"Habib"
Ada komentar menarik dari salah satu pengunjung blog pribadi saya tentang insiden kerusuhan di lapangan Monas yang bertepatan dengan Hari Kelahiran Pancasila 1 Juni lalu, sebuah peristiwa yang patut disesalkan.
Saya tersentak (baca: dongkol) karena pemberi komentar terkesan meminta pertanggungjawaban saya atas aksi kekerasan yang tidak saya lakukan itu karena, menurut fantasinya, saya ‘habib,’ sebuah gelar yang telah menjadi gergaji yang menelan banyak “korban”, terutama yang tidak memakainya, termasuk saya.
“Habib” berasal kata dasar al-hubb dalam bentuk kata sifat ( ism fa’îl ), yang memiliki arti objek (penderita), yang dicintai atau kekasih. Dalam syair-syair Arab klasik maupun dalam lirik lagu-lagu romantis Arab modern, habib berarti pacar, kekasih dan yang disayang. Dalam tadisi Islam, habib adalah gelar pujian Muslim saat memanggil dan mengucapkan nama Muhammad saw. Muhammad habibullah, kekasih Allah, begitu juga Hasan dan Husain, kedua cucu beliau. Pujian dan pemberian gelar penghormatan ini berlangsung generasi demi generasi, sebagaimana tercermin dalam kasidah-kasidah dan teks-teks maulid.
Karena penghargaan abadi kepada para tokoh Ahlul Bait itulah, setiap alawi atau yang memiliki garis keturunan kepada Ali bin Abi Thalib, yang terbukti membimbing umat juga dipanggil dengan predikat ‘habib.” Ia adalah manifestasi dari harmoni dan relasi cinta yang santun yang terjalin secara natural, bukan hak paten (semacam merek dagang yang dipatenkan). namun ia adalah atribut yang disandangkan oleh masyarakat.
Secara kebahasaan, al-hubb (cinta) adalah bentuk generik dari al-habb yang berarti inti hati. Kata mahabbah berasal dari kata h abbah , yang berarti “benih-benih yang jatuh di padang pasir”. Ia adalah sumber kehidupan; laksana benih-benih yang ditebar di gurun pasir, lalu menyelusup ke dalam tanah kemudian menumbuhkan ilalang untuk dimakan onta dan satwa sahara lainnya. Betapa pun hujan turun mengguyur, matahari menyinari, dingin dan panas menerpa, biji-biji itu tetap lestari, tidak rusak oleh perubahan musim, malah tumbuh, mekar, berbunga, dan berbuah.
Ada yang mengatakan bahwa kata mahabbah yang berasal dari kata h ubb , memiliki arti “tempayan yang berisi penuh dengan tenang.” Dikatakan demikian karena cinta memenuhi relung hati dan menghapus lainnya. Kata h ubb dapat pula berarti “empat keping kayu pipa air,” karena pecinta dengan sukacita menerima apa saja yang dilakukan sang kekasih terhadap dirinya. Kata mahabbah dapat pula dikaitkan dengan asal kata h abab , yang berarti gelembung-gelembung air yang meluap tatkala hujan lebat menyiram dedaunan dan persada, karena cinta merupakan luapan hati yang merindukan penyatuan dengan sang kekasih.
Penganiayaan dan agresi, yang dilakukan secara sengaja maupun tidak, didasari dengan tujuan mulia maupun nista, bertentangan dengan substansi yang ada di balik kata ‘Habib”, yang berarrti ‘tercinta’ dan ‘pecinta’. Artinya, kitan mesti memberikan atribut sejuk ini kepada yang menebar cinta, bukan menjadikan kekerasan dan represi sebagai cara berdakwah.
Menurut sosiolog dan kriminolog dari Norwegia, Johan Galtung, tindak kekerasan (penganiyaan) tidak hanya meliputi pencurian, perampokan, pelecehan dan pembunuhan, tetapi juga kebohongan, indoktrinasi, intimidasi, tekanan, hiperbola dan sejenisnya, yang dilakukan untuk menghasilkan akibat terhalangnya aktualisasi kemampuan potensial mental dan daya pikir seseorang. Dari perspektif ini, pemberi komentar ini tidak kalah zalim dari pelaku kekerasan di Monas, karena ia melakukan kekerasan (ppenganiyaan) verbal yang berarti pemberangusan rasa kemanusiaan sekaligus rasa keindonesiaan.
Hati dengan cinta selebar lapangan Senayan akan memandu kita mencegah melakukan kezaliman fisik maupun pikir. Nalar setinggi Monas akan berfungsi sebagai menara pengintai yang online 24 sehingga bisa melihat setiap persoalan secara proporsional dan paripurna.
D engan nalar sehat dan hati yang bugar, kecerobohan sopir mikrolet yang mengakibatkan kecelakaan mesti dilihat sebagai sebuah peristiwa partikular, sebuah fragmen ketidakdisiplinan, bukan kesalahan yang mesti ditimpakan atas semua orang yang yang kebetulan memiliki kesamaan suku atau daerah dengannya. Nalar, sebagai wahyu inheren, terlalu berharga untuk diganti dengan luapan fanatisme dan kepongahan atas nama agama, suku dan himpunan himpunan artifisial lainnya.
Ironis, bila kata yang semestinya menyemburkan semerbak cinta dan menebar kesejukan, malah mulai diakuisisi atau diasosiasikan dengan inteloreransi, yang pada hakikatnya adalah ketakberdayaan menerima keragaman.
“Tafsirkan perilaku temanmu yang menyakitkan dengan tujuh puluh kali penafsiran yang baik,” kata Ja’far Shadiq. Karena itu, comment sableng itu pun aku loloskan sambil mengelus dada. (adilnews)