GLOBALISASI
Di sebuah jalan raya di Jakarta Selatan berderet kios-kios kecil dengan nama awalan yang sama, yaitu A, seperti A-Song, A-Pes dan semacamnya. Sepintas aksara-aksara itu terkesan seperti nama-nama yang berasal dari China, raksasa industri yang sekarang mendominasi bumi.
Tapi, setelah mengetahui bahwa semua kios itu menggunakan nama yang diawali dengan A, maka segera dapat diketahui bahwa itu mungkin hanya imitasi atau duplikasi dari nama berawalan A sebuah kios terkenal yang telah melegenda.
Yang menarik perhatian bukan namanya, tapi barang jualannya. Bayangkan semuanya menawarkan jualan yang agak ‘asing’, yaitu pil biru (sebutan sopan untuk viagra dan obat pemantik libido). Lebih mengejutkan lagi, kios-kios kecil yang tampak sepi itu (karena mungkin konsumen lebih ‘aman’ memesan via telepon WA atau semacamnya), menjual ‘alat bantu’ seks (sex toys).
Wow! Ini sudah super saru. Padahal, menurut para pakar psikologi, segala perangkat begituan dapat menimbulkan dampak adiktif berlebihan karena sensasi yang diberikan berbeda dengan kemampuan yang dimiliki manusia. Na’udzu billah. Sejak kapan itu terjual bebas? Dari mana datangnya? Inikah globalisasi?
Globalisasi telah menimbulkan dampak yang signifikan dalam berbagai dimensi kehidupan manusia. Pada awalnya, proses ini hanya pada tataran ekonomi namun dalam perkembangannya cenderung menunjukkan keragaman. Malcolm Waters mengemukakan bahwa ada tiga dimensi proses globalisasi, yaitu: globalisasi ekonomi, globalisasi politik, dan globalisasi budaya. Dari sisi dimensi globalisasi budaya, muncullah beberapa ragam space atau ruang budaya, seperti: etnospace, technospace, financespace, mediaspace, ideaspace, dan sacrispace.
Dengan demikian, universalisasi sistem nilai global yang terjadi dalam dimensi kebudayaan telah mengaburkan sistem nilai (value system) kehidupan manusia, khususnya bagi mereka yang hidup di negara-negara berkembang. Tragisnya, Indonesia, yang dikenal sebagai negara dengan myoritas Muslim terbesar, adalah salah satu negara yang paling ganjen terhadap globalisasi budaya dan gaya hidup.
Di dunia kini, sebagai efek masif digitalisme, banyak orang tanpa secuil pun rasa malu mengekspresikan perilaku seksual mereka (yang kadang dalam tingkatan tertentu dianggap sebagai ekspresi kasih-sayang) di ruang publik. Dan, perilaku demonstratif demikian justru membuat orang lain yang ada di sekitarnya merasa malu. Saking malunya, orang lain pura-pura tidak melihat apalagi menegur dan melaporkan kepada aparat hukum dengan dalih perbuatan nista.