International Observer (2004) sampai menyebut sistem pemilihan di Indonesia sebagai “The most complex election system in the world and the biggest ever election ever held in a one single day.”Dampaknya, ruang politik nasional yang sebelumnya begitu senyap oleh politik pembungkaman ala Orba, tiba-tiba menjadi begitu riuh rendah. Selain diramaikan spanduk, poster, hingga bendera politik yang dibentangkan di ruang publik, pesta rakyat itu juga acap diwarnai saling gugat hingga kerusuhan antar pendukung calon pemimpin.
Setelah penyelenggaraan pemilu legislatif yang semrawut, kita akan melaksanakan pemilu presedien (pilpres). tentu Kompetisi yang berlangsung tentu jauh lebih sengit ketimbang pilkada dan pileg. Begitu pula modusnya yang kian bervariasi dan membingungkan.
Para makelar itu persis siluman. Ada tapi tak nampak. Ciri lainnya, mereka acap lebih agresif dari sang caleg. Menghalalkan segala cara adalah prinsip yang diusungnya. Mulai dari intimidasi, eksploitasi simbol agama dan etnis, sampai money politics. Kalau perlu, melakukan provokasi, black campaign, hingga mencopot poster capres lain.
Tanpa mengada-ada, kenyataan ini telah melembaga plus memiliki sistem kerja yang rapi dan jaringan anatomis mulai dari tingkat dusun sampai kota. Mereka begitu piawai meyakinkan caleg untuk menggunakan jasanya. Alhasil, berdasarkan sepak terjangnya dalam proses demokrasi di manapun, mereka layak dijuluki preman politik yang ikut mengembangbiakkan politik fulus.
Tidak sampai disitu. Kampanye negatif dan rekayasa opini yang kadang menjurus kepada ‘pembunuhan karakter” pun mulai menjadi modus. Ada yang semula tampil sebagai pengamat, sekarang menjadi pengompor. Ada yang semula artis selengengan plus malah jadi elit partai dan tim sukses. Ada yang bikin blunder karena asal nyosor. Ada yang merasa disihir. Ada yang ngambek. Ada yang pake indomie. Ada yang pasang iklan jilbab. Yang dulu menjadi kawan dan sekutu bisa menjadi lawan, begitu pula sebaliknya. Pokoknya, seru dan semrawut.
belum lagi, para pengamat dan para ahli survei melalui ragam lembaga survei yang kian berjamur sibuk mengias rezeki. Mereka terus-terus terkesan seperti mengompori suasana persaingan antar capres dengan kampanye terselubung dan pengarahan opini.
“Tidak ada teman abadi. Yang ada kepentingan abadi” adalah slogan, yang entah dari mana munculnya, kini menjadi semacam alat justifiksi dalam komunikasi politik. Mungkin dalam kamus politik, sahabat adalah frase semacam cek kosong yang bisa diisi dengan apap saja. Kata “sekutu”, “poros” dan “aliansi” pun demikian.
Bila pemilu hanyalah rekayasa, maka korbannya siapa lagi kalau bukan rakyat di pedesaan, terutama yang memandang pemilu sebagai pesta event sakral. Oh Indonesiaku! Mudah-mudahan kekhwatiran ini tidak terjadi. Meski banyak kasus busung lapar dan kesenjangan sosial kian menganga, DEMOKRASI KITA MEMANG BIKIN BANGGA… Semoga!