GANTI AGAMA

GANTI AGAMA
Photo by Unsplash.com

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), arti kata pindah adalah beralih atau bertukar tempat. Pindah memiliki arti dalam kelas verba atau kata kerja sehingga pindah dapat menyatakan suatu tindakan, keberadaan, pengalaman, atau pengertian dinamis lainnya.

Kata pindah secara kebahasaan adalah aktivitas gerak fisikal dan konkret. Karenanya, secara epistemologis, penggunaan kata pindah dalam keyakinan yang berada dalam domain abstrak keyakinan dapat dianggap reduktif dan salah kaprah.

Perpindahan adalah perubahan. Dalam konteks keyakinan, perubahan bisa terjadi karena salah satu dari tiga hal; yaitu objek yang diyakini, subjek yang meyakini dan keyakinan itu sendiri. Dengan kata lain, yang bisa berubah adalah objek, subjek dan keyakinan objek yang diyakini, subjek yang meyakini adalah konsep keyakinan itu sendiri. Masing-masing memerlukan klarifikasi yang gamblang. Mungkin kata ganti lebih pas bila yang dimaksud adalah konversi.

Konsep Keyakinan

Perubahan bisa diasumsikan terjadi pada konsep keyakinan. Dengan kata lain, keyakinan atau produk persepsi juga bisa mengalami perubahan kualitatif dari kenir-tahuan (kebodohan) kepada ke-tahu-an juga sebaliknya. Ini adalah persoalan pengetahuan.

Bila subjek dari predikat “perubahan” adalah “keyakinan”, maka keyakinan bisa berubah seiring dengan perubahan perolehan pengetahuan yang dimiliki oleh seseorang. Dengan kata lain, perubahan secara primer adalah predikat bagi subjek “pengetahuan” dan secara sekunder bagi “keyakinan” karena keyakinan (dalam dunia logika, bukan dalam dogma) adalah pengetahuan.

Konsep keyakinan (dalam pengertian pengetahuan khusus tentang realitas abstrak dan transenden) dapat dibagi berdasarkan konten premis ke beberapa level, yaitu pertama adalah

Kebertuhanan atau divinitas atau at-ta’alluh (meyakini adanya Tuhan); kedua adalah keberagamaan atau relijiusitas atau at-tadayyun (meyakin ajaran Tuhan sebagai agama). Dengan pindah agama tak niscaya pindah konsep ketuhanan

Objek Yang Diyakini

Perubahan terjadi karena objek diyakini ditentukan oleh salah satu dari dua fakta; material atau fisikal dan fakta immaterial atau metafisikal.

Fakta material adalah realitas komplek yang merupakan komponen potensi dan aktus berupa raga yang disebut materi (jism).

“Saya kemarin meyakini benda yang saya pegang ini adalah gelas. Hari ini saya meyakininya sebagai serpihan kaca (beling) adalah premis yang tidak salah bila a) sesuatu yang disebut gelas itu adalah sebuah entitas fisikal (memiliki ukuran, kedalaman dan sifat-sifat atomik lainnya) pada fakta objektifnya; b) gelas itu sejak semula berbahan kaca pada fakta objektifnya; c) esensi kegelasannya sirna karena mengalami transformasi atau perubahan bentuk akibat pecah pada fakta objektifnya.

Dengan kata lain; pernyataan kemarin berupa predikasi “adalah gelas” atas benda itu tidak bertentangan dengan pernyataan hari ini berupa predikasi “bukanlah gelas” atau “adalah serpihan kaca” atas benda itu tidaklah salah. Artinya, perubahan predikasi dalam contoh “gelas” secara saintifik justru valid.

Sains sebagai konsep yang disusun dari fakta material yang dinamis tidak akan menghadirkan fakta yang statis dan permanen kecuali bila diabstraksi ke bilangan tak berhingga (matematika) yang merupakan fakta-fakta abstrak. Namun bila matematika diperlakukan sebagai ilmu rasional murni dan dipisahkan dari sains, maka sains tidak punya dasar validitas sendiri.

Sains adalah premis-premis sains tidak permanen karena objeknya adalah fakta sensual dan terikat oleh “waktu” empiris nya. Upaya memberikan nilai valid dengan probilitas kalkulus atas pengetahuan saintifik hanya menghasilkan validitas general, bukan kebenaran universal yang permanen. Dengan kata lain, nilai-nilai general yang diperoleh sains, tak berpijak pada sains itu sendiri (karena itu paradoks siklus), tapi berpijak pada probabilitas kalkulus, yang tak lain adalah metematika sebagai aksioma non empiris.

