EUFORIA SEKTARIANISME

EUFORIA SEKTARIANISME
Photo by Unsplash.com

Memeluk sebuah agama niscaya sadar atau tidak sadar memilih salah satu sistem penafsiran terhadap ajarannya. Karenanya menganut sebuah mazhab adalah konsekuensi tak terelakkan. Namun menganut sebuah mazhab atau sekte tak mesti berpikir serba kemazhaban alias sektarian. Artinya, mestinya memposisikan mazhab sebagai metode memahami ajaran agama, bukan malah menggeser agama dengan mazhab.

Tak sedikit orang yang semula bermaksud menganut sebuah mazhab justru melupakan tujuan utamanya, yaitu mengamalkan agama, dan menjadikan mazhab, yang semula merupakan metode penafsiran terhadap agama, sebagai agama. Ia laksana orang yang mengenderai mobil karena hendak menuju Surabaya, misalnya. Namun akibat terlampau sibuk memikirkan dan menikmati kenyamanan mobil, sesampainya di kota tersebut, dia justru tidak keluar mobil itu dan mengira Surabaya adalah mobil itu. Rupanya dia mengendarai mobil karena ingin melakukan perjalanan, bukan menuju Surabaya. Inilah yang disebut sektarianisme.

  1. Dia mengira bahwa bila dia memilih meninggalkan sebuah mazhab dan menganut mazhab lain maka mestinya semua orang melakukan hal yang sama. Padahal setiap individu punya kapasitas, tingkat pemahaman dan sejumlah kondisi personal yang tidak sama. Inilah yang membuatnya tetap intoleran meski yang dianutnya adalah mazhab minoritas.
  2. Dia mengira bahwa menyebarkan penggalan teks hadis atau narasi yang menggugat keyakinan mazhab lain yang ditinggalkannya sebagai bukti kecintaan kepada mazhab yang baru dianutnya dan penguatan atas keyakinan sesama penganut. Padahal sangat mungkin, karena inkompetensinya, ia tak mampu membantah bila pihak penganut lain membantah kritiknya. Itu artinya, berkat euforia mazhab ia tanpa sadae telah mencoret nama seseorang dari list kandidat penganut dan menyumbangkan satu nama kepada para pembenci.

Terlepas dari itu semua, pemimpin tertinggi umat Islam penganut mazhab ini sebagai pemegang otoritas tertinggi dalam mazhab ini melarang dan mengharamkan aksi dengan dalih dakwah sekalipun yang dapat menimbulkan perpecahan bahkan mengundang antipati terhadap mazhab ini dan para penganutnya.

Sebagian orang yang gemar menshare tulisan-tulisan tentang isu-isu khilafiyah (yang diperselisihkan oleh kalangan Syiah dan Sunni) yang sudah lawas seputar akidah, fikih dan sejarah yang dengan maksud menyalahkan mazhab yang tak lagi dianutnya dan membuktikan kebenaran mazhab yang belum lama dianutnya.

Bila dilihat secara sektarian dalam dialektika pemikiran, mestinya hal itu bagi yang semazhab wajar, tapi bila disampaikan secara sepihak, aksi itu bisa mengindikasikan sejumlah mindset dan presumsi yang tak selaras dengan semangat rekonsiliasi dan upaya mengurangi ketegangan dalam keluarga besar umat Islam.

  1. Dia dia sedang menghimpun sebanyak mungkin alasan demi menghapus kegundahan dan keraguan yang tersisa dalam benaknya sendiri. Bila terbukti benar, dia akan mengulang narasi yang senada dalam isu sensitif lainnya dan begitulah seterusnya. Rupanya, dia mengira menjadi penganut sebuah mazhab berarti harus menilai mazhab lain yang tak lagi dianutnya dan berupaya melemahkannya demi meyakinkan dirinya bahwa perpindahannya sudah benar. Padahal a) berpindah mazhab tak harus didasarkan pada komparasi dan riset menyeluruh dan koreksii dengan mazhab lain; b) berpindah mazhab tak berarti menolak semua keyakinan dan mazhab yang tak lagi dianutnya; c) berpindah ke suatu mazhab tak berarti harus mempelajari seluruh keyakinan dan ajaran di dalamnya, karena itu terlalu sulit dilakukan bahkan oleh yang punya kapasitas intelektual dan karena yang perlu dibandingkan hanyalah fondasinya.
  2. Dia mengira menganut mazhab hanyalah mengimani dalil-dalil kebenarannya dan membincangkannya serta menjadikannya sebagai senjata untuk melakukan agresi terhadap mazhab lain atau mazhab yang pernah dianut dan telah ditanggalkannya. Padahal a) persepsi tentang kebenaran yang subjektif suatu mahzab tidak mesti sama persis dengan kebenaran objektifnya; b) sekadar kumpulan teks dan ajaran tidak cukup menjadi dasar sebuah mazhab.
  3. Dia mengira menganut sebuah mazhab berarti mengulang-ulang narasi kesejarahaan yang kontras dengan mainstream dan mengkritik mazhab lain dan terus sibuk mendaur ulang itu tanpa mempertimbangkan prinsip toleransi dan mempertimbangkan efek negatifnya bagi komunitas semazhabnya.
  4. Dia mengira bahwa kebenaran mazhab yang diyakininya menjamin secara otomatis kebenaran sikapnya sebagai penganutnya. Padahal penganut sejati adalah yang mengubah mindset dan pola pikirnya sesuai mazhab yang dianutnya, bukan sekadar mengklaim atau mengekspresikannya secara vebal dalam debat atau agresi sepihak terhadap mazhab lain yang pernah dianutnya.

Read more