Gaddafi: Capres AS Keturunan Kenya Lakukan Kampanye Bohong

Gaddafi: Capres AS Keturunan Kenya Lakukan Kampanye Bohong
Photo by Unsplash.com

Presiden Libya Moamer Gaddafi, Rabu, mengecam calon pejabat Gedung Putih dari partai Demokrat Barack Obama karena mengatakan Jerusalem mesti tetap menjadi ibukota tak terpisahkan Israel.

Pemimpin Libya itu juga berharap presiden selanjutnya AS adalah orang perdamaian.

Gaddafi, yang negaranya adalah penghasil minyak nomor dua di Afrika, juga menyalahkan kebijakan luar negeri AS dan lemahnya harga dolar sebagai penyebab melonjaknya harga minyak, selama pidato untuk menandai peringatan ke-38 pengosongan pangkalan AS di Libya, demikian diwartakan AFP. "Pernyataan saudara kami keturunan Kenya yang berkewarganegaraan Amerika, Obama, mengenai Jerusalem ... memperlihatkan bahwa ia mengabaikan politik internasional dan tak mengkaji konflik Timur Tengah atau itu adalah kebohongan kampanye," kata Gaddafi.

Obama, yang "memilih perubahan sebagai tema kampanyenya mestinya telah mengusulkan perubahan nyata dalam kebijakan AS" ke arah dunia Arab, katanya. Obama menyulut kemarahan di kalangan rakyat Palestina awal bulan ini, ketika ia memberitahu satu kelompok orang Yahudi di Washington bahwa Jerusalem harus tetap menjadi ibukota "tak terpisahkan" Israel.

Ia juga menjanjikan "komitmen yang tak tergoyahkan bagi keamanan Israel" jika ia terpilih sebagai presiden paa November.

Gaddafi berkeras dalam pidato untuk memperingati pengosongan pangkalan AS setelah revolusi Libya 1970, perdamaian akan melindungi Israel di wilayah itu, bukan senjata dan senjata nuklir.

"Kami berdoa bahwa presiden (berikutnya) AS nanti adalah orang perdamaian," katanya.

Gaddafi telah memperlunak pidato anti-AS sejak negaranya menormalkan hubungan dengan Washington pada 2006, dua tahun setelah hubungan kedua negara tersebut pulih setelah 25 tahun terputus.

Washington memperbarui hubungan diplomatik dengan Tripoli setelah Gaddafi mengumumkan pada 2004 bahwa Libya meninggalkan upaya guna memperoleh senjata pemusnah massal.

Gaddafi mengatakan konflik masa lalu dengan Washington disebabkan oleh "penanganan buruk" dari kedua pihak. "Amerika Serikat telah mengambil pelajaran begitu juga dengan kami," katanya.

Namun ia menuduh kebijakan luar negeri AS, terutama perang pimpinan AS di Irak dan Afghanistan, dan dolar yang lemah berada di belakang meroketnya harga minyak.

Amerika Serikat "mengeluhkan tingginya harga minyak pada satu saat tapi mereka adalah pihak yang bersalah", kata Gaddafi sementara harga minyak melonjak di atas 135 dolar AS per barel, Rabu.

Minyak adalah 95 persen dari nilai eksport Libya dan 70 persen produk nasional kotornya. Berkat harga minyak yang tinggi, Libya --anggota OPEC dengan produksi saat ini 1,8 juta barel per hari-- mengantungi hampir 40 miliar dolar AS dari hasil minyak tahun lalu. (antara)

Read more