HABIB BUKAN AHLULBAIT (Bagian 11)

HABIB BUKAN AHLULBAIT (Bagian 11)
Photo by Unsplash.com

Allah SWT ketika menciptakan selainNya bermula dari penciptaan zat yang paling utama dan paling sempurna. Karena kedekatan eksistensialnya dengan Kausa Prima, kualitas eksistensialnya tak terbatas. Sedangkan entitas berikutnya memiliki kesamaan dengan yang pertama dalam kesempurnaan meskipun secara kualitas berada dibawah tingkat yang pertama dan demikian seterusnya sampai pada tingkat yang paling rendah yaitu wujud mumkin yang berada pada batasan aktualisasi potensi menjadi aktual dan memunculkan bentuk-bentuk kehidupan serta memunculkan efek-efek instinktif yang menuntun makhluk tersebut dalam level kehidupannya untuk terus berlanjut pada tujuan utama kehidupannya.

Wujud yang berada pada tingkat ini yang mengeluarkan potensi menjadi aksi itulah yang disebut dengan jiwa. Unsur-unsur materi yang terwujud hanya memiliki potensi reseptif untuk menerima jiwa. Proses aktualisasi potensi menjadi aksi merupakan proses kemenyempurnaan setiap bentuk wujud menunjukkan tidak adanya kesia-siaan dari setiap bentuk wujud dan hal ini hanya mungkin terjadi jika pada wujud mumkin tersebut terdapat elemen yang menggerakkan aktualisasi dan elemen tersebut tidak lain adalah jiwa.

Jiwa merupakan forma manusia yang muncul secara fisik dan abadi menjadi ruhani (Jasmaniyah al-Huduts Ruhaniyah al-Baqi’) sebagaimana yang telah lalu, bahwa intelek affektif (‘Akal al-Munfa’il) merupakan akhir dari makna fisik dan permulaan dari makna ruhani. Sedangkan manusia merupakan jalan penghubung (sirath al-Mamdud) di antara dua alam, dia sederhana melalui ruhnya dan kompleks melalui fisiknya. Karakter fisiknya merupakan yang paling murni diantara forma-forma materi bumi dan jiwanya menempati tingkat yang paling tinggi diantara jiwa yang utama.

Berdasarkan prinsip gradualitas eksistensi dan materialitas jiwa pada kemunculannya dan immaterialiitas jiwa pada kelestariannya juga teori transubstansi berpandangan bahwa jiwa karena telah menjadi sempurna setelah berpisah dari raga dimesional mampu menciptakan raga ideal atau raga interval yang semata-mata aktual sebagai pasangan diri di alam yang tak berdimensi guna menjalani seluruh proses pemeriksaan di akhiat. Karenanya, ma'ad (kebangkitan atau kepulangan) adalah peristiwa rohani dan jasmani dengan "jism mitsali." (raga interval).

Ketika potensi seseorang tak lagi bertransformasi menjadh aktual sebagai raga yang bergerak menyempurna, maka musnahlah raganya dengan semua ciri dan bawaannya. Manusia setelah wafat, akan meninggalkan jasadnya. Karena manusia senantiasa berdimensi dua, maka di alam barzakh, ruh/jiwa akan membentuk jasadnya sendiri sesuai dengan karakter alam barzakh dan sifat-sifat yang mengakar pada jiwa. Kenikmatan dan penderitaan manusia di alam barzakh sepenuhnya bergantung pada sifat-sifat yg dimilikinya. Syafaat sama sekali tidak berlaku di alam ini sebagaimana ditegaskan oleh Imam Shadiq. (Furu' Al-Kafi, juz 1 hal. 66). Namun karena masih terhubung dengan alam dunia, maka ia bisa berubah dari sengsara ke bahagia atau lebih bahagia bergantung kepada amal-amal jariyahnya di dunia.

Setelah mengalami masa penungguan yang lama dialam barzakh, manusia dimatikan lagi untuk kedua kalinya dan dibangkitkan di alam akhirat (bukan kembali ke alam materi/dunia). Di sinilah mulai berlaku auditing total dan investigasi menyeluruh Tuhan terhadap semua rekam jejak interaksi vertikal manusia dengan Tuhan dan interaksi horisontalnya antar sesama manusia. Syafaat berlaku dengan syarat-syarat tertentu sebelum evakuasi final ke surga atau neraka.