Perlu diketahui, sains memerlukan dua postulat non saintifik yang abstrak, yaitu: a) matematika adalah pijakan sains; b) kebenaran saintifik adalah produk kebenaran matematik.

Sains tidak bisa menghasilkan premis-premis permanen (dulu disebut eksakta) karena objeknya hanya fakta-fakta dinamis kecuali bila diabstraksi dengan angka yang merupakan fakta abstrak yang tak berhingga.

Eksistensi, Tuhan, agama dan mazhab juga nilai-nilai kualitatif bukanlah realitas material yang dinamis namun statis. Karena statis, fakta objektifnya tak berubah. Karena tak berubah, citranya dalam benak pun tidak berubah.

Subjek Yang Meyakini

Bila subjek bagi predikat “perubahan” adalah jiwa seseorang yang memiliki keyakinan, maka predikat “perubahan” secara primer melekat bukan pada “keyakian” atau “objek yang diyakini”, melainkan predikat bagi subjeknya yang bernama “jiwa”.

Perubahan jiwa yang juga disebut fluktuasi hati adalah akibat akumulatif rendah atau tingginya kesadaran moral dan kualitas kejernihan batin. Perubahan jenis ini bisa terjadi pada siapa pun. Karena itu, kita selalu dianjurkan untuk meminta backup pengetahuan supra-rasional (hudhuri) guna memperkuat pengetahuan rasional (hushuli) “Ya Muqallibal qulub, tsabit qalbi ala dinika” (Wahai Pencipta hati yang selalu berubah karena ragam citra sensual dan konseptual berilah aku pengetahuan eksistensial tanpa citra agar lestari dan permanen).

Tak Punya Keyakinan

Perpindahan dari sebuah keyakinan ke keyakinan lain (tentang realitas abstrak) secara epistemologis bukanlah perubahan. Ia hanyalah bukti belum terbentuknya keyakinan sama sekali.

Klaim perpindahan keyakinan lebih mudah dimaklumi bila alasan menganut keyakinan sebelumnya adalah pengaruh bawah sadar ketokohan yang cenderung irrasional. Artinya, menganut sebuah keyakinan setelah menderita beragam risiko sebagai akibatnya lalu kembali lagi ke keyakinan sebelumnya bukan keputusan intelektual sebagai cermin kemandirian individu, tapi akibat romantisme dan primodialisme ikatan sentimentil yang berporos pada satu person atau lainnya. Justru kepulangannya ke keyakinan yang sempat ditinggalkannya bisa dipahami sebagai kesadaran akan ketergesa-gesaannya mengambil keputusan berganti keyakinan. Sekuat apapun keinginan seseorang memaksakan diri menganut sebuah keyakinan tanpa proses inteleksi dan beradaptasi dalam lingkungan pergaulan baru yang tak dibayangkan sebelumnya pada akhirnya mencapai titik jenuh.

Ringkasnya, relasi keyakinan dengan realitas yang diyakini dan subjek yang meyakini adalah niscaya mengikuti hukum kausalitas. Atas dasar itu, perpindahan atau perubahan, terutama di kalangan awam, bisa dimaklumi sebagai proses pencarian keyakinan atau indikator kegamangan karena beragam faktor yang bisa diasumsikan, bukan perubahan atau perpindahan secara harfiah.

"Pindah ke agamaku"

Muallaf adalah sebutan bagi muslim baru alias mantan penganut agama non Islam. Kata lengkapnya adalah “almuaIlafah qulubuhum” (orang yang hatinya telunakkan).

Belakangan ini seiring dengan menguatnya relijiusitas simbolik dan intoleran, panggung tablig online dan offline dimarakkan oleh muallaf yang menyudutkan agama yang tak lagi dianut. Karena kesaksian muallaf dianggap sebagai bukti kebenaran agama yang baru dianut, publik yang mabuk dengan relijiusitas intoleran menyambut kehadiran mubalig muallaf over acting dengan gegap gempita.

Umumnya mantan penganut sebuah agama disanjung bahkan ditampilkan sebagai tokoh agama yang baru dianutnya. Bak “pemain naturalisasi” yang kadang menggeser pemain hasil didikan klub sendiri, ia bisa mendadak agamawan yang lebih tenar dari yang asli.

Fenomena kehebohan dan euforia kepada “mantan” ini sering membuat nalar kritis rabun dan khalayak tenggelam dalam pemujaan, apalagi bila sang mantan sadar pasar. Ini jelas tidak mendukung toleransi dan sikap saling menghormati antar sesama masyarakat beragama.

