Hamas, Hizbullah dan Timur Tengah Baru
Oleh : Abdillah Toha (Anggota Fraksi PAN, Ketua Kerjasama Antar Parlemen)
Ketika presiden Otoritas Palestina, Mahmoud Abbas, berkunjuung ke DPR Oktober yang lalu, saya sempat meminta pendapatnya tentang rencana konperensi besar perdamaian Palestina yang dirancang Amerika Serikat di Annapolis. Menjawab pertanyaan saya apakah beliau optimis bahwa konperensi yang akhirnya diadakan pada 27 November lalu akan menghasilkan perdamaian dengan Israel, Abbas mengatakan bahwa ini bukan soal optimis atau pesimis. Otoritas Palestina katanya tidak ingin mengabaikan setiap peluang ( opportunity) yang ada untuk menyelesaikan konflik Palestina Israel. Kita semua sekarang tahu bahwa akhirnya Annapolis tidak menghasilkan apapun kecuali membuang-buang waktu para petinggi dari 52 negara termasuk Indonesia yang tidak berani menolak undangan negara super power itu.
Dalam perjalanan saya bersama delegasi Komisi 1 DPR RI ke Lebanon dan Suriah bulan lalu, kami sempat berjumpa dengan panglima dan sekjen Hizbullah, Sayyid Hasan Nasrullah, ditempat persembunyiannya di Lebanon. Juga dengan pimpinan Politbiro Hamas dalam pengasingan di Damaskus, Suriah. Dr Mosa Abu Marzoq, wakil presiden Polit Biro Hamas dan kawan-kawan dengan tegas mengatakan bahwa konperensi rancangan Amerika ini tidak akan menghasilkan apa-apa dan bahwa Abbas tidak punya mandat untuk mengambil keputusan apapun atas nama rakyat Palestina.
Mereka bahkan kuatir bahwa konperensi ini hanya merupakan langkah taktis mencari dukungan internasional sebelum Amerika melakukan aksi militer terhadap Iran. Hal yang sama katanya terjadi ketika pada tahun 2003 Amerika menyerang Iraq tidak lama setelah mereka mengambil inisiatif perdamaian yang dikenal dengan “roadmap to peace”. Pimpinan Hamas meminta agar Indonesia berhati-hati dalam merespon undangan Amerika. Jangan sampai kita terjebak kedalam agenda Amerika yang tidak sesuai dengan kepentingan dan aspirasi nasional kita.
Sayyid Hasan Nasrullah, yang terus memimpin Hizbullah dalam persembunyian karena Israel senantiasa mengintainya dengan bom dan peluru kendali yang siap diarahkan kepadanya, mengatakan kepada kami bahwa Israel tidak akan mungkin melepaskan Al-Quds dengan sukarela melalui perundingan. Israel hanya tahu satu bahasa, bahasa kekerasan. Amerika pun, menurut Nasrullah, juga tidak akan melepaskan kendalinya dari Timur Tengah sebagai salah satu sumber minyak terbesar di dunia, kecuali jika mereka terusir dari sana, sebagaimana mereka pernah terusir dari Vietnam, dari Lebanon dan dari Somalia.
Apalagi, sambung Nasrullah, pesaing baru Amerika, China, sebagai kekuatan baru dunia yang haus energi, punya satu kelemahan. Mereka tidak punya sumber energi. Penguasaan sumber energi Timur Tengah oleh Amerika dan sekutunya dengan demikian akan menambah daya tawar Amerika dan dapat digunakan sebagai alat penekan terhadap China.
Dampak Hamas dan Hizbullah
Hamas dan Hizbullah adalah gerakan yang tumbuh dengan bimbingan ulama, dan dengan garis perjuangan dan ideologi yang jelas. Keduanya mempunyai sayap militer dan politik. Para pejuang kedaulatan dan kemerdekaan ini dimasukkan dalam kategori “teroris” oleh Amerika dan sekutunya, sebagaimana juga dahulu para pejuang kemerdekaan Indonesia diberi label teroris dan ekstremis oleh penjajah Belanda. Ketetapan hati para pejuang Hamas yang menolak berunding dengan Israel tanpa agenda yang jelas, dan kemenangan Hizbullah serta kebehasilannya mengusir Israel untuk kedua kalinya dari tanah Lebanon tahun lalu, telah mengilhami dan menumbuhkan semangat baru dikalangan rakyat Timur Tengah.
Mitos Israel sebagai kekuatan militer ketiga terbesar di dunia yang tak terkalahkan, telah dibuatnya hancur berantakan. Nasrullah yang Syi’i menjadi idola rakyat Arab yang sebagian besar beraliran Sunni. Hamas yang Sunni dibantu oleh Iran yang beraliran Syiah. Pengaruh positif yang bisa membawa persatuan dikalangan Muslim Timur Tengah ini menimbulkan kekhawatiran dikalangan penguasa yang otoriter. Dan kekhawatiran ini dimanfaatkan oleh Amerika untuk mempertajam perbedaan antara pengikut Syiah dan Sunni dengan menciptakan konflik sektarian disana.
Disamping itu, Amerika juga berupaya untuk mempertajam politik adu domba dan pecah belahnya di Timur Tengah dengan memberi bantuan 30 milyar Dolar kepada Israel, 13 milyar Dolar untuk Mesir, dan menawarkan penjualan senjata canggih buatan AS senilai 20 milyar Dolar kepada Saudi Arabia, Emirat Arab, Oman, Qatar, Bahrain dan Kuwait. Dalihnya, bagi memperkuat pertahanan negara-negara tersebut dari “ancaman Iran dan Suriah”.
