Filsafat, Agama, dan Sains

Filsafat, Agama, dan Sains
Photo by Unsplash.com

Philosophy, Science and Religion | The University of Edinburgh

Isu "kebenaran"

Kebenaran sering diucap karena itulah muara semua klaim setiap individu manusia. "Benar" adalah kata sifat atau predikat (ejektif) yang disandangkan atas sesuatu. "Sesuatu" adalah apapun yang dipikirkan setiap manusia (atau yang tercetak dalam dirinya atau benaknya) saat berinteraksi dengan selain dirinya.

"Selain dirinya" adalah yang ditandai dengan ragam kata (meski bermakna sama), yaitu realitas, kenyataan, fakta, objek dan lainnya sesuai bahasa utama yang selalu digunakannya. "Realitas" atau kenyataan adalah kata untuk menandai semua yang ada."Kebenaran" adalah kata olahan dari kata "benar" sebagai tanda bagi "ada".

"Ada" adalah kata dengan makna yang sama dalam benak setiap individu manusia ataukah kata dengan ragam makna sesuai pemahamannya? Inilah induk semua sengketa terbesar dalam sejarah umat manusia. Filsafat (metafisika) dan sains (fisika) memberikan dua jawaban berbeda.

Sains yang Mendominasi

Karena kaum saintis (empiris, positivis) menganggap benda sebagai realitas dan ada, maka "ada" pun dalam bahasa umum ditetapkan sebagai kata untuk sesuatu yang bendawi dan inderawi. Makna ini mengakar dan menjadi bagian mindset bawah sadar. Karena objek yang terinderakan beragam, maka setiap objek terinderakan pun ditetapkan sebagai realitas tersendiri. Karena setiap obkek terinderakan ditetapkan sebagai realitas-realitas yang berlainan, maka realitas ditetapkan beragam (plural).

Karenanya, realitas satu pun ditolak. Karenanya pula, realitas dan ada ditetapkan sebagai satu kata untuk ragam objek. Karena realitas dan ada ditetapkan untuk aneka objek terinderakan yang beragam, maka kata realitas dan ada ditetapkan sebagai kata dengan ragam makna.

Filsafat yang tersingkir

Karena objeknya mudah dikenali, sains disuka mayoritas umat manusia. Selanjutnya ia mendominasi dunia dan membangun peradaban manusia dengan teknologi. Filsafat tersingkir dan dianggap sebagai narasi aneh, rumit, tak nyata dan percuma. Selanjutnya ia hanya menjadi diskrus dan bahan literasi terbatas dalam stoa-stoa terpencil dan ragam pandangannya terserak dalam traktat yang diungkap dalam diksi dan frasa yang terasa asing dan rigid. Orang-orang yang mempelajarinya aneh dan obsesif mengejar fatamorgana.

Agama Yang Dijinakkan oleh Sains

Di tengah dua polar besar itu, banyak orang dilanda cemas. Mereka tunduk kepada sains yang telah memastikan "realitas" sebagai yang terinderakan, terukur dan teruji (fisikal) dan tak bisa mencerna filsafat dengan struktur logika, epistemologi dan ontologi namun ingin percaya kepada realitas metafisikal.

Intuisi mereka mendeteksi tanda-tanda realitas metafisikal namun enggan atau merasa tak mampu atau nalarnya terlanjur tunduk kepada logika sain yang ampuh. Mereka pun membentuk elemen ketiga. Iman namanya. Mereka melukiskannya sebagai kepercayaan kepada realitas metafisikal tanpa logika metafisika.

Para pemuka sains dan pemilik teknologi yang telah mendominasi dunia dengan kolonialisme lama dan baru memberi ruang kepada para pendukung "iman" karena sadar bahwa dunia tak mungkin hanya dihuni oleh oleh manusia-manusia saintis. "Iman" tanpa logika diperlukan sebagai terapi kebingungan orang-orang yang kurang beruntung dalam dunia sains.

