HABIB BUKAN AHLULBAIT (Bagian 5)

HABIB BUKAN AHLULBAIT (Bagian 5)
Photo by Unsplash.com

Sebelum terlalu jauh memasuki arena polemik seputar dzurriyah dan isu membanggakan nasab dengan bekal teks riwayat, perlu diketahui bahwa;

  1. Teks riwayat yang ahad tidak bisa menggugurkan teks riwayat mutawatir atau masyhur yang berbeda kontennya
  2. Teks riwayat tidak bisa menggugurkan ayat-ayat muhkamat.
  3. Teks riwayat tidak bisa menggugurkan keyakinan fundamental Keadilan.
  4. Setiap teks riwayat yang secara harfiah bertentangan dengan dhururiyat, ayat muhkamah dan riwayat-riwayat lain yang lebih populer harus ditakwil atau dimauqufkan.

Salah satu isu yang dijadikan sebagai alasan menganggap hubungan biologis sebagai keutamaan yang bersanding dengan ketakwaan adalah riwayat tentang Nabi SAW membanggakan asal usul nasabnya.

Sebelum mengkonfrontasikan teks tersebut dengan ayat-ayat suci dan riwayat-riwayat masyhur lainnya, perlu diperjelas arti dan pengertian, konteks dan tendensi tertentu di balik "membanggakan" serta relasinya dengan sombong dan menyombongkan nasab.

A. Menyebutkan asal usul nasab tak mesti membanggakannya. Kata "wa la fakhr" (ولا فخر) pada bagian akhir banyak teks riwayat cukup sebagai bekal kuat untuk membedakan menginformasikan asal usul nasab dengan membanggakan.

B. Andaikan pernyataan Nabi dan para imam (Seperti ucapan Nabi "Aku adalah nabi tanpa dusta. Aku adalah cucu Abdul Muthalib" dan ucapan Imam Ali "akulah orang yang diberi nama singa oleh ibuku.") ditafsirkan sebagai membanggakan diri atau nasab pun tak bisa divonis sebagai kesombongan karena membanggakan sesuatu belum tentu menyombongkannya.

C. Sombong tak mesti diekspresikan dengan berbangga. Banyak cara menyombongkan nasab dan lainnya. Ucapan Nabi dan para manusia suci yang terkesan "membanggakan nasab" bukanlah ungkapan sombong.

D. Menyombongkan sesuatu tak mesti membanggakannya. Tak ada relasi niscaya dan kesamaan antar keduanya. Sombong punya definsi yang berbeda dengan bangga meski kadang bertemu dalam sebuah tindakan dan sikap.

E. Sebagai manusia sempurna dan penuh percaya diri sehingga tak merasa perlu menyombongkan nasab demi menyempurnakan kemuliaannya yang maksimal dan tak merasa perlu menambal kekurangan yang tak ada padanya, Nabi tak sedang membanggakan demi mendongkrak kemuliaan dan tidak menyombongkan nasabnya karena merasa ada yang kurang pada dirinya.

Sedangkan riwayat-riwayat yang melaporkan bahwa Nabi SAW menyebutkan beberapa keutamaanya sendiri tidak bertentangan riwayat-riwayat beliau tentang larangan membanggakan nasab. Hal itu karena beberapa alasan logis sebagai berikut:

  1. Nabi SAW membanggakan keningratannya dalam sebuah konteks tertentu dengan tujuan positif yang benderang. Beliau melakukannya dalam arena tempur saat berhapan dengan pasukan musuh demi membangkit semangat pasukannya dan menggoyahkan nyali pasukan musuh. Membanggakan kelebihan diri digaris terdepan yang lazim disebut sesumbar adalah taktik jitu dalam pertempuran.
  2. Nabi SAW membanggakan keningratannya di hadapan orang-orang yang memang menjadikan garis keturunan sebagai nilai kemuliaan dan menganut budaya tribal jahiliah yang mengukur manusia berdasafkan strata kelas sosial. Dengan kata lain, Nabi SAW memukul para penganut agama Jahiliah dengan logika Jahiliah. Ini merupakan seni komunikasi yang lazim digunakan dalam menghadapi lawan.
  3. Ayat-ayat yang memperkenalkan sosok Nabi SAWb tak menyebutkan aspek personal dan individual dan hanya memperkenalkan aspek impersonalnya yang transeden dan divine, yaitu risalah dan kenabiannya. Artinya, Allah menginginkan umat manusia lebih mengenalnya sebagai utusanNya, bukan sebagai Muhammad Bin Abdillah.

- وَ ما مُحَمَّدٌ إِلاَّ رَسُولٌ

Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang rasul, (Ali Imran : 144)

- ما كانَ مُحَمَّدٌ أَبا أَحَدٍ مِنْ رِجالِكُمْ وَ لكِنْ رَسُولَ اللَّهِ وَ خاتَمَ النَّبِيِّينَ ...

Muhammad itu bukanlah bapak dari seseorang di antara kamu, tetapi dia adalah utusan Allah dan penutup para nabi. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.(Al-Ahzab : 40)

- مُحَمَّدٌ رَسُولُ اللَّهِ وَ الَّذِينَ مَعَهُ ...

Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama. (Al-Fath : 29)

- قُلْ إِنَّما أَنَا بَشَرٌ مِثْلُكُمْ يُوحى‏ إِلَيَّ ...

Katakanlah (Muhammad), “Sesungguhnya aku ini hanya seorang manusia seperti kamu, yang telah menerima wahyu, bahwa sesungguhnya Tuhan kamu adalah Tuhan Yang Maha Esa.” (Al-Kahfi : 110).

Memperkenalkan aspek personal bahkan fisikal figur Muhammad bin Abdillah semisal dengan menyebut ciri-ciri fisik warna kulit, mata dan lainnya tanpa pencerahan yang berimbang terkait misi dan risalah beliau berpotensi menciptakan pola keterikatan yg bersifat emosional dengan Nabi dan bukan kesadaran ideologis dan komitmen kepada risalah beliau.

Reaksi cepat dan keras terhadap peristiwa penistaan kepada Nabi dan sikap pasif di hadapan serangan budaya dan pemikiran terhadap ajaran Islam yang dibawa Nabi seakan menjadi indikator buruk pola keterikatan emosional semata umat dengan Nabi.

Mensyukuri anugerah kemuliaan terlahir dari orang-orang baik adalah hal yang sangat wajar, manusiawi dan berlasan, sehingga tidak diperlukan dalih untuk mempertahankannya. Itulah kenapa kita tak hanya mendengar Nabi dan figur-figur agung lainnya menyebut secara kelebihan dan 'berbangga' dengan nasab. Sosok negatif seperti Mu'awiyah juga menyebutkan nasabnya dan berbagga dengan itu. (Tarikh Tabari dan Tarikh Ibn Atsir). Ini terlepas dari fakta bahwa yang disebutnya adalah kelebihan tidak real dan berbangga dalam konotasi yang negatif atau bangga dengan tujuan menyombongkannya.

Membanggakan diri bukanlah perbuatan mulia kecuali didasarkan pada tujuan menyebutkan karunia keterhubungan biologis dengan Nabi SAW atau demi menarik perhatian orang kepada Nabi SAW.

Mengakui keutamaan nasab sebagai dzurriyah Nabi bukanlah kesombongan. Namun itu tidaklah sama dengan mengafirmasi 'syafaat tak bersyarat' sebagai free pass' masuk surga bagi keturunan beliau. Itu artinya, tak ada makan siang grartis di surga.

Read more