Gary Legenhausen, ‘Duta Rakyat Amerika’ di Negeri Anti Amerika

Gary Legenhausen, ‘Duta Rakyat Amerika’ di Negeri Anti Amerika
Photo by Unsplash.com

alt_1-agak-besar.jpg

Hubungan politik Amerika – Iran boleh putus, tapi hubungan intelektual antara rakyat kedua Negara tidak mesti putus. Di jantung kota suci Qom, yang dikenal sebagai magma Revolusi Islam Iran, seorang pemikir bule berkebangsaan Amerika menjadi guru besar dan peneliti sejak 16 tahun silam hingga saat ini. Dialah Profesor Dr. Mohamamed Legenhausen.

Pria kelahiran tahun 1953 ini sejak pendidikan dasar hingga SMu terdidik secara Katolik. Setelah lulus, ia kuliah S1 dan S2 di State University of New York di kota Albany pada tahun 1974. Setelah lulus, ia mengajar filsafat di almamaternya. Sejak saat itu ia kerap berhubungan dengan mahasiswa-mahasiswa Muslim yang mengikuti kuliahnya. Kontak ini telah membuatnya akrab dengan literatur dan pemikiran Islam. Perlahan-lahan dalam sanubarinya tumbuh respek dan ketertarikan terhadap agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad itu.

Pada tahun 1978 ia melanjutkan studi di Texas University. Pada tahun 1983 ia meraih dua gelar sekaligus. Ia menjadi doktor filsafat dengan predikat sangat memuaskan, sekaligus menjadi Muslim setelah mengucapkan dua kalimat syahadat.

Pada tahun 1989 diundang ke Iran untuk mengajar filsafat keagamaan di Islamic Iranian Academy of Philosophy. Pada 1990 ia datang ke Iran dan mulai mengajar di Tehran. Selama empat tahun sampai 1994. Setelah dua tahun bekerja part time di Qom dan mengajar di Baqir al-ulum Foundation, ia diundang oleh Ayatullah Misbah Yazdi untuk menjadi dosen di Imam Khomeini Educational Institute hingga saat ini.

Kehadiran lelaki yang bernama lengkap Gary Legenhausen ini di Hauzah (Pusat seminari Islam) di Qom ini, diyakini oleh sejumlah intelektual muda Iran, sangat membantu peningkatan kualitas akademi hauzah yang sebelumnya dikenal sangat tradisional. Diakuinya, pada mulanya, banyak orang-orang di Tehran menganggap kedatangannya ke Iran pasca Revolusi sebagai sebuah persitiwa yang aneh, karena mayoritas pemikir di Tehran mengira bahwa Barat sudah benar2 atheis dan tidak ada yg menarik ttg filsafat agama di sana. Mereka benar-benar terperanjat saat diberitahu bahwa di Barat kini studi filsafat agama sedang digemari, dan ratusan buku tentang masalah telah diterbitkan. Itulah awal keterbukaan kalangan Mulla terhadap lietartur filsafat Barat. Sejak itu ia aktif memberikan kuliah tentang filsafat Barat di sejumlah perguruan tinggi di Iran, termasuk di Qom, seperti Universitas Mofid dan Universitas Saduq. Selain dia, ada intelektual Iran, yaitu Profesor Mosatafa Malakian yang juga aktif memperkenalkan pemikiran filsafat Barat kepada para pelajar agama di Qom.

Meski menolak untuk mengometari perannya dalam memeperkenalkan pemikiran Barat di di hauzah Iran, mesti diakui bahwa berkat dia, banyak kalangan hauzah mulai akrab dan apresiatif terhadap pemikiran filsafat Barat dan para pemikir Amerika, seperti Alvin Plantinga. Pada tahun 2003 guru besar filsafat di University of Notre Dame ini pernah berkunjung ke Iran dan memberi sejumlah kuliah di Tehran dan Qom. Kalangan hauzah Qom yang mendengarkan kuliahnya sangat tertarik terhadap ide-idenya, dan berebut meminta tanda tangannya di lembar pertama bukunya.

Filsuf ini sempat bertemu dan berdiskusi dengan dua pemikir terkemuka di hauzah saatini, Ayatullah Misbah dan Ayatullah Javadi Amuli. Saat bertemu, Ayatullah Misbah menjelaskan kepadanya tentang konsep Mahdisme dalam konsp teologi Syiah. Saat Misbah menerangkan bahwa pada akhir zaman Yesus akan, begitu juga Imam ke 12, lalu Yesus akan shalat sebagai makmum di belakang Imam Mahdi, dan kedunya akan bahu membahu menegakkan keadilan dan kebenaran, Plantinga menjawab bahwa kami percaya bahwa pada akhir zaman Yesus akan dating. Bila Imam Anda mau bergabung, kenapa tidak?” timpalnya bergurau.