Tuhan (yang dipercaya tanpa nalar) diperlukan untuk mengatasi post power syndrome dan delusi akut akibat kegagalan dalam persaingan ketat. Agama (yang dianut dan diajarkan sebagai doktrin irrasional) diperlukan untuk menambah daya tekan rezim sains untuk hegemoni. Spiritualitas diperlukan untuk melestarikan. Humaniora pun diadopsi sebagai bagian dari sains. Positivisme pun mendunia.

Filsafat dipisahkan dari Metafisika oleh Sains

Setelah menjinakkan "agama" dan memasukkannya sebagai salah sarana penunjang sains bersama konvensi dan hukum-hukum positif, rezim sains pun mengakuisi filsafat dengan membuang metafisika dan semua tema tentang ontos atau eksistensi abstrak. Sejak itulah filsafat dimutilasi menjadi ragam bidang elementer. Filsafat dengan metafisika hanya diajarkan sebagai bidang studi sejarah hidup para filsuf dan sekilas pandangan-pandangannya yang sudah dianggap tak relevan. Mempelajarinya pun dianggap sebagai sekadar wisata intelektual mengenali khazanah purba.

Sedangkan filsafat dalam era sains dihadirkan sebagai metode rasional yang menunjang sains guna mengungkap aspek abstrak ideal dan universal setiap objek fisikal dan fenomena yang telah diuji coba secara empiris. Selanjutnya filsafat pun tak lagi identik dengan metafisika sebagai "universal knowledge" tapi hanya sebuah prolog abstrak bagi sebuah bidang ilmu sains natural (ilmu alam) dan sains sosial (ilmu sosial).

Pada masa Renaisans di Barat filsafat dipisahkan dari metafisika. Sejak saat itulah ia disebut filsafat modern. Filsafat modern resmi

menggantikan filsafat skolastik pada abad ke-17 hingga awal abad ke-20 di Eropa Barat dan Amerika Utara.

Sains dan Filsafat Modern

Selanjutnya muncullah secara bergantian sebagai anti tesanya aneka pandangan, aliran dan filsuf, dari Empirisisme (John Lock,Francis Bacon, Thomas Hobbes, David Hume dan George Berkeley), Postivisme (Auguste Comte, E. Littre, P. Laffitte, John Stuart Mill dan Herbert Spencer, Eksistensialisme (Søren Kierkegaard, Fyodor Dostoevsky, Jean-Paul Sartre dan Friedrich Nietzsche), Fenomenologi (Edmund Husserl, Edith Stein, Eugen Fink, Martin Heidegger, Max Scheler, Nicolai Hartmann, Roman Ingarden), Post-Strukturalisme (Michel Foucault, Jacques Derrida, Gilles Deleuze, Jean-François Lyotard, Roland Barthes, Jacques Lacan, Louis Althusser, Jean Baudrillard, Slavoj Žižek, Ernesto Laclau, Julia Kristeva, Chantal Mouffe, Judith Butler dan Hélène Cixous), hingga Teori Kritis atau Neo-Marxisme (Herbert Marcuse, Theodor Adorno, Max Horkheimer, Walter Benjamin, dan Erich Fromm, György Lukacs, Antonio Gramsci dan Jürgen Habermas) dan lainnya.

Kini di dunia yang didominasi oleh sains kata filsafat identik dengan gagasan-gagasan di atas. Objeknya adalah alam dan manusia. Tuhan dan spiritualitas (yang pada masa skolastik justru tema utama filsafat) tak lagi dianggap sebagai bagian filsafat. Ciri-ciri khasnya adalah empiris, postif, dan antroposentrik. Masyarakat modern di dunia Islam yang merupakah wilayah-wilayah koloni Barat modern dalam pemikiran, budaya dan ekonominya juga membangun sistem pendidikan dengan mindset ini. Filsafat dipelajari oleh kaum terpelajar sebagai cara melepaskan diri "delusi" ketuhanan dan folklor agama. Filsafat dibenci para pemuja agama minus nalar sebagai biang pembangkangan terhadap tradisi, teologi dan agama.

Saintisme Ekstrem vs Relijiusisme Ekstrem

Ketika pandemi covid 19 melanda planet bumi, sebagian masyarakat pemuja sains mulai meragukan nilai sains, sedangkan sebagian masyarakat mulai mempertanyakan keampuhan "imannya". Karena virus corona menyerang tanpa tebang pilih dan Tuhan dianggap tak kunjung turun tangan membasmi produk sains itu, pertanyaan tentang eksistensi Tuhan mulai mengemuka dan agama pun diragukan keampuhannya.

