Skip to main content

Sebagian dari kita tempoe doeloe saat masih balita suka makan diselingi bermain sehingga tak fokus dan keburu mau menyudahi makan demi melanjutkan bermain. “Ayo makannya dihabisin. Eman (sayang) kalau ngga dihabisin. Nasi yang tersisa menangis lho!” Begiitulah kira-kira konten warning para orang tua.

Doktrin “eman” tertanam di slot primer dalam memori hingga sangat lekat. Sejak imut-imut sampai amit-amit berapapun banyaknya makanan yang disuguhkan dan sepedas apapun sambelnya, doktrin ’eman’ dan dongeng ‘tangisan nasi’ dalam alam bawah sadar menggerakkan kita untuk membersihkan piring bahkan kadang semua yang digelar di atas meja. Doktrin ini biasanya diperkuat ajaran motivasi “menyenangkan pemberi atau pembuat makanan.

Ajaran etika anti mubazir ini terlanjur dikonfirmasi tanpa disertai syarat dan ketentuan yang perlu dipahami demi menghindari efek samping. Akibatnya, timbullah aneka gangguan kesehatan dalam sistem pencernaan, tingginya kadar gula yang tak terdeteksti karena menganggap nasi bukanlah gula, obesitas karena mengira gemuk sebagai indikator kebugaran, tekanan darah yang sangat tinggi karena mengira darah tinggi (hipertensi) cuma sebutan bagi orang temperamental dan aneka penyakit yang timbul sebagai kontra ekstrem dari “eman”.

Kita tinggal memilih salah satu dari dua jenis eman a) eman terhadap makanan yang tidak dilahap semua dan merasa berdosa karena membiarkan nasi dan teman-temannya “menangis” dan dicap tidak mensyukuri rezeki makanan karena melahapnya; b) eman kepada tubuh kita yang perlu dilindungi dari aneka penyakit akibat tidak membatasi jumlah makanan yang dioper ke perut.