Sebagian orang berganti keyakinan karena nikah dengan pasangan beda keyakinan, menggenjot popularitas di tengah publik yang berbeda keyakinan atau faktor-faktor yang tak berhubungan dengan ajarannya. Tidak sedikit fakta yang mengungkap alasan kepindahan adalah mencari pengakuan sosial karena dianggap sebagai “persona non grata” di komunitas keyakinan sebelumnya.

Bertambahnya penganut baru bukan parameter ajek kesadaran positif dan indikator pasti membaiknya citra keyakinan. Justru penganut baru yang bermasalah bisa menimbulkan persoalan baru. Tidak tertutup kemungkinan adanya tendensi-tendensi terselubung di baliknya.

Selain itu, boleh jadi jumlah yang meninggalkannya secara eksplisit dan implisit (akibat kekecewaan terhadap prilaku dan sikap pemuka-pemukanya) sebanding dengan jumlah yang baru masuk.

Pindah keyakinan saat ini bukanlah sesuatu yang kolosal. Biasa saja. Nyaris seperti rotasi. Kini bahkan banyak orang meninggalkan semua agama dan mengklaim sebagai agnostik atau deis karena lelah dengan ketegangan dan kebencian berkedok agama. Harus diakui, sebagian sikap agamawan berkontribusi dalam bertambahnya jumlah orang yang eksodus dari agama.

Memilih keyakinan adalah hak asasi setiap orang, tapi menyudutkan keyakinan yang ditingggalkannya dengan manipulasi dan provokasi hanya menamban tensi ketegangan sektarian.

Bila ada mantan Kristen, tidak berarti tidak ada mantan Muslim. Demi detensi dan menjaga keutuhan bangsa, perpindahan keyakinan tidak perlu diekspos sebagai keunggulan.

Pindah dari Agamaku

Kadang sebagian orang yang mengaku berpindah agama pada faktanya tidak pernah serius meyakini agama yang ditinggalkannya. Karena itu, menurut saya, mengaku berpindah agama tak niscaya berpindah keyakinan.

Bagi sebagian orang agama hanyalah sebuah identitas kultural dan sosial, bukan keyakinan rasional tentang cara melaksanakan aturan Tuhan. Karenanya, di era modern yang marak dengan kehebohan dan sensasi, pindah agama adalah hal biasa.

Yang kerap disebut perpindahan agama tak mesti perubahan keyakinan, tapi mungkin perubahan sikap terhadap sebuah objek. Keyakinan secara epistemologis adalah buah inferensi logis yang ajek berupa afirmasi atau negasi. Pindah agama pada sebagian kasus hanyalah perubahan sikap.

Sebagian pemburu ketenaran, menjadikan wira wiri keyakinan sebagai strategi mendongkrak popularitas dan cara mudah menghadirkan sebagai pusat perhatian berupa dukungan maupun cercaan yang secara akumulatif menyelematkannya dari keredupan di arena kompetisi sengit..

Ragam Persepsi tentang Agama

Agama dipahami dengan beragam persepsi dan definisi. Banyak orang, terutama di zaman modern yang merasa perlu bersikap moderat, menganggap agama-agama sebagai aneka metode atau cara menuju Tuhan. Bahkan sebagian dari mereka menganggap agama seolah pilihan selera. Karenanya, berganti atau berpindah agama dipandang secara sederhana sebagai ganti cara menuju Tuhan. Sebagian lagi, terutama kalangan intelektual yang mengaku open minded dan perennialis menganggap agama sebagai produk kreasi intelektual manusia dalam memaknai nilai-nilai luhur tanpa membakukannya dalam sebuah organisasi keyakijan tertentu. Berpindah agama, dalam pandangan mereka, adalah konsekuensi dari sebuah ikhtiar kreatif manusia dalam memaknai nilai-nilai luhur.

Sedangkan kalangan relijius menganggap agama sebagai aturan sakral dan baku serta tunggal yang diwahyukan oleh Tuhan kepada utusan dan pewarta pilihanNya. Pindah atau ganti agama, menurut mereka adalah pengingkaran terhadap Tuhan dan pelakunya dipredikasi dalam jurisprudensi Islam dengan sebutan murtad.

Murtad dalam Jurisprudensi Islam

Secara etimologis, murtad adalah kata serapan dari kata Arab dalam bentuk ism fa'il (kata pelaku) yang berasal dari kata baku irtidad yang berarti kembali dan balik ke belakang.

Secara terminologis, murtad punya tiga dimensi, dimensi epistemologis, dimensi teologis dan dimensi jurisprudensial.