Tema agama vs sains menjadi primadona diskusi webinar. Karena tak menolak sains meski tak memutlakkannya dan karena tak bertuhan dan tak beragama dengan "iman" (tanpa logika) mungkin kali ini para pengikut filsafat (metafisika) memilih duduk manis sebagai penonton.

Duel sains vs agama tak perlu diperdebatkan.

Bila agama dipahami sebagai kumpulan doktrin dan ritus yang tak bisa diotak-otak, maka duel itu sudah dimenangkan oleh sains.berdasarkan sejumlah alasan.: Salah satunya adalah fakta Sains berpijak pada logika dan hukum matematika dan observasi. Sedangkan agama (yang dipahami oleh mayoritas umat beragama) adalah "iman" yang tak tunduk kepada logika.

Alasan lainnya ialah bahwa sains diterima oleh semua manusia dengan keragamannya, termasuk yang mengaku menolaknya. Sedangkan agama hanya mengikat sebagian umat penganut yang terbagi ke dalam beberapa kelompok agama.

Nilai kebenaran sains yang ditentukan oleh "apa"(objek) juga dapat dianggap sebagai faktor keunggulan sains atas agama yang kebenarannya ditentukan "siapa" (subjek) dengan ragam parameter dan kriteria yang berlainan.

Sains bisa berlaku sebagai hukum definitif karena objek dan cakupannya serta definisinya jelas dan disepakati. Ini berbeda dengan agama yang definisi, cakupan dan semua hal yang berkaitan dengannya selalu diperselisihkan oleh masing-masing penganutnya.

Selain itu, sains terus berkembang dengan karya-karyanya yang kian canggih dan relevan dengan dinamika zaman. Sedangkan agama justru dianggap final oleh masing-masing pemuka dan penganutnya, padahal problema umatnya terus bertambah seiring daur waktu. Itulah sebabnya manfaatnya bisa dirasakan secara empiris dan sensual.

Nasib Agama Doktrinal

Meski sains terus berkembang dan teknologi makin maju, agama (doktrin racikan segelintir orang) tetap diminati oleh banyak orang karena sejumlah alasan.

Salah satu alasannya adalah agama terasa mudah dan populis karena menawarkan kepada siapapun sebuah kepercayaan tanpa nalar (yang disebut "iman") seraya menjejalkan sugesti bahwa "iman" tersebut adalah anugerah khusus berupa petunjuk kebenaran dari Tuhan. Karenanya, dipegang erat dan kerap melahirkan fanarisme dan intoleransi.

Salah satu daya tariknya adalah terbukanya kesempatan untuk menjadi agamawan instan bagi yang sudah mengumpulkan. Artinya, jadi pemuka agama itu tak sesulit jadi profesional. Lebih mudah lagi kalau yang jadi agamawan adalah artis, pesohor medsos, pengusaha dan lainnya. Lebih-lebih mudah lagi kalau mengaku muallaf anak Paus, pemimpin tertinggi Katolik.

Proses ini kerap pula dilengkapi dengan penanaman kebencian kepada kepercayaan lain sebagai cara mempertahankan kepercayaan sebagai doktrin menjaga ajaran Tuhan dari syirik, kesesatan, bid'ah dan mitos. Artinya, karena kepercayaan ini dianggap.

Agama di atas tak punya nama khusus. Ia adalah semua keyakinan irrasional di benak siapapun yang malas menggunakan akal sehat untuk menyusun premis-premis fundamental agama (ketuhanan, kewenangan dan kebangkitan). Ia bisa diberi aneka nama sesuai pilihan kata setiap orang. Ia bukan agama Tuhan tapi agama para tuan.