Bila terjadi konflik dengan Iran, baik Israel maupun Amerika akan jauh lebih memilih menggunakan tangan negara Arab untuk menghadapi Iran daripada menghadapinya sendiri. CIA dengan kecanggihan oprasinya tidak akan kesulitan menciptakan provokasi melalui insiden yang dapat meletuskan perseteruan militer antara Arab dan Iran.
Dengan memelihara ketegangan terus menerus di Timur Tengah melalui adu domba berbagai negara, kelompok dan faksi disana, pada dasarnya akan menguntungkan Amerika dan sekutu utamanya Israel dengan menciptakan ketergantungan kepada Amerika. Ujungnya berarti, disatu pihak memberikan kendali penuh atas sumber daya alam Timur Tengah ditangan Amerika, dan dilain pihak membiarkan proses perdamaian Israel Palestina tanpa ujung yang jelas.
Hamas dan Hizbullah sadar benar bahwa proses perdamaian ini sengaja dibuat berlarut-larut dengan harapan pihak Arab dan Palestina akan kelelahan dan putus asa sehingga pada saatnya nanti akan menerima syarat apapun yang diajukan Amerika dan Israel. Inilah yang dikuatirkan Polit Biro Hamas ketika kelompok Fatah dibawah pimpinan Abbas terdesak dan dibantu baik finansial maupun persenjataan oleh Barat.
Timur Tengah Baru.
Jatuhnya rezim Shah dan keberhasilan revolusi Islam di Iran, kemenangan Hamas dalam pemilihan umum yang demokratis di Palestina, kekalahan Israel oleh Hizbullah dalam perang 33 hari tahun lalu, serta berkuasanya partai AKP yang berhaluan Islam di Turki, telah mengubah peta politik Timur Tengah secara drastis. Situasi ini membuat Amerika sangat khawatir dan oleh karenanya fokus politik luar negerinya sekarang dialihkan untuk mengisolir Iran yang dianggap sebagai biang terjadinya perubahan disana. Iran juga dianggap sebagai satu-satunya kekuatan disana yang membahayakan eksistensi Israel.
Bahkan sekarang setelah Badan Tenaga Atom Internasional (IAEA) menafikan tuduhan rencana pemnegmbangan senjata nuklir oleh Iran dan laporan terbaru intelijen Amerika ( National Intelligence Estimates) minggu lalu melaporkan tidak ada bukti sejak 2003 bahwa Iran bermaksud mengembangkan senjata nuklir, presiden Bush dan Uni Eropa masih terus merencankan pengenaan sangsi kepada Iran.
Kampanye untuk menciptakan “Timur Tengah Baru” dengan meneriakkan slogan demokrasi disana yang terdengar nyaring pada awal periode kedua pemerintahan George Bush, kini sudah tidak terdengar lagi. Mengapa? Karena, bagi Amerika, demokrasi di negeri orang lain hanya baik bila pemenangnya adalah kelompok yang berpihak kepada Amerika. Kasus FIS di Aljazair dan Hamas di Palestina adalah bukti nyata.
Alasan lainnya mengapa Amerika menghentikan kampanye demokratisasinya, menurut Nasrullah lagi, karena Amerika sangat paham benar,dimanapun di Timur Tengah, bila demokrasi diterapkan dengan jujur, hampir pasti pemenangnya adalah mereka yang anti Amerika. Pemerintah hasil pemilihan umum di Irak yang dicurigai dekat dengan Iran pun kini diperlemah dengan merekrut dan mempersenjatai bekas pendukung Saddam, yang dikenal dengan the Sunni Awakening Group, dengan dalih memerangi al-Qaidah. Bahkan belum lama ini Kongres Amerika menelurkan sebuah resolusi untuk membagi Irak kedalam tiga negara berdasarkan etnis dan keyakinan agama.
Timur Tengah baru yang sekarang secara perlahan dan pasti mulai muncul adalah Timur tengah yang berlawanan sepenuhnya dengan kehendak Amerika. Dinegara-negara Arab yang pemerintahannya masih jauh dari harapan demokrasi, mulai timbul gerakan arus bawah yang menuntut kedaulatan rakyat secara diam-diam maupun terbuka. Sebagian dari mereka menoleh kepada negara demokrasi dengan penduduk Muslim terbesar seperti Indonesia untuk inspirasi dan bimbingan. Tahun lalu, atas prakarsa beberapa anggota Parlemen Arab, secara diam-diam diadakan pertemuan anggota parlemen Islam di Jakarta dan telah dibentuk Persatuan Anggota Parlemen Islam, diluar PUIC yang merupakan asosiasi resmi parlemen negara Islam.
Melonjaknya harga minyak mentah yang mendekati 100 dolar Amerika, merosotnya nilai dolar Amerika, kegagalan misi Amerika di Iraq dan Afghanistan, semuanya ini menunjuk kepada tanda-tanda waktu bakal berubahnya perimbangan kekuatan geopolitik dunia. Semua gejala ini juga terbaca oleh kelompok yang lebih cerdas di Amerika Serikat yang mendesak pemerintahnya untuk banting setir dengan mendahulukan diplomasi dari pada konfrontasi dalam menyelesaikan permasalahan dunia.
Kini tinggal masalah waktu. Cepat atau lambat, Timur Tengah juga akan bergerak mengikuti dinamika kehendak rakyatnya. Munculnya kekuatan baru Rusia dan China akan mempercepat proses itu. Dalam hal ini, Hamas dan Hizbullah adalah pionir dan sekaligus ujung tombak proses perubahan menuju sebuah Timur Tengah baru yang aspiratif dan bebas dari hegemoni asing. Insya Allah.( Majalah ADIL, 20 Desember, 2007)