Belakangan, banyak bermunculan konten yang memuat pesan cinta dan perdamaian, terutama di kanal media sosial, berupa tulisan dan verbal hingga tampilan audio visual. Masyarakat pecinta atau pecinta damai berlomba berebut posisi pertama yang menshare-nya.
Niat baik ini tentu sangat layak diapresiasi. Terasa begitu menyenangkan dan bikin adem. Siapa sih yang tak membutuhkan cinta dan menginginkan kedamaian? Hanya mereka yang sudah bukan manusia yang anti cinta dan damai.
Sebaliknya, secara kultural, kebencian dan permusuhan sudah terlanjur prerogatif. Konotasinya melulu negatif. Ini kontras dengan cinta dan damai yang selalu dibayangkan positif.
Naluri manusia sendiri mendorong pikiran dan perasaan ke arah yang membuatnya bertahan hidup dan bebas dari marabahaya, termasuk konflik. Karena itulah, para penganjur cinta dan damai lebih banyak digemari dan diikuti, meski kadang terlihat tak menawarkan sebuah solusi aplikatif.
Berorientasi pada cinta dan damai tentu sah-sah saja. Tapi, mungkinkah atau pernahkah dunia hanya berisi cinta? Realistiskah? Kenyataan mengkonfirmasi diktum logika tentang keniscayaan dialektika dalam fakta. Toh kehidupan ini tak hanya dihuni manusia. Banyak juga binatang hingga setan ikut berkeliaran di dalamnya.
Agama yang logis dan relevan makanya mengamini. Lebih lagi, mengharmoni cinta dan benci, damai dan memusuhi atau melawan secara proporsional. Yang dicinta dan diajak damai, kata agama otentik, itu Tuhan, manusia, bahkan seluruh makhluk. Yang dibenci dan dimusuhi hingga dilawan, ya binatang dan setan berujud manusia.
Tanpa cinta, tak ada damai. Tanpa benci, takkan ada perlawanan. Tanpa damai, tak ada tentram. Tanpa perlawanan, takkan ada keadilan. Hidup tentram minus keadilan hanyalah penjajahan dan tirani.
Kebencian an sich dan primal pada dasarnya netral dan bebas nilai. Bisa baik, bisa buruk, bergantung banyak variable yang menyertainya, semisal motif dan objek. Maka, cinta dan benci, damai dan musuh, tak lain dari pasangan yang niscaya dalam kehidupan dialektis umat manusia.
Kebencian menjadi negatif bila disertai kebrutalan, keangkuhan, kedengkian, dan hasrat mendominasi. Tapi, dunia tanpa cinta hanyalah neraka. Sebaliknya, dunia tanpa benci, itulah surga. Harapan hidup minus dialektika sendiri semata utopia. Dunia dicipta dan dirancang sebagai dunia, bukan sebagai neraka atau surga. Tapi, dunia itu juga surga sekaligus neraka.
Ingin hidup dalam keadilan? Mulailah konstan membuka hati dan pikiran demi mengharmoni ragam dialektika tanpa terperosok dalam eklektika: cinta dan benci, akseptensi dan resistensi, suka dan duka, sukses dan gagal, kalah dan menang, afirmasi dan negasi. Memuja satu pihak tanpa pasangannya dalam hidup hanyalah sebentuk fanatisme dan ekstremisme yang memusuhi akal sehat.
Manusia sehat merawat cinta untuk mengikuti kepada yang mulia, lebih mulia dan paling mulia serta maha mulia. Ia juga merawat benci untuk menghindari juga melawan yang hina, lebih hina, paling hina dan maha hina.
Mari jalani hidup adil tanpa utopia dan tanpa fobia.