DI BALIK PENGHADANGAN ANIES

DI BALIK PENGHADANGAN ANIES

Setelah kemenangan Prabowo Subianto dalam Pemilihan Presiden 2024 yang didukung oleh Jokowi, mayoritas partai politik di parlemen Indonesia  bergabung ke dalam koalisi pendukung pemerintah yang disebut KIM plus (dengan bergabungnya Nasdem, PKS dan PKB yang enggan menjadi oposisi karena beragam pertimbangan. Hanya PDIP dan beberapa partai tak lolos ke DPR yang tampaknya akan menjadi oposisi setelah paslonnya dalam pilpres lalu mengalami kekalahan.

PDIP yang sendirian tak memenuhi syarat untuk mengusung cagub dan cawagub berdasarkan ketentuan undang-undang. Namun peluang untuk itu terbuka berkat keputusan MK yang memangkas syarat 20 persen pengajuan calon kepala daerah.

Keputusan ini tentu memengaruhi proses pemilihan dan pendaftaran calon gubernur di berbagai daerah di Indonesia, termasuk DKI Jakarta.

Ketegangan memuncak setelah mayoritas anggota DPR yang bergabung dalam koalisi gemuk menyatakan penolakan terhadap keputusan MK. Jakarta dan banyak kota dilanda gelombang demo mahasiswa yang memprotes dan mengecam sikap DPR. Penolakan DPR terhadap keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengurangi syarat prosentase untuk pendaftaran calon gubernur dan wakil gubernur dapat dianggap sebagai tindakan yang menunjukkan resistensi terhadap perubahan aturan politik yang berpotensi mempengaruhi peta kekuatan politik di tingkat lokal.

Dalam konteks ini, penolakan DPR terhadap keputusan MK yang dapat memengaruhi syarat pendaftaran calon dalam Pemilihan Gubernur DKI Jakarta dapat dilihat sebagai indikasi potensial adanya kesepakatan politik yang bisa merugikan PDIP juga Anies Baswedan yang ditinggalkan oleh tiga partai pendukugnya di pilpres yang telah berlalu.

Sikap DPR ini dapat diinterpretasikan sebagai upaya untuk menghambat kesempatan Anies Baswedan  yang diyakini memiliki peluang terbesar untuk memenangkan Pemilihan Gubernur DKI

Karena sendirian dan ingin mengalahkan pertarungan di pilkada terutama pilgub DKI, PDIP  dikabarkan akan menggandenh Anies sebagai cagub yang akan disandingkan dengan Rano Karno demi melawan koalisi pro Jokowi yang mengusung Ridwan Kamil sebagai cagub bersama cawagub dari PKS

.

Namun jelang menit-menit akhir waktu pendaftatan cagub dan cawagub menarik dukungannya dan mengusung dua kader sendiri, Pramono Anung yang selama 4 tahun menjadi menteri dalam kabinet Jokowi dan Si Doel Rano Karno. Tragis juga dramatis. PDIP mungkin trauma dengan dinamika politik jelang pilpres yang lalu saat kader yang didukungnya dalam 2 periode justru mendukung rival capres-cawapres yang diusung PDIP.

Mengapa begitu gigih menghalangi Anies? Apakah karena partai-partai dalam koalisi jumbo terlalu baik dan Anies juga PDIP buruk? Apakah baik dan buruk masih relevan dimunculkan dalam rimba politik ini?

Mengapa begitu gigih menghalangi Anies? Apakah karena partai-partai dalam koalisi jumbo menghalanginya karena stigma politik identitas? Apakah masih relevan stigma itu setelah PKS yang dianggap partai kanan juga bergabung di dalamnya? Bukankah citra negatif "politik identitas" Anies juga telah dinetralkan saat Nasdem dan PKB mengusungnya dalam pilpres?

Mengapa begitu gigih menghalangi Anies?  Apakah karena semua parta dan mayoritas politisi adalah para patriotis anti Imperialisme sehingga menolak Anies karena dipastikan anak emas AS? Bukankan mestinya anak emas mestinya bisa menguasai seluruh kekuatan politik?

Mengapa begitu gigih menghalangi Anies? Apakah partai-partai dalam koalisi jumbo sangat benci oligarki dan menganggao Anies sebagai bagian dari oligarki? Ini terlalu lucu untuk dipertanyakan, apalagi dijawab.

Bila memperhatikan dengan sedikit curiga, mungkin kita yang mungkin selama ini getol menganggap Anies sebagai intoleran dan kanan karena memandang pihak yang membencinya sebagai santo berwajah innocent patut siuman dari narasi polarisasi dan menoleh ke belakang seraya bertanya-tanya tentang apa yang sebenarnya telah terjadi pada pilpres lalu.

Mengapa begitu gigih menghalangi Anies? Apakah karena semua partai memganggap elektabilitas Anies sangat rendah di Jakarta sehingga tak ingin memgalami kerugian pollitik. Bukankah semua lembaga survei mengunggulkan Anies?

Mengapa begitu gigih menghalangi Anies? Apakah karena partai-partai dalam koalisi jumbo terlalu baik dan Anies juga PDIP buruk? Apakah baik dan buruk masih relevan dimunculkan dalam rimba politik ini?

Mengapa begitu gigih menghalangi Anies? Apakah karena partai-partai dalam koalisi jumbo menghalanginya karena stigma politik identitas? Apakah masih relevan stigma itu setelah PKS yang dianggap partai kanan juga bergabung di dalamnya? Bukankah citra negatif "politik identitas" Anies juga telah dinetralkan saat Nasdem dan PKB mengusungnya dalam pilpres?

Mengapa begitu gigih menghalangi Anies?  Apakah karena semua parta dan mayoritas politisi adalah para patriotis anti Imperialisme sehingga menolak Anies karena dipastikan anak emas AS? Bukankan mestinya anak emas mestinya bisa menguasai seluruh kekuatan politik?

Mengapa begitu gigih menghalangi Anies? Apakah partai-partai dalam koalisi jumbo sangat benci oligarki dan menganggao Anies sebagai bagian dari oligarki? Ini terlalu lucu untuk dipertanyakan, apalagi dijawab.

Bila memperhatikan dengan sedikit curiga, sebagian kita yang mungkin selama ini getol menganggap Anies sebagai intoleran dan kanan karena memandang pihak yang membencinya sebagai santo berwajah innocent patut siuman dari narasi polarisasi dan menoleh ke belakang seraya bertanya-tanya tentang apa yang sebenarnya telah terjadi pada pilpres lalu.

Apa gerangan di balik ini semua?

Read more