Giliran Agama Rasional

Namun bila agama disandingkan dengan akal, maka duel agama versus sains bisa seimbang atau justu agama mengalahkan sains

Agama rasional dapat dibagi dalam dua perspektif; a) agama sebagai prinsip-prinsip rasional yang menurunkan ajarran-ajaran agama (ushuluddin) sebagai bagian dari Akal Teoritis; b) agama sebagai ajaran-ajaran yang dibreakdown dari prinsip-prinsip rasional sebagai bagian dari Akal Praktis

Tidak banyak yang tahu tentang agama yang bersanding harmonis dengan filsafat dan sains ini karena sejak berabad diberi stigma sesat dan kafir, zindiq dan sebagainya.

Absurditas Konflik dan Kompetisi Agama

Apakah kata "agama" berarti keyakinan tentang kebenaran agama ataukah ajaran agama? Bila yang dimaksud dengan "agama" adalah keyakinan tentang kebenarannya, maka apakah kebenaran ditemtukan oleh ajarannya ataukah ditentukan oleh selain ajarannya? .

Dengan kata lain, ajaran sebuah agama tidak bisa dibandingkan dengan ajaran agama lainnya karena meniscayakan kesimpulan invalid. Itu artinya;

  1. Ajaran sebuah agama dalam kitab suci atau yang disampaikan agamawannya tidak bisa dijadikan dasar menentukan pentingnya beragama karena meniscayakan tasalsul (mata rantai tak berhingga).
  2. Ajaran sebuah agama tidak bisa dijadikan dasar menentukan kebenaran agamanya karena meniscayakan daur.
  3. Ajaran sebuah agama tidak dijadikan dasar memilih sebuah agama di antara agama-agama lainnya karena meniscayakan daur.
  4. Ajaran sebuah agama adalah kumpulan aturan berupa perintah dan larangan serta aturan-aturan yang harus diterima secara utuh karena alasan-alasan rasional.
  5. Ajaran setiap ajaran agama diyakini kebenaran bukan karena ajarannya, namun karena dasar-dasar lain yang mendahului keyakinan tentang kebenaran rasionalnya.
  6. Karena sebagian besar ajaran agama-agama, yang diklaim para penganutnya sebagai wahyu Tuhan dan satu-satunya kebenaran, tidak saling bertentangan bahkan sama terutama tentang kebaikan dan keburukan, maka komparasi terhadap ajaran-ajaran itu invalid.
  7. Bila kebenaran sebuah agama ditentukan oleh setiap penganutnya, maka yang pasti terjadi adalah sengketa kebenaran dan lomba saling menyalahkan dan mengkafirkan.
  8. Karena klaim setiap penganut agama adalah subjektif, maka kebenaran semua agama tidak bisa dibuktikan.
  9. Karena kebenaran agama tidak bisa dibuktikan, maka agama tidak bisa dianut karena alasan kebenaran.

Bila ajaran atau kitab sucinya dijadikan kebenaran sebuah agama, maka faktanya adalah sebagai berikut:

  1. Sebagian besar penganut agama, terutama lapisan awam tak memilih agama sebagai hasil komparasi.
  2. Agama yang diyakini secara membabi-buta alias fanatik oleh kelompok-kelompok ekslusif adalah warisan temurun, produk ketelanjuran dan doktrin intoleransi.
  3. Sebagian besar ajaran-ajaran etika universal semua agama, karena berdiri di atas prinsip nilai kesempurnaan dan kebaikan, tidak saling bertentangan. Tak ada agama yang menetapkan mencuri dan menipu, misalnya, sebagai perbuatan baik dan tak ada agama yang menganjurkan sikap negatif, seperti tak hormat kepada orangtua.
  4. Sebagian besar produk hukum dan undang-undang di negara-negara selukar di Barat tak bertentangan dengan ajaran semua agama kecuali dalam bagian-bagian partikular dan aspek praktis.
  5. Sebagian besar isi ceramah dan khotbah yang disampaikan adalah anjuran-anjuran perbuatan baik dan larangan perbuatan buruk yang dalam agama lain bahkan dalam hukum etika tak berlabel agama juga dianjurkan.
  6. Agama dipahami oleh banyak orang sebagai realitas objektif sebagaimana fakta empiris, padahal ia adalah kumpulan pikiran dalam benak. Ia bukanlah entitas yang bisa ditunjuk dengan tangan dan diobservasi secara saintifikasi, sehingga benar dan salahnya bisa ditentukan secara empiris.
  7. Sebagian orang cerdas berusaha beragama secara kritis dan hanya menerima serta mengamalkan ajaran agama setelah menerima argumen yang diterimanya.

