Saking besarnya penghormatan masyarakat Muslim di Indonesia kepada habib, beberapa orang pemalas bergelar habib menyalahgunakannya demi tujuan negatif atau demi kepentingan pribadi dalam ekonomi dan kekuasaan juga kenyamanan.
Yang lebih memprihatinkan adalah sepak terjang buruk segelintir orang non habib yang mengaku habib atau sayyid lalu mengeksploitasi gelar palsu itu dengan membodohi masyarakat relijius demi meraih keuntungan duniawi.
Fenomena “habib gadungan” berkontribusi dalam perusakan citra baik dan simbol sakral habib atau “dzuriyah”. Akibat kasus-kasus asusila dan penipuan berkedok “habib”, ribuan habib lain terkena dampaknya. Banyak orang yang berhak memajang gelar habib justru menyembunyikannya karena sadar beban moralnya yang cukup berat.
Siapapun, habib asli atau habib palsu, yang menggunakan gelar habib demi tujuan negatif tidak layak menyandangnya.
Gelar habib bagi penyandang yang sadar tanggungjawab moral “keturunan Nabi” adalah beban berat, bukan sarana mencari kekuasaan, kekayaan dan kenyamanan.
Imam Husain, pribadi sangat agung yang bisa disebut “habib akbar” telah memberikan contoh kesadaran prima tentang konsekuensi kedekatan dengan Nabi termulia melalui pengorbanan agung dalam tragedi Karbala. Al-Husain membuktikan “kehabiban” dengan menjadi orang terdepan dalam duka dan terakhir dalam suka.
Di depan para pengepungnya, ia berteriak, “bila tegaknya agama ini memerlukan syarat dan tumbal, cabik-cabiklah tubuhku.”