HABIB BUKAN AHLULBAIT (Bagian 2)

HABIB BUKAN AHLULBAIT (Bagian 2)
Photo by Unsplash.com

Sebenarnya saya kurang berminat membahas secara serial tema tekstual apalagi terkait dengan isu yang tidak fundamental. Mungkin sebagian bosan. Tapi karena arus kesalahpahamannya mulai deras, saya rela mengambil bagian sulit ini dengan segala konsekuensinya.

Etimologi Ahlulbait

Dalam sumber-sumber bahasa Arab, kata "Ahl" menunjukkan suatu hubungan dan ikatan antara manusia dengan manusia atau dengan yang lainnya; sebagai contoh, di kalangan Arab, istri terhitung sebagai ahl untuk suaminya, suatu umat bagi setiap nabi adalah keluarganya (ahl) dan penduduk rumah atau kota adalah "ahl" atau keluarga rumah itu atau kota itu. (Al-Mufradāt fῑ gharῑb al-Qurān, hlm. 29). Dan kata "Āl" (bahasa Arab:آل) juga berasal dari kata "ahl" yang mana huruf "ha" berubah menjadi huruf hamzah dan kemudian menjadi "alif". (Lisan Al-Arab, jld. 1, hlm, 186).

Penggunaan kata "Āl" dari kata "ahl" lebih terbatas; karena "Āl" tidak disandarkan pada tempat dan waktu dan hanya dikhususkan untuk manusia dan berkaitan dengan manusia juga hanya disandarkan kepada manusia-manusia yang memiliki kedudukan tersendiri; seperti Āl Ibrahim, Āl Imran, Āl Fir'aun. (Al-Mufradāt , hlm. 30).

Ringkasnya, secara kebahasaan, kata Ahlul-Bait hanya berlaku atas para penghuni rumah alias para anggota keluarga yang hidup di bawah satu atap. Siapapun boleh menggunakan kata Ahlulbait dalam pengertian etimologis sesuai kata Ahl (pemilik atau penguuni) dan bait (rumah) karena itulah arti denotatifnya. Secara etimologis, cicit dan keturunan dalam regenerasi selama 14 abad lebih dan telah berkembang dan menyebar tidak disebut Ahlulbait kecuali kiasan.

Namun yang menjadi fokus kajian ini adalah Ahlulbait secara terminologis yang mengandung pengertian keagamaan (Islam) dengan keragaman pendapat di kalangan para pemuka Islam.

Terminologi Ahlul-Bait

Ahlulbait as (bahasa Arab:أهل البيت) pada makna primer secara terminologis merupakan gelar khusus untuk beberapa orang dari keluarga Nabi Muhammad SAW. Allah telah menetapkan kesucian Ahlulbait sebagaimana ditegaskan dalam ayat 33 dalam surah Al-Ahzab.

Ahlussunnah dan Syiah bersepakat tentang kewajiban menghormati Ahlulbait, namun berbeda pandangan dalam pemaknaan dan cakupan pengertiannya. Ahlulbait dipastikan sebagai sebutan untuk Nabi Saw., Ali bin Abi Thalib, Fatimah serta kedua putranya, Al-Hasan dan Al-Husain sebagaimana dalam riwayat Ummu Salamah dan Aisyah. (Musnad Ahmad bin Hambal jilid 10 halaman 197 hadis ke 26659, Sunan Tirmidzi jilid 5 halaman 699 hadis ke 3871).

Setelah bersepakat tentang keutamaan Ahlulbait, Sunni dan Syiah bersilang pendapat tentang cakupan terapan pengertinya. Dalam literatur utama mayoritas Ahlussunnah secara umum, termasuk para ulama Ahlulhadits dan pengikut Ahmad bin Ahmad bin Hanbal yang dikenal sebagai pengabut teologi Salafiyah, istilah Ahlulbait hanya punya satu pengertian luas yang meliputi siapapun yang terhubung secara biologis dengan Nabi SAW bahkan sebagian memasukkan para isteri Nabi SAW di dalamnya seraya mengafirmasi konsekuensi preferensi dan kewajiban mencintai dan menghornati mereka tanpa pengecualian meski tak selalu tercermin secara faktual dalam satu sikap yang sama.