Bila tak menemukan argumen di balik sebagian ajaran agama, mereka mencari teori-teori di luar agama sebagai penggantinya dengan kedok jargon pembacaan baru atau reinterpretasi atau kontekstualisasi juga domestikasi agama seraya menganggap sebagian ajaran agama yang ditolak dengan anggapan tidak relevan, tidak kontekstual, mengikuti faktor temporal dan lokal yang dianggap sebagai tak abadi dan profan.

Ternyata mempelajari “rasionalitas” setiap ajaran yang tertera dalam teks agama seperti ayat dan hadis adalah utopia yang takkan pernah mungkin direalisasikannya. Takkan cukup waktu mendiskusikan dan mempelajari setiap produk agama. Karena itu pula, sebagian dari mereka tak melaksanakan (menunda) pengamalan ajarannya hingga argumen setiap ajaran di dalam agama tersebut dipahami dan diterima.

"Kegagalan Agama"

Lalu bila ajaran tidak bisa dijadikan dasar, apa dasar menentukan kebenarannya? Bukankah kitab suci adalah wahyu Tuhan yang harus dijadikan sumber?

Banyak orang mencampur adukkan dasar agama dan ajaran agamanya. Karenanya, menjadikan ajaran agama yang telah dianutnya, karena ketelanjuran, sebagai dasar klaim kebenarannya.

Bila dipastikan dari kajian sebelumnya bahwa prinsip-prinsip agama bukanlah ajaran-ajaran dalam agama, maka diperlukan aksioma-aksioma yang bisa menvalidasi premis-premis sebagai dasarnya sebelum membahas agama itu sendiri. Itu artinya, kitab suci dan semua info yang dianggap sebagai ajaran agama tidak bisa diperlakukan sebagai dasar dan sumber keyakinan agama.

Setiap agama hadir sebagai ajaran yang merevisi atau mengoreksi "disinformasi" yang dialami ajaran sebelumnya. Setelah melewati aneka hambatan dan penentangan, sekelompok orang menganut karena percaya bahwa Tuhan adalah pengatur tunggal. Pembawanya dielu-elukan karena diyakini sebagai orang yang direkomendasi oleh sentra otoritas sublim untuk menggembala dan memandu umat manusia menuju kemuliaan, kesucian dan kesempurnaan. Ia muncul silih berganti membawa tawaran dan janji yang nyaris sama. Umat manusia jadi bingung.

Sejak diperkenalkan kepada umat manusia sebagai aturan yang bisa menciptakan masyarakat yang padu, beradab dan terpimpin dengan keyakinan yang utuh karena sumbernya satu yang lebih baik dari masyarakat-masyarakat sebelumnya, tak ada satu masa pun yang menjadi fakta aktualnya kecuali beberapa waktu sebelum tokoh utama yang memperkenalkannya wafat dengan semula pertentangan internal dan gangguan eksternal. Namun hingga kini tak ada fakta satu masyarakat yang terpimpin dalam keutuhan dan kesamaan pemahaman dan pengamalan ajarannya.

Sejak pendirinya wafat, sebagian besar lembaran sejarah para pemegang kekuasaan di dalamnya berbau anyir darah genosida kelompok “pembangkang’ dan pembersihan, perburuan, penyekapan, permenggalan manusia-manusia teladan, para bijakawan, filosof dan mistikus. Penjajahan berupa ekspansi dan aneksasi dikenang sebagai perluasan agama dan masa kelam berkuasanya para tiran berjubah agamawan diagungkan sebagai masa kejayaan.

Problema kekacauan masyarakat-masyarakat terdahulu akibat pertentangan pemahaman dan sengketa klaim otoritas terutama seputar sumber otoritatif yang merepresentasi ajarannya bahkan dalam identifikasi dan dokumentasi teks-teks referensialnya.

