HABIB BUKAN AHLULBAIT (Bagian 15)

HABIB BUKAN AHLULBAIT (Bagian 15)
Photo by Unsplash.com

Dulu perlu membeli buku atau meminjamnya dari pespustakaan untuk menyalinnya atau mengcopynya bila ingin mengutip riwayat-riwayat tertentu yang dipilih demi menguatkan mindset sendiri. Sekarang cukup dengan membuka aplikasi atau digital library atau search di google, mudah bagi siapa saja, bahkan bagi yang tak menguasai bahasa Arab dan tak pernah belajar agama untuk menyampaikan ceramah dan menulis artikel bertabur teks ayat dan riwayat atau hadis. Umat yang polos cepat terkesima dengan atraksi teks demikian.

Tapi persoalannya, bukan soal mengutip teks tertentu atau pernyataan ulama yang mengargumentasikannya demi mendukung perspektif tertentu tentang sebuah isu atau tema agama atau yang bertalian dengannya namun karena hal-hal sebagai berikut :

1. Mengutip riwayat-riwayat tertentu yang dipilih demi menguatkan mindset sendiri harus dibekali dengan kompetensi dan otoritas dan kompetensi serta legitimasi khusus guna melakukan analisa dan studi khusus tentang banyak riwayat yang berlainan bahkan saling bertentangan tentang sebuah isu.

2. Mengutip riwayat-riwayat tertentu yang dipilih demi menguatkan mindset sendiri tentang sebuah isu takkan menggugurkan pandangan pihak lain yang juga mengandalkan riwayat-riwayat tertentu yang dipilih sebagai dasar pandangan pilihannya.

3. Mengutip riwayat-riwayat tertentu yang dipilih demi menguatkan mindset sendiri tidak akan pernah menggugurkan prinsip-prinsip aksiomatik yang merupakan fondasi agama sekaligus alasan utama menganutnya.

4. Mengutip riwayat-riwayat tertentu yang dipilih demi menguatkan mindset sendiri tidak bisa diklaim sebagai pendapat mazhab selama bukan mutawatir dan selama ditemukan banyak riwayat lain yang bertentangan dengannya tentang isu tertentu.

5. Karena mengutip riwayat-riwayat tertentu yang dipilih demi menguatkan mindset sendiri memerlukan sejumlah syarat sulit, awam yang tak pernah mempelajari studi takhrij hadis dianjurkan mengendalikan diri dengan tidak meniru para ahli supaya tidak menyesatkan awam lainnya dan menularinya kegemaran mengutip riwayat tanpa mengikuti prosedur.

6. Karena mengutip riwayat-riwayat tertentu yang dipilih demi menguatkan mindset sendiri memerlukan sejumlah syarat sulit, awam yang tak pernah mempelajari studi takhrij hadis dianjurkan menggunakan argumen logis yang mengukur premis berdasarkan silogisme dengan empat figura yang telah ditetapkan sebagai metode baku.

7. Karena mengutip riwayat-riwayat tertentu yang dipilih demi menguatkan mindset sendiri memerlukan sejumlah syarat sulit, awam yang tak pernah mempelajari studi takhrij hadis dianjurkan mengutip fatwa mujtahid' yang menjadi rujukannya dalam fikih sebagai pendukung perspektif tentang sebuah isu agama.

Sebenarnya, mengutip teks ayat dan hadis adalah sesuatu yang patut dihargai sebagai hak, hanya saja dasar argumennya bukanlah teksnya namun rasionalitas kontennya. Celakanya, sebagian orang mengira teks yang dikutipnya sebagai veto yang harus diterima bahkan memvonis pandangan lain yang juga disertai kutipan referensi sebagai sesat dan menyesatkan.

Sebenarnya pula orang-orang yang bukan faqih (mujtahid) dan bukan ahli tafsir dan dirayah, tak punya hak legal untuk menafsirkan dan menyimpulkan teks-teks riwayat secara langsung selain mengutip produk tafsir dan takhrij serta istinbath para ahli.

Cara termudah bagi awam, seperti saya, adalah menggunakan pendekatan logis dalam mengargumentasikan kewajiban cinta kepada Ahlulbait terkait ayat Mawaddah.

Cinta adalah bisa bermakna hormat, sayang dan bisa bermakna patuh. Bila yang dicintai tak membutuhkan apapun dari yang mencintai, maka bermakna patuh. Bila yang dicintai membutuhkan yang mencintai, maka cinta bermakna sayang Bila yang dicintai dan yang mencintai saling membutuhkan, maka bermakna hormat.

Bila mencintai Ahlulbait (Al-Qurba) bermakna menghormati, maka Ahlulbait dan selain Ahlulbait saling membutuhkan. Bila mencintai Ahlulbait (Al-Qurba) bermakna menyayangi, maka Ahlulbait membutuhkan selain Ahlulbait. Bila mencintai Ahlulbait bermakna mematuhi, maka selain Ahlulbait membutuhkan Ahlulbait dan tidak sebaliknya.

Bila perintah Allah mencintai Ahlulbait (Al-Qurba) bermakna perintah menghormati, maka perintah tak punya urgensi karena pada dasarnya setiap mukmin bahkan setiap manusia kecuali harbi, wajib dihormati.

Bila perintah Allah mencintai Ahlulbait (Al-Qurba) bermakna perintah menyayangi, maka perintah itu merendahkan Ahlulbait karena posisinya sederajat dengan anak di hadapan orangtua atau isteri di hadapan suami. Tentu ini tertolak.

Bila perintah Allah mencintai Ahlulbait bermakna perintah mematuhi, maka yang dipatuhi mesti suci. Bila tidak suci, maka perintah mencintai bermakna perintah patuh kepada yang tidak suci. Bila perintah Allah mencintaii Ahlulbait bermakna perintah patuh kepada yang tidak suci, maka itu bermakna perintah melakukan perbuatan salah dan buruk. Tentu asumsi ini tertolak.

Karena tidak suci, maka dzurriyah bukanlah Ahlulbait. Karena bukan Ahlulbait, tidak wajib patuh bahkan tidak boleh patuh kepada dzurriyah bila perintahnya tidak sesuai dengan ajaran Ahlulbait.

Namun karena Ahlulbait (Qurba) punya makna sekunder dan makna etimologis yang luas mencakup keturunan, maka dzurriyah juga bisa disebut Ahlulbait tanpa kesucian dan tanpa kewenangan vertikal yang meniscayakan kepatuhan. Inilah cinta yang bermakna hornat secara logis alias tidak bertentangan dengan asas keadilan dan perbuatan sebagai parameter kemuliaan.

Read more