Skip to main content

DIBILANG SYIAH SIAPA TAKUT?!

By February 28, 2016No Comments
 Salah satu teori yang coba dibangun beberapa kalangan untuk menjatuhkan lawan atau pesaing di negeri ini ialah, “Tuding lawan/pesaing Anda sebagai Syiah.

Salah satu teori yang coba dibangun beberapa kalangan untuk menjatuhkan lawan atau pesaing di negeri ini ialah, “Tuding lawan/pesaing Anda sebagai Syiah.

Salah satu teori yang coba dibangun beberapa kalangan untuk menjatuhkan lawan atau pesaing di negeri ini ialah, “Tuding lawan/pesaing Anda sebagai Syiah. Jika orang mulai percaya bahwa dia adalah Syiah maka itu adalah awal kejatuhannya.”

Kendati teori ini masih sangat mentah dan dengan mudah dapat dibantah, tetapi paling tidak telah membuat banyak pihak takut berbicara tentang Syiah dan atau berhubungan dengan orang-orang Syiah. Pada saat Munas MUI di Surabaya tahun 2015 lalu misalnya, banyak ulama anggota MUI yang sesungguhnya tidak sejalan dengan agenda anti-Syiah yang dipaksakan sebagian pimpinan Munas MUI Surabaya, tetapi karena khawatir dicap Syiah atau paling tidak pro-Syiah merekapun lebih memilih diam dan atau malah “setuju” dengan rekomendasi Munas MUI 2015 yang anti-Syiah.

Demikian juga saat berlangsungnya Muktamar ke-33 NU di Jombang, Jawa Timur 1-5 Agustus 2015 lalu, isu Syiah digunakan sebagian muktamirin dan calon-calon ketua yang bersaing untuk mejatuhkan kompetitor dan menggalang dukungan untuk dirinya. Bahkan kubu Said Aqil Siraj, Ketua PBNU yang dikenal sangat dekat dengan orang-orang Syiah dan terang-terangan memasang badan untuk membela Syiah perlu melakukan klarifikasi bahwa KH Aqil Siraj adalah orang NU tulen dan tidak ada tanda-tanda Syiah padanya, seperti yang ditandaskan KH Akhmad Said Asrori, ketua Tim Pemenangan Aqil Siraj, (Tempo, 1 Agustus 2015).

Emang ada apa dengan Syiah, kok sampai segitunya? Bahkan dengan alasan membendung faham Syiah sekelompok tokoh telah membentuk perkumpulan dan atau bahkan ormas khusus dengan agenda utama propaganda anti-Syiah dan program-program kerja kontra Syiah? MUI yang seharusnya menjadi rumah besar umat Islam Indonesia malah ikut-ikutan terpengaruh dengan membiarkan anggotanya, (MUI Jatim) mengeluarkan fatwa kesesatan Syiah dan membiarkan beberapa anggota pengurus MUI Pusat menulis dan mencetak ratusan ribu bahkan mungkin jutaan buku anti-Syiah dengan mengatasnamakan MUI tanpa melalui prosedur resmi MUI.

Sekali lagi, emang ada apa dengan Syiah, padahal isu Sunni-Syiah bukan masalah kemarin sore? Ia sudah ada bahkan sejak masa pertumbuhan awal Islam, sebagai akibat perselisihan mengenai siapa yang paling berhak atas kursi kekhalifahan pasca berakhirnya priode kenabian sepeninggal Nabi Muhammad saw. Mereka yang meyakini bahwa Ali lebih berhak atas kursi kekhalifahan karena Nabi telah menunjuknya sebagai Imam sesudahnya, itulah yang disebut Syiah, pengikut (Ali). Sedang yang menganggap bahwa Nabi tidak menunjuk siapapun, tapi menyerahkannya kepada pilihan kaum Muslimin disebut Sunni.

Pada masa awal itu perbedaan Sunni-Syiah terbatas pada masalah kecenderungan politik di atas, belum melebar ke persoalan-persoalan teologis apalagi fikih. Perbedaan teologis dan kemudian fikih baru mulai setelah umat Islam berakulturasi dengan umat dan budaya luar yang sedikit demi sediit mempengaruhi cara pandang umat Islam terhadap berbagai persoalan. Kaum Syiah yang merujuk kepada Keluarga Nabi (Ahlulbait), setelah Alquran dan Sunnah, menjadikan penjelasan-penjelasan Ahlulbait sebagai sumber utama dalam memahami agama, sedangkan kaum Sunni merujuk kepada Sahabat-sahabat Nabi dan memilih di antara pandangan-pandangan yang berbeda di antara para Sahabat yang di kemudian hari berhasil dirumuskan oleh al-Imam Abu Hasan al-Asyari dalam apa yang dinamakan sebagai I’tiqad Ahlussunnah wal Jamaah dalam bidang teologi dan oleh empat imam utama, Malik, Abu Hanifah, Syafii dan Ahmad Ibn Hanbal dalam bidang fikih.

Meski Sunni dan Syiah berbeda dalam pandangan politik, teologi, dan fikih, tetapi perbedaan di antara keduanya lebih bersifat interpretatif, penafsiran, ketimbang substansial. Masalah prinsip-prinsip keimanan atau yang lazim disebut di kalangan Sunni dengan istilah Rukun Iman misalnya, (ternyata) keduanya tidak saling menafikan yang lain. Bahkan masing-masing menerima dan mengakui prinsip yang lain. Keenam Rukun Iman Sunni, yaitu iman kepada Allah, malaikat, rasul-rasul, hari akhir dan qadha-qadar diterima secara bulat oleh kalangan Syiah. Demikian pula kelima prinsip keimanan (ushul al-iman), Syiah, yaitu tauhid, keadilan Ilahi, kenabian, imamah dan hari akhir dibenarkan oleh kalangan Sunni. Perbedaan keduanya hanya terletak pada perumusan prinsip dan penafsiran atas prinsip-prinsip yang dirumuskan.

Kalangan Sunni merumuskan prinsip-prinsip keimanan atas enam rukun di atas berdasarkan pada sebuah riwayat di antara beberapa riwayat yang menjelaskan tentang keimanan, sedangkan Syiah merumuskannya berdasarkan kesimpulan atas pokok-pokok persoalan keimanan dalam Islam. Dalam menafsirkan prinsip-prinsip yang dirumuskan, kalangan Sunni lebih menyandarkan pada argumen tekstual (naqli), sementara Syiah lebih berpijak pada argumen rasional. Hasilnya memang beda, tapi tidak sampai pada tingkat menyesatkan apalagi mengkafirkan masing-masing.

Mereka, sebagaimana yang ditegaskan Resolusi (Risalah) Amman, yang ditandatangani oleh lebih dari 500 ulama Muslim yang mewakili Muslimin sedunia, adalah sama-sama Islam dan memiliki keyakinan dasar yang sama. (Umar Shahab)

sumber: ahlulbaitindonesia.or.id