"DOA BERSAMA"
Ada dua macam doa; a) doa ritual, yaitu yang merupakan bagian dari ibadah (vertikal); b) doa non ritual, yaitu yang bukan bagian dari ibadah sebagaimana ucapan doa antar sesama, termasuk ucapan salam alaikum, salam sejahteta dan selamat datang dsb.
Doa ritual harus mengikuti syarat-syarat keabsahan dalam format ritus atau ibadah, seperti surah alfatihan dalam shalat, bahkan shalat sendiri merupakan praktik doa ritual. Setiap ajaran agama punya doa ritual yang hanya bisa (sah) dilakukan oleh penganutnya.
Sedangkan doa non ritual bisa disampaikan oleh siapa saja penganut agama pun dengan bahasa apapun, karena pada dasarnya konten doa adalah permohonan kebaikan meski mungkin persepsi setiap pendoa tentang yang termohon berlainan.
Kata singkat "amin" yang diucapkan pendoa atau pihak pendengar doa juga bisa dianggap doa. Bila konten doa adalah tidak bertentangan dengan keyakinan khas sebuah agama, dan bukan bagian dari ritualnya, kata itu boleh diucapkan saat mendengar doa dipanjatkan.
Sepatutnya doa yang dipanjatkan dalam acara yang hanya dihadiri oleh penganut satu agana adalah teks doa khas agamanya. Toleransi tak berarti lebay.
Bila tercetus ide "doa bersama" para penganut agama demi memperkuat kerukunan dan anti diskriminasi, mungkin perlu disusun teks doa dengan format tertentu yang bisa dipanjatkan bersama dalam sebuah event non ritual.
Dalam acara yang dihadiri oleh banyak penganut agama sebaiknya doa yang dipanjatkan adalah teks doa dengan fornat tertentu yang mencerminkan keragaman supaya tak terlihat seperti lomba doa.
Doa adalah aksi, bukan manusia. Ia tak beragama dan tak bermazhab juga tak berormas. Mengamini doa kebaikan dari siapapun adalah baik.
Terlepas dari polemik seputar "doa bersama", sebuah ide dengan tujuan baik harus dilontarkan secara tegas dan utuh agar bisa difollow up dengan aktualisasi, tidak malah menuai kontroversi dan kehebohan semata seperti yang sudah terjadi berulang kali sebelumnya.