DILEMA PERPPU

DILEMA PERPPU
Photo by Unsplash.com

DILEMA PERPPU

Menjawab kontroversi dan kekhawatiran pembatasan hak berserikat dan penyalahgunaan PERPPU oleh kelompok-kelompok intoleran, Presiden Jokowi menegaskan bahwa beliau telah mendengar masukan dari banyak pihak termasuk MUI. Tentu, pernyataan ini positif dan cukup melegakan.

Mungkin yang jadi masalah bukan apakah substansi PERPPU membatasi kebebasan berserikat, tapi masalahnya adalah trust dan distrust.

Trust dan distrust dalam kancah politik nyaris tak pernah proporsional karena tendensi kekuasaan. Tapi dalam arena logika nirpolitik, trust dan distrust berpijak pada parameter yang jelas, yaitu komitmen pada konsekuensi

Menjawab kontroversi dan kekhawatiran pembatasan hak berserikat dan penyalahgunaan PERPPU oleh kelompok-kelompok intoleran, Presiden Jokowi menegaskan bahwa beliau telah mendengar masukan dari banyak pihak termasuk MUI. Tentu, pernyataan ini positif dan cukup melegakan.

Mungkin yang jadi masalah bukan apakah substansi PERPPU membatasi kebebasan berserikat, tapi masalahnya adalah trust dan distrust.

Trust dan distrust dalam kancah politik nyaris tak pernah proporsional karena tendensi kekuasaan. Tapi dalam arena logika nirpolitik, trust dan distrust berpijak pada parameter yang jelas, yaitu komitmen pada konsekuensi keterpilihan pemimpin dan inerjanya.

Masalah lain mungkin bukan trust dan distrust tapi salah kaprah peninggalan Orba memperlakukan MUI seperti lembaga semi negara. Inilah yamg menjadi kekhawatiran sebagian kelompok yang secara politik menaruh harapan kepada Presiden Jokowi dan Pemerintah.

Karena isi rincian PERPPU tersebut tidak hanya memuat poin pembubaran ormas anti Pancasila, namun juga memuat poin "penodaan agama", yang sangat mungkin disalahgunakan oleh anasir intoleran yang mengatasnamakan lembaga keulamaan, maka kekhawatiran terhadap PERPPU tersebut menjadi relevan.

Kekhawatiran kelompok-kelompok minoritas keyakinan yang kerap kali menjadi korban kekerasan dan ujaran kebencian tidak berlebihan. Faktanya, lembaga non Pemerintah, seperti MUI, terlihat mendapatkan previlege dan disertakan dalam pembuatan keputusan dan kebijakan. Faktanya pula, masukanhya diperlakukan sebagai salah satu dasar kebijakan..

Memang tidak ada salahnya Pemerimtah menerima masukam dari pihak manapun. Namun yang perlu diperhatikan ialah tendensi politik titipan yang justru berpotensi menimbulkan kegaduhan akibat vonis serampangan 'penodaan agama" atas sebuah kelompok atau ormas yang menjadi wadah kelompok keyakinan alias mazhab yang berbeda secara partikular dengan mazhab yang dianut mayoritas, karena intoleransi, bukan karena fakta pelanggaran objektif.

Dalam konstitusi dan UUD, fatwa adalah produk hukum yurisprudensi yang menjadi wewenang lembaga yudikatif, yaitu Mahkamah Agung dan lembaga-lembaga peradilan di bawahnya, sebagaimana disebutkan dalam undang-undang no 4 tahun 2004 atau yang lebih purba lagi dalam Staatsblad 1847 no 23, pasal 22 AB. Dengan demikian, produk hukum apapun yang tidak dikeluarkan oleh lembaga yudikatif tidak memiliki asas, bahkan bisa dianggap sebagai inkonstitusional.

Bila wewenang memberikan fatwa tersebut diperoleh dari lembaga non Pemerintah, maka itu berarti lembaga non Pemerintah memberikan wewenang kepada dirinya sendiri. Bila subjek pemberi wewenang adalah objek penerima wewenang itu sendiri, maka hal itu meniscayakan paradoks.

Bila wewenang tersebut diperoleh dari luar lembaga non Pemerintah, maka wewenang tersebut haruslah diberikan oleh lembaga yang lebih tinggi dalam struktur dan otoritas negara. Sedangkan lembaga non Pemerintah, seperti MUI, bukanlah bagian dari setruktur negara, sehingga wewenang yang diklaimnya tidak valid.