Sedangkan Syiah bersepakat tentang pengertian khusus dan cakupan terbatasnya pada lima Ahlul Kisa' dan 9 imam dari keturunan Al-Husain, kalangan Syiah berbeda pandangan seputar relasi Ahlulbait dengan dzurriyah (keturunan Nabi SAW). Dengan kata lain, Imamiyah bersepakat tentang pengertian tunggal dan sejati Ahlulbait yang suci dan berposisi sebagai pelanjut otoritas transenden Nabi SAW dan bersepakat mengafrimasi pengertian tak sejati terma Ahlulbait bagi seluruh keturunannya.

Kalangan Syiah bersepakat tentang pengertian sejati Ahlulbait yang berlaku secara khusus pada 14 manusia suci (Ahlul Kisa' dan Itrah Ahlulbai) dan mengkonfirnasi relasi biologis dan kenasaban dengan Nabi sebagai sebuah anugerah kemuliaan. Merekanjuga bersepakat bahwa dalam akidah, atribut Ahlulbait hanya digunakan untuk menunjuk manusia-manusis tertentu yang telah disucikan oleh Allah dengan nama-nama yang ditetapkan secara khusus sebagaimana ditegaskan dalam banyak hadis. Itulah sebabnya mengapa dalam bidang fikih, kata dzurriyah Nabi terutama dalam bab khumus, bukan Ahlulbait.

Setelah menyepakati prinsip di atas, mereka berbeda pendapat tentang konsekuensi relasi dzurriyah dengan Ahlulbait dan Itrah Ahlulbait.

Ahlul-Kisa'

Setelah dipahami bahwa makna etimologis Ahlulbait adalah penghuni rumah dan makna terminologis yang sejati adalah lima orang pilihan yang telah ditetapkan dalam sebuah upacara khusus yang dikena Hadis Kisa', sebagaimana diriwayatkan dalam banyak kitab hadis, antara lain Shahīh Muslim, vol. 7, hal. 130 dan lainnya, Musnad Ahmad bin Hambal jilid 10 halaman 197 hadis ke 26659, Sunan Tirmidzi jilid 5 halaman 699 hadis ke 3871 Shahih Muslim jilid 4 halaman 1883 hadis ke 2424, al-Mustadrak 'ala al-Shahihain jilid 3 halaman 159 hadis ke 4707.

Dalam hadis Kisa' Jibril yang diizinkan masuk ke dalam kain Yamani dan menjadi anggota keenam di dalamnya. Dengan demikian jelaslah Jibril bisa dianggap sebagai Ahlul-Kisa' ideologis.

Itrah Ahlul-Bait

Sedangkan sebutan Itrah sebagai Ahlulbait, berdasarkan hadits Tsaqalain (Shahîh Muslim, jilid 7, hal. 122; Sunan Ad-Dârimî, jilid 2, hal. 432; Musnad Ahmad, jilid 3, hal. 14, 17, 26, 59, jilid 4, hal. 366, 371, jilid 5, hal. 182; Mustadrak Al-Hâkim, jilid 3, hal. 109, 148, 533) adalah sebutan terminologis sejati yang sekunder. Kesejatian makna terminologis Ahlulbait bagi Ahkulisa' dan bagi Itrah (9 imam dari garis keturunan Al-Husain) didasarkan pada kesucian dan kewenangan transenden mereka selaku pengawal wahyu suci. Dengan kata lain, sebutan Ahlulbait untuk Ahlul Kisa' bersifat sejati dalam makna primer dan itrah 12 imam bersifat sejati dalam makna sekunder. Itrah Ahlulbait adalah Imam Ali as, Sayidah Fatimah az-Zahra sa, Imam Hasan as, dan Imam Husain as serta sembilan Imam Maksum lainnya dari anak keturunan Imam Husain AS.

Dzurriyah

Pada dasarnya secara terminologis, kata dzurriyah bersifat netral tidak memuat makna penghormatan karena bisa digunakan untuk setiap keturunan. Kata dzuriyah tanpa kata sandangan tak memberikan signifikasi spesifik yang bila dihubungkan dengan seseorang atau ingin diketahui oleh banyak orang, harus disebut dzurriyah fulan.

Keturunan Nabi kerap disebut “Dzurriyah Rasul”. Kata dzurriyah berasal dari dzarrah yang bisa berarti “benih” atau “benda sangat kecil”. Dzurriyah berarti benih manusia alias keturunan. Kata ini mengandung makna general yang meliputi setiap orang yang lahir dari keturunan Nabi dan selain Nabi. Dalam al-Qur’an kata dzurriyah digunakan dalam banyak ayat.

