hasil karya sekelompok orang pada suatu masa dan tempat, lebih dituntut logis, etis dan estetis. Dengan kata lain, agama yang secara epistemologis merupakaj enttas teologis diharuskan selaras dengan sistem nilai, maka budaya yang merupakan entitas antropologis murni secara par excellence harus logis, etis dan estetis.
Atas dasar itu, budaya kelompok apapun, di manapun dan dari manapun yang bertabrakan dengan etika dan logika tak patut dipertahankan, apalagi disakralkan.
Segaris dengan itu, penghormatan kepada budaya, tradisi dengan aneka ritualnya tidaklah mutlak namun bersyarat logis dan etis.
Yang menarik, sebagian orang akibat euforia domestikasi, menyikapi budaya dari Timur Tengah yang telah menjadi budaya lokal dengan aneka narasi negatif bahkan cemooh tapi mengagungkan sebagian tradisi dan budaya feodal yang jelas irrasional hanya karena dianggap otentik. Yang tak kalah menarik adalah fenomena penerimaan total terhadap budaya dan gaya hidup Barat tanpa filter berbarengan dengan kampanye masif anti budaya seagama dengan jargon nasionalisme.