Seseorang bertanya dengan nada heran mengapa PTN-PTN yang sekuler itu jadi semacam sarang skripturalisme, intoleransi dan sektarianisme? Bukankah pendidikan tinggi justru menciptakan sikap rasional dan toleransi.Positivisme dan sekulerisme mengeluarkan agama dari ilmu. Agama dimasukkan ke domain keyakinan yang ditafsirkan sebagai iman tanpa nalar.
Kelompok skriptualis Islam menegaskan bahwa keberagamaan dibangun diatas penerimaan terhadap teks agama tanpa logika.
Inilah titik temu literalisme dan liberalisme. Karena terdidik secara saintifik, terbentuklah mindset pemisahan ilmu dari iman.
Relijiusitas dipahami mereka sebagai penerimaan doktrin tanpa nalar, karena dijejalkan bahwa agama tidak bisa ditakar dengan akal insan.
Skriptualis menekankan doktrin anti logika karena sadar bahwa 1) Penafian peran logika adalah cara mudah membuat orang patuh.
Penafian logika menutup peluang sikap kritis yang menggugat doktrin-doktrinnya yang irrasional, intoleran dan kaku.
Gayung bersambut. Skulerisme-positivisme yang menganggap iman itu minus knowledge dengan merespon skripturalisme sebagai konfirmasi.
Positivisme menolak penjelasan agama scara logis & saintifik. Ini tertanam dalam mindset petinggi lembaga-lembaga pendidikan sekuler.
Karena itu relijiusitas tanpa logika ini diterima bahkan didukung untuk disebarkan di lembaga-lembaga pendidikan sekuler tersebut.
Ketika disajikan tanpa argumen rasional, agama terasa licin & mudah diterima. Maka berduyun-duyunlah pemuda-pemuda muslim melahapnya.
Sejak Revolusi Iran & Sebelum 9/11 di kampus-kampus sekuler seperti ITB dan PTN-PTN utama karya-karya Muthahhar & Syariati jadi primadona.
Pemikiran Syi’ah diandalkan untuk menghadapi wacana Barat seperti Marxisme, Eksistensialisme, Mazhab Frankfurt, Postmo dan sebagainya saat itu.
Faktor lain adalah tidak terwakilinya pemikiran Islam yang sebelumnya hanya disuplai dari Mesir dalam menghadapi trend pemikiran Barat.
Pada awal 90an pesantren-pesantren tradisional membuka diri terhadap modernitas karena pengaruh CakNur dan Gus Dur telah mengubah peta.
Peta berubah seiring dengan serbuan santri-santri ke lembaga pendidikan formal, PTN-PTN Islam jadi polar vis a vis dengan PTN-PTN sekuler.
Selanjutnya anomali terjadi. PTN-PTN sekuler jadi lumbung literalisme dan PTN-PTN Islam jadi sarang liberalisme dengan Formasi dan sebagainya.
KUK dengan Islib dan lembga-lembaga sejenisnya berhasil memasarkan pluralisme & membuka diri terhadap pemikiran Syi’ah di UIN & lainnya.
Berkat rekrutmen dan pengkaderan sistemik, skriptualisme berhasil mendistribusikan anak-anak didiknya ke lini-lini penting.
Sebenarnya maraknya skriptualisme adalah hasil pembibitan sejak di lembaga-lembaga pendidikan pra PTN dan lembaga-lembaga bimbel.
Meski demikian, tidak berarti semua PTN sekuler didominasi skripturalisme, intoleransi dan anti modernitas.
Secara umum, skriptualisme lazimnya melahirkan antipluralisme dan demokrasi. Dari sinilah biasanya intoleransi muncul.
Skriptualisme adalah mtode episremologi. Anti demokrasi dan pluralisme adalah ouputnya. Intoleransi adalah implementasinya.
Skriptualisme adalah metode epistemologi. Anti demokrasi adalah ouputnya. Intoleransi adalah implementasinya.
Intoleransi berpeluang melahirkn kekerasan. Kita bisa menyimpulkan sendiri-sendiri. Semoga bangsa dan negeri ini terjaga dalam kebhinekaan.