Habib dan Shihab: Sebuah Klarifikasi
Sejauh pengamatan saya, ada beberapa tipe ‘habib’ di Indonesia; pertama, yang berdakwah secara tradisional. Biasanya tipe ini kurang memperhatikan politik. Yang penting, acara pengajiannya semarak, meski kadang memacetkan jalan dan ukuran spanduk-spanduknya berlebihan. Ini tidak terlalu mengkhawatirkan.
Kedua, yang memberikan kontribusi nyata dalam berbagai bidang, terutama dalam bidang agama dengan pendekatan yang santun dan bisa diterima oleh semua kalangan. Tidak sedikit di antara mereka yang dikenal sebagai pejuang dan pahlawan kemerdekaan. Habib tipe kedua ini tidak mencantumkan gelar ‘habib’. Prof. DR. Quraish Shihab mungkin bisa dijadikan contoh tipe kedua ini.
Ketiga, yang secara sengaja memasang gelar ‘habib’ di depan namanya lalu dengan semangat amar makruf dan nahi mungkar menggalang massa dan melakukan tindakan-tindakan yang sensitif sehingga menimbullkan gangguan sosial dan politik.
Sedangkan “Shihab” adalah nama marga yang cukup besar dan berumur lama. Tidak ada ejaan baku cara penyebutannya. Meski disebut secara berbeda, seperti Shihab (mengikuti cara pengucapan Bule), Syihab, Shahab, Syhahab, berarti satu marga. Meski sama-sama bermarga Shihab, tidak mesti kenal apalagi sekeluarga. Shihab-nya Profesor Quraish dan Alwi berasal dari Makassar dengan ciri dan karakteristik Makassar. Shihab-nya Rizieq kental dengan kebetawian. Meski sama-sama Shihab, Quraish dan Rizieq tidak punya kesamaan baik cara berpikir dan bertindak. Quraish Shihab adalah alumnus terbaik Mesir dan doktor terbaik dalam bidang tafsir dari Universitas Al-Azhar, sebuah lembaga pendidikan yang sangat toleran dan menghargai pluralitas. Sedangkan Rizieq adalah alumnus King Abdul Aziz University, Arab Saudi, sebuah negara yang melahirkan Wahabisme yang puritan, kaku, dan anti keragaman.