Keturunan merupakan hubungan regenerasi melalui darah dari satu individu ke individu baru. Keturunan juga merupakan individu baru dari generasi sebelumnya yang bertujuan untuk meneruskan generasi selanjutnya. Keturunan merupakan lahirnya makhluk hidup baru. Hubungan darah merupakan salah satu hubungan fisiologis. Artinya, seseorang disebut cucu atau keturunan karena terhubungan secara fisikal.

Nasab adalah hubungan biologis. Hubungan biologis bersifat jasmani. Semua jasmani bersifat material. Tubuh manusia karena merupakan substansi jasmani, adalah entitas material. Setiap materi akan mengalami perubahan cepat atau lambat alias musnah. Hubungan genetik yang merupakan bagian dari mahiyah alam materi tidak berlaku di alam abstrak. Yang lestari hanyalah jiwa, substansi abstrak dengan semua citra perbuatannya yang saat sedang berbusana raga.

Al Quran mengungkapkan,

فَإِذَا نُفِخَ فِي الصُّورِ فَلَا أَنسَابَ بَيْنَهُمْ يَوْمَئِذٍ وَلَا يَتَسَاءَلُون.

Artinya : Apabila sangkakala ditiup maka tidaklah ada lagi pertalian nasab di antara mereka pada hari itu, dan tidak ada pula mereka saling bertanya. (QS Al Mukminun : 101)

Konstruksi sosial dalam institusi keluarga dan institusi yang dibangun dengan mahiyah niscaya tak berlaku.

Dalam al Quran tertuang,

يَوْمَ يَفِرُّ الْمَرْءُ مِنْ أَخِيهِ وَأُمِّهِ وَأَبِيهِ وَصَاحِبَتِهِ وَبَنِيهِ لِكُلِّ امْرِئٍ مِنْهُمْ يَوْمَئِذٍ شَأْنٌ يُغْنِيهِ.

Artinya: Apabila datang suara yang memekakkan (tiupan sangkakala yang kedua), pada hari ketika manusia lari dari saudaranya, dari ibu dan bapaknya, dari istri dan anak-anaknya. Setiap orang dari mereka pada hari itu mempunyai urusan yang cukup menyibukkannya. (QS Abasa : 34 - 37)

Dan firman Allah yang berbunyi,

وَوُضِعَ ٱلْكِتَٰبُ فَتَرَى ٱلْمُجْرِمِينَ مُشْفِقِينَ مِمَّا فِيهِ وَيَقُولُونَ يَٰوَيْلَتَنَا مَالِ هَٰذَا ٱلْكِتَٰبِ لَا يُغَادِرُ صَغِيرَةً وَلَا كَبِيرَةً إِلَّآ أَحْصَىٰهَا ۚ وَوَجَدُواْ مَا عَمِلُواْ حَاضِرًا ۗ وَلَا يَظْلِمُ رَبُّكَ أَحَدًا.

Artinya: Dan diletakkanlah kitab, lalu kamu akan melihat orang-orang bersalah ketakutan terhadap apa yang (tertulis) di dalamnya, dan mereka berkata: "Aduhai celaka kami, kitab apakah ini yang tidak meninggalkan yang kecil dan tidak (pula) yang besar, melainkan ia mencatat semuanya; dan mereka dapati apa yang telah mereka kerjakan ada (tertulis). Dan Tuhanmu tidak menganiaya seorang juapun". (QS Al Kahf : 49)

Singkat kata, setiap orang seningrat apapun dia atau sejelata apapun di dunia hanya diminta pertanggungjawaban atas iman dan amalnya. Surga dan neraka tak lain adalah buah investasi perbuatannya. Syafaat Nabi dan Ahlubait yang diberikan kepada sebagian hambaNya pun merupakan buah kebaikannya di dunia. Tak ada negosiasi. Inilah "Negara Hukum" dalam arti sejati. Habib yang menganggap keterhubungan biologis dengan Nabi dan Ahlulbait sebagai beban dan tanggungjawab ekstra dalam melaksanakan tugas kehambaan tentu, sesuai dengan asas keadilan, mendapatkan pahala sesuai kualitas implementasinya.

Read more