Kebaikan bukanlah keburukan yang terhalang karena hilangnya kesempatan, besarnya modal dan hadirnya pengawas, tapi kesadaran tentang urgensi kepatuhan.
Pemaksaan keyakinan dan penolakan terhadap perbedaan adalah cermin ketakutan terkuaknya kelemahan keyakinan yang dianut pelaku.
Keanggunan wanita bukan sikap dingin dan hilangnya respon terhadap stimulus objektif tapi keteguhan dalam mengelola respon supaya tetap normal.
Hilangnya respon terhadap stimulus bukan pasti kesalehan karena derita pengendalian respon itulah yang menjadi parameter kesalehan.
Ironisnya, agama terlanjur ditampilkan sebagai doktrin yang menganggap semua komunikasi dan interaksi wanita – pria sebagai sesuatu yang negatif.
Karena memposisikan semua manusia sebagai tersangka bersalah dalam komunikasi pria – wanita, fokus hanya tertuju pada interaksi antar dua jenis berbeda.
Kalau matirasa itu kesalehan, batu bisa dianggap saleh karena tak memberi respon. Dinding tak dianggap buta karena tidak punya potensi melihat.
Karena hanya memperketat hubungan silang jenis, kadang respon yang salah terhadap stimulus justru terjadi antar sejenis pria-pria dan wanita-wanita.
Orangtua harus punya wawasan tentang biologi dan gender serta waspada sejak dini terhadap pubertas anak, pola-pola respon terhadap sejenis dan beda jenis.
Disorientasi seks sering terjadi karena pengabaian pubertas dan pengesanan ekstrem tentang respon bilologis anak terhadap lawan jenis sebagai hal negatif.
Karena pubertas adalah akibat alami pertumbuhan hormon, respon biologis terhadap lawan jenis tidak bisa dibungkam. Bila dinafikan,ia mencari cara lain.
Akibat pengekangan pubertas secara ekstrem (yang dikesankan sebagian agamawan sebagai ajakan setan), kepekaan membedakan lawan dan sesama jenis menjadi tumpul.
Akibat lain dari pengabaian hak anak mengenali peoses dan organ reproduksi, tidak sedikit saat dewasa mengalami disorientasi seksual.
Akibat ketiga dari penstigmaan negatif terhadap seks atau pengekangan ekstrem terhadap gejolak pubertas terutama wanita, terjadi disfungsi rumahtangga.
Disfungsi rumahtangga terjadi karena minimnya atau tiadanya kesadaran tentang kewajiban dan hak masing-masing pasangan dalam konteks interaksi seksual.
Minimnya kesadaran kedua pasangan atau salah satunya bisa dianggap sebagai lahan subur bagi benih-benih petaka rumahtangga yang kadang muncul tanpa disadari.
Petaka rumhtangga biasanya bermula dari kebosanan hilangnya “manfaat” interaksi seksual yang justru dirasakan masing-masing/salahsatunya sebagai “beban”.
Karena dirasakan sebagai beban, ia mulai mencari tempat lain dan mitra lain yang dibayangkannya lebih spesial. Padahal itu hanya dorongan “penasaran”.