Tak hanya itu, setiap kelompok menafsirkan teks-teksnya sesuai kepentingan atau mereproduksi teks dan menambahkan atau mengurangi ajarannya lalu masing-masing mengklaim representasi tunggal sebagai pengikut sejati. Begitu tak padu dan utuhnya sehingga perbedaan pemahaman dan interprestasi terhadap teks dan ajaran bukan hanya tak sama namun kerap pula kontradiktif. Inilah ajaran yang paling banyak dipertentangkan dan hak representasinya diperebutkan.

Sebagian kelompok mempertahankannya karena ketelanjuran atau malas untuk membanding-bandingkan seraya membangun delusi justifikasi apolegetik dengan doktrin agresi demi menghindari dialog kritis yang dikhawatirkan menggoyahkan ajaran yang telah dinikmatinya. Sebagian lain menanggalkannya secara terang-terangan atau diam-diam, secara sporadis atau menyeluruh, karena jenuh melihat dan mengalami konflik dan sengketa klaim kebenaran tak berujung atau karena tak menemukan aspek keunggulan di antara propposal-proposoal itu.

Pengalaman demi pengalaman negatif yang terjadi dalam masyarakat beragama dan kerusakan sosial sebagai akibat perilaku intoleran dan irasional kalangan awam sangat mungkin mendorong sebagian orang yang punya ekspektasi tak rasional dan proporsional terhadap agama melakukan penolakan secara tak proporsional pula. Tak hanya menyalahkan cara pandang sebagian orang tentang agama, sebagian orang akibat pengalaman traumatik menganulir apresiasi terhadap agama.

Dunia modern saat ini adalah arena polarisasi sengit dua kelompok manusia. Adakan jalan tengah di antara pilihan ekstremitas ini? Kalau saja sejak semula menyusun pikiran secara ontologis, kita bisa memandang agama dalam dua sisi, yaitu agama sebagai realitas abstrak yang berada dalam altar kesucian dan agama sebagai realitas konkret yang muncul dalam benak para penganut dan teraktualkan dalam perilaku dan tindakan.

Agama sebagai pikiran adalah entitas artifisial, bukan objek real yang teridentifikasi sebagai sesuatu yang bisa berwujud secara personal. Ia bisa dikaitkan dengan realitas abstrak dari pengaruhnya, yaitu bila mengantarkan kepada sesuatu yang mulia dan kesempurnaan dengan ragam ragam levelnya. Agama dapat pula dikaitkan dengan realitas konkret dalam perilaku positif penganutnya. Bila tidak ia bukanlah agama, bukan sesuatu yang nyata. Itulah agama palsu yang diciptakan oleh subjek yang mengira agama sebagai sesuatu konkret.

Sebuah agama dengan peninggalan kitab suci dan kumpulan sabda bisa sukses bertahan sebagai salah satu ikon peradaban. Tapi untuk bisa membentuk sebuah masyarakat beragama yang rasional dan moderat, perlu lebih dari teks. Pada faktanya, setiap umat penganut sepeninggal pendirinya sibuk bersengketa dan berebut klaim representasi tunggal agamanya masing-masing dengan kisah-kisah konflik dan intimidasi hingga kini. Dengan kata lain, masing-masing sibuk menegakkan teologi dan dasar-dasarnya.

Utopia Sistem Sosial Agama

Tiga elemen utama yang harus ada dalam agama yang bisa menciptakan sebuah masyarakat yaitu Tuhan, manusia dan perantara antar keduanya. Itu artinya, diperlukan konsep ketuhanan yang rasional, konsep otoritas gradual dan target tujuan yang rasional.

Konsep ketuhan yang rasional mengafirmasi dasar-dasar rasional konsep mediasi sebagai imanensi wahyu Tuhan yang pada gilirannya meniscayakan terbentuknya sebuah masyarakat bertuhan dan beragama yang rasional.

Konsep rasional ini tak mesti terjadi secara faktual dalam realitas konkret karena, sebagaimana telah dibahas pada kajian bagian epistemologi dan ontologi, kebenaran rasional yang abstrak tak ditentukan oleh korespondensinya atau kesesuaiannya dengan realitas konkret.