Secara epistemologis murtad adalah pengingkar sesuatu yang telah diyakiini benar. Secara teologis (akidah) murtad adalah orang yang meninggalkan agama Islam dalam pernyataan atau perbuatan.

Secara jurisprudensial atau fikih, kemurtadan adalah perbuatan dosa terburuk yang memuat konsekuensi jurisprudensial seperti waris dan sebagainya.

Para fuqaha’ sepakat bahwa kekafiran setelah Islam mengakibatkan kemurtadan. Ia meliputi:

  1. Pengingkaran terhadap eksistensi Tuhan;
  2. Penolakan terhadap keesaan Tuhan;
  3. Pengingkaran terhadap kenabian;
  4. Mendustakan apa yang disampaikan Nabi
  5. Penolakan terhadap salah satu ajaran prinsipal agama, seperti hukum shalat, puasa, dan lain-lain.

Predikat murtad dalam jurisprudensi Islam dibagi menjadi dua bagian, dan setiap bagian memiliki ketentuannya sendiri:

  1. Murtad Fatiri, yaitu orang yang lahir dari orang tua Muslim lalu menganut agama lain atau meninggalkannya.
  2. Murtad Milli, yaitu orang terlahir dari kedua orangtua non Muslim lalu menganut Islam kemudian meninggalkannya atau menganut agama lain.

Hukuman Mati

Sebenarnya kalangan relijius, tetutama umat Islam tidak seragam dalam menyikapi isu pergantian agama. Meski mungkin sepakat tentang sejumlah kententuan yang berlaku atas pelaku pindah agama, termasuk hukum mati. Dalam fikih Syiah, hukuman mati tidak bisa dilaksanakan oleh setiap individu Muslim tapi harus melalui pemegang otoritas dalam sebuah masyarakat Muslim yang bersepakat menjadikan hukum agama atau Syariat sebagai undang-undang.

Bila menganut agama dipahami secara epistemologis sebagai persetujuan atas kontrak dan pernyataan kepatuhan kepada sebuah ajaran, maka hukuman mati merupakan bagian dari klausa kontrak yang disetujui oleh orang yang menganutnya. Ini tak ubahnya menerima ketentuan dan syarat kontrak perjanjian yang memuat sanksi dan beban yang ditanggung oleh pihak yang menandatanganinya.

Antara Hukum Murtad dan Prinsip La Ikraha fid-Din

Bagaimana mengharmoniskan humum fikih atas kemurtadan dengan prinsip kebebasan beragama sebagaimana ditegaskan dalam al-Quran "Tidak ada paksaan dalam (menganut) agama (Islam), sesungguhnya telah jelas (perbedaan) antara jalan yang benar dengan jalan yang sesat" (QS. Al-Baqarah : 256)?

Tuhan melalui ayat suci di atas melarang pemaksaan terhadap orang untuk menganut Islam yang diyakininya benar. Artinya, agama adalah buah pilihan otonom insan dan hasil keputusan personal yang harus dihormati. Namun apakah penegasan Tuhan dalam ayat tersebut otomatis kontras dengan hukum murtad yang disepakati oleh seluruh ahli fikih? Bila memperhatkan dengan jeli makna epistemologis menganut agama sebagai pernyataan dengan kesadaran menerima semua ketentuannya, maka kemurtadan tidak tercakup dalam konteks kebebasan memilih sebelum menyatakan diri sebagai penganutnya.

Kesimpulan:

  1. Pindah agama dalam islam disebut murtad (mengingkari kebenaran agama yang telah diafirmasi sebagai aturan Tuhan. Ini adalah bagian dari isu yurisprudensi Islam alias fikih dan ushul fiqh. Tak ada konsekuensi hukum praktis atas pelaku kemurtadan berupa sanksi hukum dalam sebuah masyarakat majemuk yang bersepakat menjadikan asas negara berdasarkan konsesus, bukan agama tertentu.
  2. Pindah agama adalah hak individu yang dilindungi hukum HAM dan undang-undang Negara Indonesia.
  3. Pindah agama adalah hal biasa. Orang yang mantap dengan keyakinan pilihannya tak gembira karena orang berpindah ke agamanya dan tak sedih karena orang berpindah dari agamanya.
  4. Pindah agama adalah biasa. Yang luar biasa adalah mengamalkannya, apapun namanya.
  5. "Pindah dari agamaku" dalam perspektif marketing adalah berita buruk. "Pindah ke agamaku" dalam perspektif marketing adalah kabar gembira. Tapi keyakinan tak mengikuti kaidah itu. Ia bukan produk industri yang konkret dan material. Ia tak tunduk kepada pasar, modal dan uang.

Read more