FATWA

FATWA
Photo by Unsplash.com

Salah satu sumber persoalan yang menjadi dasar tragedi peradilan adalah satu kata sakti. Fatwa, sebutannya. Ia adalah sebuah frase yang cenderung dipahami secara salah dan ngawur oleh banyak pihak sehingga tidak sedikit yang kehilangan hak untuk menghirup oksigen, anak menjadi yatim, wanita menjadi janda, dan ratusan bahkan ribuan warga tak bersalah menjadi korban kolosalisasi “fatwa”. Ia juga dipahami sebagai semacam izin dan sertifkat halal untuk melakukan aneka pembunuhan, penjarahan, pengusiran, teror, dan yang lebih parah lagi, dasar keputusan pengadilan dan vonis. Beberapa bulan lalu muncul pula gerombolan orang aktif menyebarkan hatespeech dengan memajang kalim "pengawal fatwa". Pendek kata, fatwa menjadi momok bagi beberapa kelompok minoritas.

Dalam Lisanul Arab, Imam Ibnu Mandzur menyatakan bahwa kata “futya” atau ”futwaay” adalah dua isim (kata benda) yang digunakan dengan makna al ifta’ (fatwa dalam bahasa Indonesia). Kedua isim tersebut berasal dari kata “wa fataay”. Oleh karena itu, dinyatakan aftaitu fulaanan ru’yan ra`aaha idza ’abartuhaa lahu (aku memfatwakan kepada si fulan sebuah pendapat yang dia baru mengetahui pendapat itu jika aku telah menjelaskannya kepada dirinya). Wa aftaituhu fi mas`alatihi idza ajabtuhu ’anhaa (aku berfatwa mengenai masalahnya jika aku telah menjelaskan jawaban atas masalah itu). [Ibid, juz 15, hal. 145].

Sedangkan penulis Aun al Ma’bud menyatakan bahwa makna dari kata “al futya” adalah apa – apa yang difatwakan oleh seorang faqih ayau mufti.

Di dalam Kitab Mafaahim Islaamiyyah diterangkan sebagai berikut, ”Secara literal, kata ”al-fatwa” bermakna ”jawaban atas persoalan-persoalan syariat atau perundang-perundangan yang sulit. Bentuk jamaknya adalah fataawin dan fataaway. Jika dinyatakan aftay fi al-mas`alah : menerangkan hukum dalam permasalahan tersebut. Sedangkan al-iftaa` adalah penjelasan hukum-hukum dalam persoalan-persoalan syariat, undang-undang, dan semua hal yang berkaitan dengan pertanyaan-pertanyaan orang yang bertanya (ibaanat al-ahkaam fi al-mas`alah al-syar’iyyah, au qanuuniyyah, au ghairihaa mimmaa yata’allaqu bisu`aal al-saail). Al-Muftiy adalah orang yang menyampaikan penjelasan hukum atau menyampaikan fatwa di tengah-tengah masyarakat. Mufti adalah seorang faqih yang diangkat oleh negara untuk menjawab persoalan-persoalan…Sedangkan menurut pengertian syariat, tidak ada perselisihan pendapat mengenai makna syariat dari kata al-fatwa dan al-iftaa’ berdasarkan makna bahasanya.

Oleh karena itu, fatwa secara syariat bermakna, penjelasan hukum syariat atas suatu permasalahan dari permasalahan-permasalah yang ada, yang didukung oleh dalil yang berasal dari al-Quran, Sunnah Nabawiyyah, dan ijtihad. Fatwa merupakan perkara yang sangat urgen bagi manusia, dikarenakan tidak semua orang mampu menggali hukum-hukum syariat. Jika mereka diharuskan memiliki kemampuan itu, yakni hingga mencapai taraf kemampuan berijtihad, niscaya pekerjaan akan terlantar, dan roda kehidupan akan terhenti…”[Mafaahim al-Islaamiyyah, juz 1, hal. 240].

Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa, fatwa adalah penjelasan hukum syariat atas berbagai macam persoalan yang terjadi di tengah-tengah masyarakat. Hukum syariat ditujukan kepada perbuatan atau aksi fisikal. fatwa adalah opini yang secara khusus hanya menetapkan hukum yurisprodensi (fikih) seperti halal, haram, wajib, mubah, makruh, mandub, serta sah batal sebuah perbuatan.

Dalam sejarah fikih ijtihad, qadha’ semua mazhab, fatwa tdk pernah digunakan utk menetapkan pikiran atau pendapat sbg “sesat” atau predikat2 mental lainnya. Karena itu, penetapan vonis dengan pasal penodaan agama terhadap sebuah pendapat dan keyakinan, kecuali berupa perbuatan yang didasarkan pada indikasi kebencian seperti membakar kitab suci, tidak sepatutnya didasarkan pada fatwa, yang secara jelas bersifat interpretatif dan subjektif.

Fatwa, Pendapat Pribadi

Fatwa adalah pendapat pribadi yang merasa terpanggil untuk melakukan identifikasi subjek hukum (taskhish maudhu’ al-hukm), yang disebut dengan tashawwur al-mas’alah oleh Makruf Amin, dalam makalah pengukuhannya sebagai Doktor HC.

Disebutkan dalam Ensiklopedi Islam bahwa si peminta fatwa (mustafti’) baik perorangan, lembaga maupun masyarakat luas tidak harus mengikuti isi fatwa atau hukum yang diberikan kepadanya. Hal itu, disebabkan fatwa seorang mufti atau ulama di suatu tempat bisa saja berbeda dari fatwa ulama lain di tempat yang sama.

Fatwa biasanya cenderung dinamis, karena merupakan tanggapan terhadap perkembangan baru yang sedang dihadapi masyarakat peminta fatwa. Isi fatwa itu sendiri belum tentu dinamis, tetapi minimal fatwa itu responsif.

Tindakan memberi fatwa disebut futya atau ifta, suatu istilah yang merujuk pada profesi pemberi nasihat. Orang yang memberi fatwa disebut mufti atau ulama, sedangkan yang meminta fatwa disebut mustafti. Peminta fatwa bisa perseorangan, lembaga ataupun siapa saja yang membutuhkannya.

Futya pada dasarnya adalah profesi independen, namun dibanyak negara Muslim menjadi terkait dengan otoritas kenegaraan dalam berbagai cara. Dalam sejarah Islam, dari abad pertama hingga ketujuh Hijriyah, negaralah yang mengangkat ulama bermutu sebagai mufti. Namun, pada masa-masa selanjutnya, pos-pos resmi futya diciptakan, sehingga mufti menjadi jabatan kenegaraan yang hierarkis, namun tetap dalam fungsi keagamaan.

Dalam sejarah fikih Sunni, disebutkan bahwa pada mulanya praktik fatwa yang diberikan secara lepas dan belum ada upaya untuk membukukan isi fatwa ulama-ulama tersebut. Fatwa pertama kali dikumpulkan dan sebuh kitab pada abad ke-12 M. Mazhab Hanafi memiliki sejumlah kitab fatwa sepertiaz-Zakhirat al-Burhaniyah, kumpulan fatwa Burhanuddin bin Maza (wafat 570 H/1174). Inilah kitab kumpulan fatwa pertama. Mazhab Maliki memiliki kitab kumpulan fatwa bertajuk al-Mi’yar al-Magrib yang berisi fatwa-fatwa al-Wasyarisi (wafat 914 H/1508 M). Mazhab Hanbali juga memiliki sejumlah kitab fatwa, yang paling terkenal adalah Majmu al-Fatawa.

Penjelasan diatas cukup menjadi gambaran betapa kompleks persoalan dan rumitnya proses ifta’. Akan lebih kompleks bila penjelasan diatas dilengkapi dengan persepktif hukum fikih dalam khazanah Syiah.

loading...

Read more