Fakta menegaskan bahwa tradisi Maulid, Tahlil dan lainnya adalah fondasi kelompok mayoritas Islam di Nusantara.
Tak hanya itu, karena teologi Asyari merupakan keyakinan universal lintas negara dan bangsa yang juga dianut oleh mayoritas umat Islam di seluruh dunia, terutama dunia Arab, maka ia tidak bisa secara natural dijadikan dan dianggap sebagai cirikhas masyarakat Muslim di Nusantara, dan Indonesia kini. Cirikhas mestilah sesuatu yang unik, bersejarah dan membudaya agar mengakar sebagai pengikat setiap individu Muslim di Nusantara. Yang paling relevan menjadi fondasi eksistensinya adalah tradisi-tradisi yang mengisi aspek esoterik masyarakat. Karena itulah tradisi Maulid, Tahlil dan semacamnya menjadi fondasi NU.
Gus Dur, Gus Baha, Agus Sunyoto dan banyak lagi mengafirmasi Maulid berasal dari tradisi Syiah, terutama Maulid yang ditulis oleh Syekh Ja’far Barzanji. Bahkan para penganut Salafisme pun mengofirmasi itu.
Bukan rahasia lagi bagi yang melek wawasan bahwa pembid’ahan Maulid, Tahil dan tradisi-tradisi umat Islam di Nusantara merupakan serangan yang lebih bersifat politik (meski yang dikemas dengan narasi agama dan pemurnian Islam) dengan sasaran ganda yaitu Sunni orisinil yang direpresentasi NU dan Syiah.
Dengan mengkampanyekan secara ekstensif dan intensif penyesatan, diharapkan masyarakat Muslim membenci total Syiah dan membenci apapun yang terkait dengannya.
Pada saat yang sama mengkapanyekan stigma Syiah (yang sudah disesatkan dan dikafirkan) dengan harapan NU (yang kecipratan stigma ini) pun ditinggalkan oleh umatnya dan berbondong-bondong menganut salfiyah wahabiyah yang diklaim sebagai Islam murni. Dalam delusi komunal itu, dengan strategi itu, negeri pun menjadi koloninya.
Meski berisi pujian indah kepada Nabi SAW tapi karena maulid dibuktikan oleh para sejarawan dan ditegaskan banyak ulama Sunni (NU) berasal dari Syiah, maka supaya umat tetap benci Syiah dan tak sadar bahwa Syiah adalah kelompok Islam yang sangat cinta Nabi, maulid pun dibid’ahkan.