Skip to main content

Derma Sesat

By April 1, 20096 Comments

Suatu hari tampak seorang wanita tua sedang tertatih berjalan sambil membawa timba air. Seorang pria tak dikenal tiba-tiba berpapasan dengannya, dan segera meminta timba yang tampak memberatkan wanita itu. Pria itu membawa timba tersebut ke arah rumah yang dituju wanita tua itu.

Di rumah tampak beberapa anak kecil menanti yang ternyata adalah anak-anak wanita itu. Sesampainya dirumah, pria itu berkata: “Tentunya suamimu sudah tiada, dan bagaimana engkau hidup seorang diri?”

Dengan nada mengeluh, wanita tua menjawab: “Suamiku dulu terkena wajib perang. Ali ibn Abi Thalib telah mengirimkannya ke perbatasan dan di situ dia terbunuh. Sekarang aku hidup sendiri bersama anak-anak.”

Pria tak dikenal diam seribu bahasa. Kepalanya tertunduk kemudian pamit pergi. Namun, tak lama kemudian dia membawa keranjang penuh makanan. Melihat itu, wanita tersebut berkata: “Mudah-mudahan Allah meridhaimu, dan Dialah yang menghakimi antara kami dan Ali bin Abi Thalib.”

Pria itu berkata: “Aku mengharapkan pahala Allah. Izinkanlah aku membuat roti dan menjaga anak-anakmu.”

Wanita itu bersedia dan akhirnya pria itu menjaga anak-anaknya sekaligus sibuk membuat roti. Pria itu juga memanggang daging lalu menyuapi anak-anaknya. Sambil menyuapi, lelaki itu berkata, “Anak-anak! Maafkanlah Ali ibn Abi Thalib!”

Kemudian seorang wanita tetangga masuk ke rumah itu. Rupanya dia mengenal siapa pria itu. Dia kaget dan segera menghampiri wanita tua itu kemudian berkata: “Tahukah kau siapa dia? Dia adalah Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib.

Seketika Wanita tua itu bersimpuh dan menangis. “Aku sangat malu. Mohon maaf,” katanya memelas.

“Akulah yang harus meminta maaf kepadamu, karena telah menyusahkan hidupmu,” jawab Ali.

Pahlawan semua laga Islam ini melakukan aksi itu seorang diri dan tanpa tendensi politik. Ia bukan calon. Ia tidak sedang berkampanye. Ia tidak

Belakangan ini, banyak kebaikan-kebaikan dadakan, berupa derma uang mulai dari 20.000-an sampai 100.000-an. Ada bazar sembako dengan harga murah.

Selain bagi-bagi sembako dan uang, masyarakat makin akrab dengan aneka gambar, warna dan aksara.

Aksara-aksara yang disebut jargon politik itu dibuat sedemikian rupa sehingga diharapkan pemilih, terutama yang sangat awam, tergiur dan terhepnotis. “Bersama kita biasa”, “serahkan pada ahlinya” “Bukan janji, tapi bukti”. Kelak akan terlihat apakah jargon itu memang sakti atau pepesan kosong.

Itulah “pesta demokrasi”. Tapi dalam realitasnya, nyaris tidak ada tidak ada nuansa pesta dan aroma demokrasi.

Pesta adalah even atau acara kebahagiaan yang sarat dengan kesahajaan dan keceraiaan. Dalam kenyataannya, suasana saling menjegal antar sesama peserta pesta juga terlihat.

Demokrasi adalah mekanisme dan sistem yang diharapkan mampu melahirkan figur yang bisa mendapatkan akspetabilitas dan akuntbilitas publik.

Namun kenyataannya, ia telah dicemari dengan modus dagang sapi dan uang politik. Makelar-makelar politik malah cenderung seperti sedang melakukan sabung ayam. Ironisnya, penyakit ini tidak hanya dijangkiti oleh para oknum pedagang politik, tapi telah membudaya bahkan di sebagian lapisan akar rumput.

Situasi ekonomi memang kian mencekik. Rakyat makin kepayahan bertahan hidup. Tapi seyogianya itu tidak dijadikan “ladang” bagi para calon menyemai benih politik fulus. Ujung-ujungnya, moralitas dan kemandirian politik rakyat akan tererosi parah sehingga pilihannya tak lagi mandiri, cerdas, dan visioner.

Untungnya fakta bicara lain. Fenomena dagang sapi dan politik uang, hanyalah fenomena partikular. Rata-rata individu makin cerdas, berani, dan tak lagi mudah dibeli hanya dengan bakti sosial sesaat saja. Mereka makin sadar, nasib politiknya di masa depan bergantung pada kualitas personal pilihannya; bukan lagi bendera atau kaos warna warni yang bakal luntur seketika atau derma-derma dadakan yang akan berakibat “unduh mantu” kelak di Senayan.

Memang, menyentuh hati rakyat adalah tugas semua caleg, yang mestinya dilakukan sejak dulu. hendaknya praktik pengabdian yang marak belakangan ini tidak habis setelah pemilu. caleg yang senantiasa mengabdi kepada rakyat tanpa sebuah momen politik akan ditambatkan dalam hati rakyat. Meski mungkin tidak terpilih, ia adalah caleg yang menang.

Semoga semua caleg terus konsisten memenangkan hati rakyat. karena itulah hakikat pemilu yang sesungguhnya. Itulah makna pesta demokrasi. Mudah-mudahan derma sesaat itu tidak berbuah pencurian selama lima tahun. (adilnews)