HABIB BUKAN AHLULBAIT (Bagian 3)

HABIB BUKAN AHLULBAIT (Bagian 3)
Photo by Unsplash.com

Teks ayat dan hadis sahih adalah sumber hukum dan sikap setiap Muslim. Tapi prinsip ini tak niscaya membuat setiap Muslim bersatu dalam pemahaman dan pengamalan ajaran Islam. Perbedaan dalam menentukan otoritas sumber penafsiran ayat dan kriteria serta prosedur periwayatan secara niscaya melahirkan dua mazhab besar, Sunni dan Syiah. Ternyata semazhab tak berarti satu dalam semua pandangan. Karena fakta relativitas persepsi, polemik sebagai keniscayaan dinamika intelektual di dalam satu kelompok mazhab pun tentang beragam pendapat non fundamental terus bergulir. Para pemuka di kedua himpunan ini berlomba menetapkan standar seleksi teks riwayat.

Agar dapat dipajang sebagai dalil bagi sebuah pandangan dan penguat dalam diskusi, setiap teks harus dikaji oleh ahli. Bila teks yang dihadapi adalah ayat suci yang telah disepakati otentisitasnya, maka ahli tafsir dan fuqaha melakukan studi tafsirnya sesuai prosedur normatif yang telah disepakati. Bila teks yang dihadapi adalah riwayat atau hadis yang tidak disepakati otentisitasnya, maka ahli takhrij dan faqih melalukan validasi dan komparasi dan semua prosedur studii sesuai SOP yang ditetapkan masing-masing kalangan Sunni dan Syiah.

Karena validasi dan semua proses interpretasi memerlukan deduksi dan inteleksi, maka nalar mendahului teks. Dengan kata lain, pandangan aksiomatis tidak akan bisa dirobohkan oleh teks sebanyak apapun, apalagi belum disepakati status kesahihan dan kemutawatiran juga kehujjahan (hujjiyah)-nya.

Salah satunya adalah pandangan yang mengafirmasi kedudukan istimewa dzurriyah yang secara khusus dan determinan diberikan oleh Allah di luar sistem nilai dan hukum yang diberlakukan atas umat manusia selain mereka. Tentu saja pendapat ini disertai sejumlah teks yang diinterpresikan sebagai dalil. Sembari tetap mengapresiasi, pendapat tersebut ditolak oleh oleh sebagian yang menganggapnya invalid.

Mungkin karena mengira pendapat tersebut sebagai pandangan ijmak mazhab, beberapa individu dalam komunitas semazhab mendukungnya, bahkan sebagian mencemooh orang-orang yang memilih pendapat lain.

Sebenarnya mempertahankan (lebih tepat mengikuti) sebuah pendapat sah-sah saja, meski ia tetap saja tidak akan bisa dianggap sebagai pendapat resmi sebuah mazhab yang pada faktanya tidak direpresentasinya. Dengan kata lain, ia layak dianggap sebuah pendapat.

Karena tidak merepresentasi mazhab, beberapa individu dzurriyah Syiah memilih pendapat lain yang dianggapnya lebih relevan dan rasional dengan mengedepankan aksioma keadilan dan kesetaraan karena menganggap asumsi preferensi di luar sistem nilai yang berporos pada keadilan sebagai desakralisasi dan delegitimasi Ahlulbait suci.

Secara umum pendapat ini dapat diringkas dalam poin-poin sebagai berikut :

A. Kedzurriyahan adalah kemuliaan aksidental, bukan kemuliaan substansial, karena hubungan biologis dengan Nabi dan Ahlulubait;

B. Kedzurriyahan bisa menjadi kemuliaan substansial bila dirawat dengan ketakwaan dan perilaku baik.

C. Berdasarkan prinsip kemahabijaksanaan dan kemahaadilan Allah, kedzurriyahan bukanlah anugerah gratis. Karenanya, kemuliaannya sepadan dengan bebannya.

D. Karena kemuliaan posisi dzurriyah sepadan dengan bebannya, maka anugerah tidak menggugurkan prinsip keadilan.

Bila disodorkan dua pilihan; a) dapat 1 hadiah bila berbuat baik dan dapat 1 sanksi bila berbuat buruk; b) dapat 2 hadiah bila berbuat baik dan dapat 2 sanksi bila berbuat buruk, apakah opsi pertama dan opsi kedua sama beratnya ataukah salah satunya lebih ringan?

Kalau dicermati, dapat disimpulkan "tak ada makan siang gratis di surga."

Read more