Dzurriyah Nabi

Ini adalah sebutan bagi orang-orang umumnya dikenal alawiyin, sadah dan asyraf, yaitu orang-orang yang garis nasabnya bersambung kepada Nabi SAW.

Beberapa hadis menyebutkan kata dzurriyah yang secara denotatif mengesankan pemberian hak khusus berupa jaminan sorga dan keterbebasan dari neraka. Inilah yang mungkin memantik polemik. Antara lain hadis diriwayatkan oleh Abu Hurairah dan dicantumkan oleh Al-Qunduzi dalam Yanabi' Al-Mawaddah hal. 397; "Dia sebut Fathimah (pengaman) karena Allah mengamankannya dan keturunannya dari neraka."

Pertama : Teks hadis lain yang menyebut para pengikut dan para pecinta lebih banyak daripada "dzurriyah" lebih banyak. Ini mendorong kita mengambil jarak dengannya, apalagi bukan mujtahid dan tidak punya kompetensi dalam takhrij dan analisa nash suci.

Kedua : Sanad riwayat-riwayat sejenis itu lemah. Andaikan sahih, maka perlu bersikap abstain, karena pngecualian ini bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam yang ditegaskan dalam Kitab Suci dan Sunnah otentik, yang menolak segala bentuk diskriminasi rasial atau pelestarian realitas kelas apa pun.

Meski demikian dzurriyah bida disebut Ahlulbait secara majazi atau simbolik tapi tetap saja bukan Ahlulbait sejati secara etimologis dan terminologis karena posisinya sebagai keturunan Nabi dan keturunan Ahlulbait Nabi.

Akhirnya, adanya jenjang hierarki dan level pengertian Ahlulbait dan terapan aktualnya justru mengkonfirmasi banyak hal;

Pertama: Ahlulbait pada level tak sejati bisa disandangkan secara biologis (bukan teologis) pada keturunan Ahlulbait yang tak punya kesucian dan tak terampuni kecuali dengan taubat dan syafaat.

Kedua : Penyebutan seseorang yang tidak punya hubungan bilologis sebagai Ahlulbait yang dilakukan oleh Nabi SAW mengisyaratkan bahwa posisi sakral ini bisa disematkan pada selain 5 dan 9 orang yang ditetapkan, namun karena mengandung makna ketakwaan maksimal, harus dilakukan oleh Nabi SAW dan para insan suci, sebagaimana dilakukan oleh Nabi terhadap kepada Salman Farisi, pria Persia yang nasabnya tidak terhubung dengan Nabi dan kakek Nabi.

Ketiga : Kesayyidan punya pengertian etimologis dan terminologis yang berbeda dengan Ahlulbait. Karena tidak sama dengan Ahlulbait yang secara terminologis dan teologis mengandung kesucian dan karena bukan merupakan posisi teologis yang ditetapkan oleh Nabi SAW, namun sebuah gelar sebagai ekspresi penghormatan kepada Nabi, penyebutan seseorang yang bukan dzurriyah sebagai sayyid ideologis tidak mereduksi pengertian utama sayyid selama tidak memberikan konsekuensi normatif.

Pernyataan "Habib bukan Ahlulbait" mengacu kepada makna substansialnya yang bersyarat kesucian dan otoritas transenden. Atas dasar itu, meski kesayyidan dan kealawiyan merupakan anugerah kehormatan karena terhubung dalam garis nasab dengan Nabi SAW tanpa pengecualian dalam teologi dan konsekuensi hukum, perlu ditegaskan bahwa berdasarkan hadis Kisa', pengertian substansial Ahlulbait hanya berlaku atas 5 orang (Nabi Muhammad, Imam Ali, Sayyidan Fatimah, Al-Hasan dan Al-Husain). Berdasarkan hadis Tsaqalain, pengertian Ahlulbait juga berlaku atas 9 imam dari Al-Husain.

Penegasan ini perlu diulang-ulang agar pengertian sejatinya yang berkonsekuensi kesucian dan hak kewenangan tak digeser oleh pengertian tak sejatinya dan agar jumlah orang yang menuntut umat patuh dan tunduk kepadanya dengan menjadikan teks-teks kesucian Ahlulbait sebagai dalil seraya mengatribusikanya pada dirinya sebagai Ahlulbait, berkurang.

sebelumnya HABIB BUKAN AHLULBAIT

Read more