Pengamat politik dari Universitas Airlangga Daniel Sparinga mengatakan parlemen di Indonesia termasuk paling kasar dalam hal attitude dibanding negara lain di dunia. Padahal selama ini yang dikenal memiliki anggota parlemen dengan attitude kasar itu seperti Taiwan, Israel, dan Australia.
“Kenyataannya seperti itu, parlemen di Indonesia jauh lebih kasar karena anggota dewan kita itu dari anggota masyarakat dari berbagai latar, apalagi yang paling banyak justru dari kalangan menengah ke bawah,” tuturnya dalam diskusi “Peran dan Fungsi DPR, Harapan dan Kenyataan” di Pusat Tabulasi Nasional di Hotel Borobudur, Jakarta, Minggu (19/4).
Menurut Daniel, perilaku anggota dewan saat ini (hasil pemilu 2004) masih menunjukkan gaya-gaya tradisionalis dalam memandang kekuasaan. Dimana mereka melihat kekuasaan sebagai sesuatu yang personal. “Gaya-gaya seperti bebal, pongah dan angkuh serta sikap yang dibuat-buat itu masih dilakukan, karena mereka masih merasa berkuasa dan memegang kekuasaan, karena mereka masih merasa kuasa itu bersifat personal,” jelasnya.
Seharusnya tradisi berpolitik baru, menurut Daniel, dapat dikembangkan oleh anggota dewan yang akan duduk di parlemen nanti. “Yang perlu dilihat perbedaannya, apakah ada tradisi baru yang akan mereka tanamkan, yaitu berpolitik dengan lebih baik, misalnya dalam sidang menunjukkan perilaku yang lebih beretika, selain itu dalam berhubungan dengan pemerintah, dan rapat-rapat konsultasi dengan pemerintah. Anggota dewan boleh marah, asal masih dalam bingkai etika sosial,” tuturnya.
Selain itu, parlemen yang lebih baik akan bisa tercapai bila ada iklim yang lebih baik dalam hal menyuarakan hal-hal baru seperti nilai-nilai, etika dan tradisi baru dalam konsep gerakan budaya. “Tapi tak cukup hanya gerakan budaya saja karena harus mengerucut pada gerakan sosial hingga sampai menjadi gerakan politik, baru bisa terbentuk iklim yang sehat,” ujarnya.
Sementara itu, menurut pengamat politik dari LIPI Lili Romli, kualitas pendidikan caleg yang ada saat ini tak menjamin kualitas kepribadian caleg. “Kalau pun ada caleg aktivis atau caleg dengan kualitas persona yang bagus justru diusung partai kecil yang tak lolos parliamentary treshold, ya kan enggak masuk ke parlemen,” ujarnya.
Menurut Lili, dari data yang dikumpulkannya, ada sekitar 5 ribuan caleg berpendidikan S1, lulusan S2 mencapai 1200-an, sedangkan S3 mencapai sekitar 128 orang. “Masalahnya caleg yang diusung tersebut cenderung ada kaitan dengan kekuatan elite lama, dimana politik dinasti masih berlaku. Misalnya satu keluarga itu menjadi caleg, istri bupati terpilih anggota dewan ini berarti mandheg-nya sirkulasi elite partai,” tegasnya. (kompas)