GUILTY FEELING

GUILTY FEELING
Photo by Unsplash.com

Setiap kali menonton video yang menayangkan adegan kemanusiaan, meski buatan, apalagi natural dan spontan, kita tersentuh dan sebagian terharu bahkan meneteskan airmata. Ia selalu positif bagi siapapun. Kita semua mengasihani yang dibantu dan memuji yang menolong. Dengan koor kita menyebutnya “kemanusiaan.” Karena itu, terdorong mensharenya dan memberikan aneka ikon emosional simpati, sedih, marah, suka dan sebagainya.

Terharu, iba dan segala reaksi emosional dalam diri saat melihat adegan atau tuturan kisah kepedulian kepada sesama manusia yang lebih lemah atau terlihat lebih rendah, bahkan binatang, merupakan efek dari salah satu dari dua situasi emosional, yaitu a) rasa senasib bagi penonton yang memposisikan dirinya sebagai bagian dari lapisan lemah atau rendah. Ia merespresntasi pihak yang ditolong; b) rasa bersalah bagi penonton yang memposisikan dirinya sebagai bagian dari lapisan yang kuat dan tinggi. Ia mewakili pihak yang menolong.

Rasa senasib dan rasa bersalah dalam diri yang merasa bagian dari kelas lemah dan rasa bersalah dalam diri yang merasa bagian dari kelas mampu ini tanpa disadari kerap melampaui dinding dogma agama dan norma hukum serta meliburkan logika ktitis. Tak hanya itu, kejanggalan adegan atau kebohongan fakta kisahnya pun diabaikan juga “dimaklumi”.

Rasa senasib, sependeritaan dan sepenanggungan atau apapun namanya dalam diri yang memposisikan atau diposisikan sebagai kelas lemah bisa tumbuh dalam dua kesadaran yang tersimpan rapi dalam diri, yaitu a) rasa kalah, lemah, tertindas dan terabaikan yang tumbuh sebagai akibat niscaya dari doktrin fatalisme dan mindset ketidaksetaraan manusia serta absurditas kehidupan yang tunduk kepada rezim modal sebagai hukum kelas yang absolut dan determinan; b) rasa hamba dan makhluk yang tumbuh sebagai akibat niscaya dari kebertuhanan.

Karena merasa tak ada yang lebih mulia dan lebih kuat dari Tuhan dan kesadaran tentang kesetaraan sesama makhluk dan kelemahan di hadapan Tuhan; Para penceramah menyiapkan beberapa forma untuk meredam gejolak dengan anjuran sabar, tawakal atau pasrah dengan janji reward pahala.

Rasa bersalah yang diekspresikan melalui iba dan sebagian melalui aksi kepedulian.bisa pula tumbuh dalam dua mindset yang tersimpan rapi dalam diri yang merasa bagian dari kelas mampu; a) rasa unggul dan kuat sesuai takdir alam sebagai hasil prestasi memenangkan persaingan dalam perebutan mata rantai makanan dan lomba mengambil area kekuasaan seluas mungkin.

Karena punya nurani, ia menyediakan sebuah spot kecil dalam dirinya rasa bersalah dengan menangis saja dan kadang memberikan pertolongan kepada yang telah dikalahkannya dalam persaingan sebagai penenang yang bisa membuatnya leluasa untuk melanjutkan kompetisi yang lebih sengit di arena lain; b) rasa tak layak menikmati kemudahan, kebahagiaan, kemenangan, keamanan, keuntungan, kesukssesan, ketenangan dan sebagainya di samping sesamanya yang mengalami kesulitan, kesusahan, kekalahan, ketakutan, kerugian, kegagalan, kegelisahan dan sebagainya.

Karena merasa apa yang didapatkannya membuat orang lain kehilangan kesempatan untuk mendapatkannya dan karena merasa bahwa dirinya setara dengan lainnya dan berhak untuk menikmatinya, ia menolak klaim kepemilikan. Rasa ini adalah buah kebertuhanan yang lazimnya dibungkus dengan konsep teologi yang tegas, dan kadang diekspresikan sebagai kemanusiaan.

Read more