Bila MUI memperoleh wewenang dari Negara dan menjadi bagian dari strukur negara, maka konskuensinya adalah agama Islam menjadi bagian dari konstitusi negara. Bila sebuah agama menjadi bagian dari konstitusi, maka Negara menafikan Pancasila sebagai dasarnya kecuali bila terserap melalui legislasi. Karena keputusan-keputusan Pemerintah harus didasarkan pada logika kebangsaan dan kemanusiaan, bukan pandangan segelintir orang yang sangat mungkin tidak bersih dari sektarianisme. PERPPU haruslah mencerminkan spirit toleransi dan akomodasionisme.

Indonesia adalah produk sebuah kontrak sosial yang disahkan berdasarkan prinsip kebhinekaan dan kesatuan, yaitu kebhinekaan agama, suku, budaya, aliran, bahasa, daerah dan lainnya; dan kesatuan sebagai sebuah bangsa dan negara. (Muhsin Labib)an distrust tapi salah kaprah peninggalan Orba memperlakukan MUI seperti lembaga semi negara. Inilah yamg menjadi kekhawatiran sebagian kelompok yang secara politik menaruh harapan kepada Presiden Jokowi dan Pemerintah.

Karena isi rincian PERPPU tersebut tidak hanya memuat poin pembubaran ormas anti Pancasila, namun juga memuat poin "penodaan agama", yang sangat mungkin disalahgunakan oleh anasir intoleran yang mengatasnamakan lembaga keulamaan, maka kekhawatiran terhadap PERPPU tersebut menjadi relevan.

Kekhawatiran kelompok-kelompok minoritas keyakinan yang kerap kali menjadi korban kekerasan dan ujaran kebencian tidak berlebihan. Faktanya, lembaga non Pemerintah seperti MUI terlihat mendapatkan previlege dan disertakan dalam pembuatan keputusan dan kebijakan. Faktanya pula, masukanhya diperlakukan sebagai fatwa.

Dalam konstitusi dan UUD, fatwa adalah produk hukum yurisprudensi yang menjadi wewenang lembaga yudikatif, yaitu Mahkamah Agung dan lembaga-lembaga peradilan di bawahnya, sebagaimana disebutkan dalam undang-undang no 4 tahun 2004 atau yang lebih purba lagi dalam Staatsblad 1847 no 23, pasal 22 AB. Dengan demikian, produk hukum apapun yang tidak dikeluarkan oleh lembaga yudikatif tidak memiliki asas, bahkan bisa dianggap sebagai inkonstitusional.

Bila wewenang memberikan fatwa tersebut diperoleh dari lembaga non Pemerintah, maka itu berarti lembaga non Pemerintah memberikan wewenang kepada dirinya sendiri. Bila subjek pemberi wewenang adalah objek penerima wewenang itu sendiri, maka hal itu meniscayakan paradoks.

Bila wewenang tersebut diperoleh dari luar lembaga non Pemerintah, maka wewenang tersebut haruslah diberikan oleh lembaga yang lebih tinggi dalam struktur dan otoritas negara. Sedangkan lembaga non Pemerintah, seperti MUI, bukanlah bagian dari setruktur negara, sehingga wewenang yang diklaimnya tidak valid.

Bila ia memperoleh wewenang dari Negara dan menjadi bagian dari strukur negara, maka konskuensinya adalah agama Islam menjadi bagian dari konstitusi negara. Bila agama Islam menjadi bagian dari konstitusi, maka Negara menafikan Pancasila sebagai dasarnya kecuali bila terserap melalui legislasi. Karena keputusan-keputusan Pemerintah harus didasarkan pada logika kebangsaan dan kemanusiaan, bukan pandangan segelintir orang yang sangat mungkin tidak bersih dari sektarianisme. PERPPU haruslah mencerminkan spirit toleransi dan akomodasionisme.

Meski sebagian kekhawatiran itu bernada kecurigaan dan tendensius, sebagian lain layak diperhatikan. Aksi-aksi kekerasan dan persekusi atas nama pembelaan agama, terutama yang dilakukan oleh massa karena provokasi individu-individu yang dianggap merepresentasi kebenaran, kerap tak ditangani secara adil oleh penegak hukum.

Semoga PERPPU ini tidak menjadi seperti pasal penodaan agama yang penerapannya sangat subjektif dan tidak bebas dari pengaruh tekanan pihak-pihak intoleran bahkan mungkin anti Pancasila.

Di atas semua kekhawatiran itu, Presiden Jokowi, yang justru sering menjadi sasaran ujar kebencian kelompok-kelompok intoleran, layak dipercaya akan mengawal PERPPU tersebut dengan objektif, proporsional dan tegas.

Indonesia adalah produk sebuah kontrak sosial yang disahkan berdasarkan prinsip kebhinekaan dan kesatuan, yaitu kebhinekaan agama, suku, budaya, aliran, bahasa, daerah dan lainnya; dan kesatuan sebagai sebuah bangsa dan negara. (Muhsin Labib)

Baca juga:

Intoleransi Politik

Prostitusi Politik

Read more