Pada akhir pertemuan dengan Ayatullah Jawadi Amuli, ia mengutip keterangan Ayatullah Misbah Yazdi tentang Imam 12, seraya menegaskan bahwa menurutnya, keyakinan ini secara teologis bias diterima. “Sebuah kesimpulan yang sangat menarik,” tutur Legenhausen mengenang pertemuan itu.

Pemikir Barat lain yang ia perkenalkan ke kalangan hauzah adalah Alasdair MacIntyre. Salah seorang mahasiswa saya di hauzah, Shariari,menulis tesis tentang dia dan kemudian diterbitkan sebagai sebuah buku. MacIntyre adalah seorang filsuf Katolik yang juga mengajar selama bertahun2 di Univesity of Notre Dame. Ia sangat sangat kritis terhadap proyek pencerahan dan sejumlah aspek modernitas dan liberalisme. Ia juga membimbing Shahriari menulis disertasi tentangnya. Legenhausen menolak untuk dianggap sebagai ikon perubahan di hauzah. Menurutnya, ia hanya membantu mempercepat perubahan yang memang sedang berlangsung di sana. Misalnya pada saat pertama kali saya datang ke Qom, sedikit orang yang benar-benar mengenal Kristianitas di Hauzah kecuali seperti Prof. Toufighi. Ayatullah Misbah memintanya untuk mulai ngajar tentang teologi Kristianitas. Pada mulanya saya tidak merespon ajakan itu, karena tujuan utamakedatangannya ke Iran adalah studi Islam, apalagi Kristologi bukan bidang keahliannya. Pada akhirnya saya bersedia untuk mengajar teologi Kristen di Center for Riligious Studies, setelah beberapa kali didesak, karena menurut Profesor Misbah, bagaimanapun ia lahir dalam keluarga Katolik. Ia mendapatkan seorang teman ahli Kristologi di Hauzah bernama Profesor Taufiqi.Karena itu, menurutnya, yang layak dianggap sebagai reformis dan perintis perubahan dalam hauzah Iran adalah Ayatullah Misbah. Legenhausen merendah seraya mengatakan bahwa Ayatullah Misbah tetap akan melakukan perubahan dalam kurikulum hauzah meski tanpa kehadirannya di Iran.

Selain memperkenalkan pemikiran Barat dan teologi Kristen ke kalangan mulla di Iran, ia juga turut menghidupkan kajian dan riset dalam bidang kesyiahan dengan mendirikan sebuah lembaga studi. Ia bekerjasama dengan dengan seorang ulama yang secara formal ada di pusat itu, yaitu Profesor Taghi Zadeh. Ia sering melakukan diskusitentang urgensi memperkenalkan ajaran Syiah agar lebih dimengerti secara objektif di dunia. Kini lembaga studi ini telah berkembang dan menerbitkan jurnal ilimah secara berkala.

Professor Legenhausen merasa nyaman dan tidak sedikitpun merasa diperlakukan secara diskrimatif bahkan oleh orang yang tidak mengenalnya saat berjalan di lorong-lorong kota relijius Qom, meski wajah, perawakan dan busananya agaka unik. Seraya bergurau, ia mengaku sangat sangat menikmati jabatannya yang tidak resmi, ‘Duta Besar Rakyat Amerika’ di Iran.

Ternyata keislaman Legenhausen tidak otomatis melenyapkan sikap kritisnya terhadap wacana dan pemikiran Islam. Betapapaun ia Muslim dan menjadi guru besar di pusat negeri yang secara politik dan ideologis bersebarangan dengan Amerika, Legenhausen tidak melepas kewarganegaraannya, karena menurutnya, pemerintah Amerika tidak sama dengan rakyat Amerika. Dua Negara boleh bermusuhan karena beda kepentingan, tapi hubungan antar manusia, di manapun, harus tetap dibina, terutama dalam bidang kultur dan pendidikan.

Pada akhir perbincangan, Legenhausen sangat menyambut saat ditanya tentang kesediaannyaberkunjung ke Indonesia bila suatu saat diundang untuk memberikan presentasi pemikirannya dalam seminar-seminar. (Sumber: www.adilnwes.com)

Read more