Berpulangnya Dr. Omar Hashem telah menimbulkan kesedihan yang mendalam di hati banyak orang. Komentar-komentar yang terus masuk ke dalam blog saya menjadi indikasi akan hal itu. Tapi saya bisa memastikan tak seorang pun di antara kita, kecuali istrinya, yang mengalami kesedihan sebesar seorang pejuang di tengah kita. Sebaliknya, yang juga mengalami kehilangan adalah Almarhum Dr. Omar Hashem sendiri kini ia tidak lagi bisa mendapatkan hiburannya.
Dulu namanya diberi tambahan “dalil’ karena kecemerlangannya dalam berargumentasi, namun kini ia tidak lagi melihat adu argumen sebagai cara yang efektif dalam menyebarkan cahaya Islam. Bagi dia, action adalah bahasa yang simple dan bisa dipahami oleh siapapun. Dialah Hasan Dalil.
Hasan Dalil adalah sebuah gardu spirit pejuangan yang terus menyuplai energi kepedulian terhadap kaum mustadh’afin. Wajahnya adalah sampul ketulusan maksimum. Suaranya yang menggelegar adalah auman singa pemberani yang tidak pernah setdetikpun mempertimbangkan karir, posisi bahkan keselamatan jiwanya. Salah satu ciri khas ceramah-ceramahnya adalah visi keindonesiaannya yang terus muncul. Bung Tomo, Diponegoro dan para pejuang kemerdekaan RI selalu meluncur dari mulutnya yang diyakini sebagai ikon dan teladan perlwanan demi kemerdekaan dan tegaknya harkat bangsa.
Gaya bicara dan retorika serta tema kemanusiaan yang selalu meletup dari panggung podiumnya kadang tidak mengundang keberentungan. Hasan Dalil kini tidak lagi masuk dalam list “ustadz elit” karena ceramah-ceramahnya mengajak aksi turun jalan merespon setiap isu nasional dan internasional, mulai dari pornografi hingga pembantaian di Gaza.
Suatu saat, habib betawi asli ini, dalam sebuah pengajian di sebuah rumah di kawasan elit di Pondol Indah, mengajak ibu-ibu (yang seluruhnya tergolong kelas atas) meninggalkan majelis taklim untuk menjenguk korban penggusuran di kawasan Periuk. “Mari kita tinggalkan sejenak ruangan sejuk dan harum ini dan naik bersama dalam metromini yang pengab, berdebu dan berasap menuju Priuk demi menunjukkan sambung rasa dengan para hamba Allah yang mendapatkan senjata ketabahan. Mari ibu-ibu… kita rasakan panas, kotor dan bau tak sedap demi memperoleh semerbak dan keteduhan batin. Menitipkan beberapa lembar uang sebagai sumbangan tidak bisa disamakan sama sekali dengan aksi kehadiran di tengah mereka.”
Kini kesibukan utamanya bukan memberikan ceramah di mejelis taklim ber-AC (tak laku karena tak sesuai selera Islam kosmpolit atau dianggap sebagai pembawa bendera “Islam gaduh”), tapi menjenguk orang yang sakit, menyalurkan bantuan sembako, mengunjungi orang usia lanjut, dan meminta ilmu dan saran dari siapa saja, termasuk yang tingkat keilmuan dan keulamaannya di bawahnya. Khusus tentang “persatuan Islam”, orang ini bisa dianggap “mabuk” dan tak pernah kehabisan bahan bakar.
Saat para habib sibuk mengiklan dirinya melalui industri zikir dengan poster-poster raksasa dan kawalan heboh ala geng motor, Hasan Alidrus dengan songkok nasional malah sibuk mengurusi pengajian-pengajian gratis dan menjadi habibnya para gelandangan dan korban penggusuran. Hasan Dalil adalah ulama proletar, tanpa poster, tanpa jubah berkibar-kibar. Di mata saya, ia adalah Ismail Haniyah versi Indonesia.
Hasan Dalil merasa menjadi yatim dengan kepergian Dr. O. Hashem, tapi Dr. O. Hashem juga merasa yatim karena berpisah dengannya. Semoga llah melanggengkan kesehatannya, amin.