DILEMA TAQIYAH
Setiap orang bahkan hewan telah dibekali oleh Tuhan mekanisme naluriah atau natural pengamanan dan penyelamatan nyawa dan segala yang mengancam diri bila berada dalam situasi darurat.
Sedemikian benderang keniscayaan menyembunyikan keyakinan atau apapun dalam situasi terdesak, sehingga ia tak memerlukan pagelaran teks dan pameran kitab dari yang kuning sampai yang bening.
Insting self defence atau sense of protection ini adalah insting dasar pre conseptional yang mendahului kognisi dan keyakinan apapun. Karenanya, sebelum dikemas sebagai sebuah prinsip dalam agama serta mazhab atau sebelum diketengahkan sebagai teori risk management juga sebelum diberi terma khusus "taqiyah" atau "tauriyah" atau "bithonah" atau apapun sebutannya, sistem ini sudah terinstall dalam diri setiap manusia juga fauna. Dengan kata lain, taqiyah diterima oleh yang bugar logika dan dicibir oleh yang bugil logika.
Namun, sebagian kalangan yang terlanjur dirasuki kebencian sektarian sehingga menafikan apapun yang benar dari pihak lain keburu mencemooh dan mengecam prinsip supra-rasional ini, padahal tanpa memakai nama taqiyah melakukannya bila tertekan dan terancam. Banyak pencemooh taqiyah (karena merasa harus mencemooh apapun yang berlainan dengan alirannya) bertaqiyah saat menggunakan taqiyah. Inilah taqiyah koadrat. Hanya orang bodoh dan sinting yang tidak mengamankan nyawa saat terancam.
Dalam psikologi modern ada prinsip etika yang mirip dengan taqiyah meski tak sama, dikenal dengan "white lie" atau dusta putih, berbohong demi sopan santun karena berkata sejujurnya bisa membuat orang sakit hati atau malu.
Orang-orang Syiah dikepung oleh para pembenci dan yang terpengaruh dengan stigma taqiyah sebagai senjata untuk menolak dan mendustakan semua info dari pihak Syiah tentang keyakinan-keyakinanya. Padahal diformalkannya taqiyah sebagai doktrin teologi Syiah justru karena sepanjang sejarah para penganutnya dibunuh, diburu, dikafirkan, disesatkan, dikucilkan dan diabaikan. Kini, malah dipersekusi karena menjadikan taqiyah sebagai doktrin rasionalnya.
Di sisi lain, karena tidak memahami secara utuh aspek teologis (akidah) dan yurisprudensial (fikih) taqiyah, sebagian orang yang bermazhab Syiah melonggarkan pengamalannya dengan alasan atau pertimbangan yang tak sesuai kriteria formal dalam fikih hingga melenyapkan identitas mazhab dan kelompoknya di tengah masyarakat, atau mengetatkankannya karena mengiranya tak lagi relevan diamalkan sehingga menimbulkan efek yang merugikan diri dan komunitas sekitarnya.
Agar tak keluar dari area taklif, diperlukan keseriusan dalam memahami setiap ajaran mazhab ini sebelum mengamalkannya, apalagi bila ingin mengajarkannya. Yang terpenting adalah memahami bentuk umum hukumnya (dengan merujuk kepada fatwa mujtahid yang menjadi rujukan) dan memahami cara mengidentifikasi subjek (terapan) hukumnya dengan wawasan kontekstual.