"Habib Pemecahbelah"

"Habib Pemecahbelah"
Photo by Unsplash.com

Beberapa hari lalu seorang teman di Banjarmasin bernama Wahyu Herlambang menghubungi saya melalui ponsel. Dengan nada gemetar dan nafas tersengal-sengal, dia menceritakan situasi Banjarmasin hari itu yang menurutnya mencekam.

Saat saya tanya penyebabnya, dia mengeluhkan provokasi sektarian oleh seorang bergelar "habib" mencaci maki Syiah dan mengompori masyakarat santun Banjar untuk memperlakukan Syiah sebagaimana Ahamdiyah. Saya berusaha menenangkannya dengan mengatakan, "Tenang saja! Provokasi itu sudah sering dilakukan tapi tidak akan berpengaruh" "Tapi, dia adalah seorang "habib" yang sangat dihormati oleh masyarakat Banjar," katanya menggusarkan saya. "Siapapun, bergelar habib atau tabib atau rahib sekalipun, tidak akan bisa melawan arus deras informasi di era teknbologi informasi ini," kataku berusaha meyakinkannya. "Lalu, kita mesti bagaimana? Sementara provokasinya tampak mulai direspon oleh masyarakat awam," katanya lagi penasaran.

Selanjutnya, saya berusaha mendinginkan jiwanya yang terbakar emosi. Beruntunglah, dia pun mengurungkan niatnya untuk membungkam mulut busuk si habib provokator itu. Kata terakhir yang menenangkan dia adalah" Bila anjing menggongong, jangan balas dengan menggongong. Bila dibalas dengan menggonggong, berarti ada dua anjing."

Penentangan terhadap kehadiran Syiah di Indonesia didasarkan pada beragam motivasi dan tendensi, ada yang teolgis, politis dan ada pula yang psikologis.

Penolakan kaum wahabi lebih didasarkan pada alasan teologis karena memang jarak antara wahabi yang literal skriptural dan Syiah yang rasional filosofis lumayan jauh, apalagi memiliki visi politik yang berbeda; wahabi mendukung dinasti Saud dari Nejed yang despotik, glamour dan anti demokrasi serta pro Amerika. Sedangkan Syiah cenderung kritis dan menentang sistem kerajaan dan anti Amerika. Pertentangan ini dalam batas tertentu bisa dimaklumi, apalagi kini hubungan Iran dan Arab Saudi makin membaik, dan diskriminasi terhadap warga Muslim Syiah mulai berkurang.

Tapi yang menggelikan dan mengharukan adalah kegigihan sebagian kaum alawiyyin (karena tidak semua alawi layak menyandang predikat sayyid, menurut penulis) terhadap kehadiran mazhab di indonesia. Semula saya berprasangka baik bahwa penentangan ini semata-mata bersifat argumentatif. Namun kini dugaan itu tidak dapat dipertahankan lagi, terutama setelah melihat tendensi penentangan ini lebih bersifat personal dan sentimentil. Maksudnya? Selalu saja saat terdesak dalam diskusi, mereka menggunakan argumentum ad hominem, menyudutkan pihak lawan diskusi dengan sejumlah pernyatan klise yang irasional, seperti 'apakah ente lebih pandai dari abah-abah kite?', 'apakah ente meragukan karamah dan kewalian mereka? dan sebagainya. Pertanyaan (baca: pernyataan) ini tentu sulit dijawab karena belum ada rumusan metodologi dan epistemologinya.

Gerombolan yang demen mengeksploitasi simbol sorban dan jubah ala Superman ini takut kehilangan kehangatan hidung yang menusuk telapak tangan mereka, kepala yang menunduk-nunduk di hadapan mereka dan penghormatan artifisial dari sekelompok Muslim yang hendak bertabaruuk kepada Nabi melalui mereka.

Syiah memamg berbeda dengan Sunni, tetapi tidak semestinya ajaran yang menjunjung tinggi rasionalitas dan berbasis pada filsafat yang kokoh ini dibenci.

Menolak atau menerima ajaran Syiah adalah hak setiap orang. Tapi fenomena organisme desktruktif gerombolan pecundang penabur benih perpecahan yang beakangan ini makin gencar menyemburkan kebencian terhadap Syiah di beberapa kota di Indonesia ini adalah lonceng kematian anarkisme sektarian dan nafas terakhir para pengusung jargon kosong yang akan menuai blunder besar, karena menentang realitas Indonesia yang majemuk.

Read more