Kebenaran konsep rasional yang abstrak ditentukan oleh koherensinya dengan konsep apriori atau aposteriori yang berujung pada apriori prima. Singkatnya, orang yang menolak kepatuhan pasti mematuhi dirinya sendiri. Dialah tuhan mini.

Dengan kata lain, bila merasa perlu mempertahankan sebuah agama, maka mungkin satu-satunya alasan logisnya adalah konsep tentang kesempurnaan yang melahirkan aksioma kewenangan atau otoritas vertikal, bukan karena produk ajarannya.

Kebenaran agama ditentukan oleh prinsip otoritas, bukan ajarannya. Penetapan hukum agama dan pemberlakuannya bergantung kepada yang punya otoritasnya. Hukum potong tangan bagi pencuri, misalnya, disebut benar bila diberlakukan atau tidak bergantung kepada pemegang otoritas. Hukum lain yang tak tertera dalam teks suci, seperti hukuman mati bagi pengedar narkoba, menjadi bagian dari ajaran agama bila ditetapkan dan diberlakukan oleh pemegang otoritas.

Dengan kata lain, tokok ukur benar dan salah bukanlah resep atau obat bagi pasien tapi otoritas dan keunggulan kompetensi seseorang dokter. Konsekuensi dari kejelasan kriteria rasional tentang keunggulan seorang dokter adalah kepatuhan pasien tanpa mempertanyakan produknya berupa resep, obat dan anjuran-anjuran yang merupakan produknya.

Bila sebuah agama dianut, maka ia diyakini benar sebagai wahyu yang harus dipatuhi karena aksioma otoritas pembawa dan pengawal agama, bukan ajarannya.

Mengapa kepatuhan menjadi dasar penting dalam beragama? Penjabarannya antara lain sebagai berikut:

  1. Allah adalah pemilih wujud, bahkan Dialah wujud tunggal, sedangkan selain-Nya adalah wujud-wujud kopulatif yang secara abadi bergantung kepadaNya. Makhluk yang bergantung kepadaNya tak bisa berhubungan denganNya secara langsung karena Dia tak sama dengan makhluk dalam segala hal kecuali dalam wujud; Artinya, yang menghalangi makhluk berhubungan secara langsung dengan Tuhan adalah sistem gradualitas eksistensi.
  2. Kepatuhan kepada Nabi secara vertikal adalah konsekuensi kepatuhan primer dan hakiki kepada Allah, karena semua ajaran dan perintah-Nya dipatuhi melalui wahyu dalam Al-Quran dan Sunnah yang dititipkan kepada Nabi.
  3. Andai makhluk dan hamba bisa berhubungan langsung, tentu kenabian yang berfungsi sebagai lembaga mediasi tak diperlukan. Allah maha mampu berhubungan langsung namun keterbatasan makhluk menjadi kendalanya.
  4. Andai makhluk yang maha berbatas bisa berhubungan langsung dengan maha tak terbatas, maka hilanglah perbedaan makhluk dengan Tuhan akibat hubungan langsung itu. Bila hilang perbedaan, tak ada lagi makhluk.

Karena itu, kepatuhan kepada Tuhan sebagai pemilih kewenangan primer hanya bisa terlaksana dan terjadi melalui perantara Nabi via Al-Quran dan Sunnahnya.

Secuil Harapan

Dalam teologi Kristen, Katolik memberikan perhatian utama kepada otoritas vertikal dalam hierarki kepatuhan. Tak hanya itu, proses pembentukan hierarki kewengan dimulai sejak dini melalui serangkaian jenjang edukasi. Karena itu, dalam Katolik adalah upacara pengangkatan santo atau orang suci demi mengamankan agama dari distorsi akibat tak adanya parameter dan syarat ketat pemegang otoritas. Inilah yang melahirkan kepatuhan dan kerapian umat Katolik di mana pun berada.

Dalam teologi Islam, Syiah juga menjadikan kepatuhan kepada ajaran agama sebagai konsekuensi kepatuhan kepada otoritas vertikal yang merupakan konsekuensi logis dari pandangan dunia Tauhid yang terdiri atas prinsip eksistensi (ontologi) dan prinsip ketuhanan (teologi).

Read more