Dalia Shams menghitung hari untuk menyambut cucu terbarunya yang akan datang beserta putrinya, beserta menantu dan cucu pertamanya yang berusia empat tahun. Kini, ia hanya bisa mendapati tubuh putrinya Marwa Al Sherbini, yang ditikam hingga tewas oleh seorang rasis Jerman di dalam ruang sidang pekan lalu.
“Putri saya sedang hamil tiga bulan,” ujar Dalia, ibu Marwa yang tinggal di Mesir. “Saya tidak pernah membayangkan ia akan menjadi korban terorisme dan kami akan melihat fotonya di media-media,” katanya berduka.
Marwa, 32 tahun ditikam hingga tewas oleh lelaki Jerman kebangsaan Rusia, 28 tahun, dalam ruang pengadilan di wilayah timur kota Dresden, Rabu (1/7) pekan lalu. Ia ditikam 18 kali. Sang suami, yang tengah mendiskusikan gelar Masternya bulan depan, terluka saat mencoba menghalangi untuk melindungi istrinya.
Lelaki itu kini berada di rumah sakit, dalam proses penyembuhan luka tikam dan tembakan polisi yang tak sengaja mengenainya. Sementara tubuh Marwa telah tiba di Kairo, Sabtu (4/7), pekan lalu, demikian menurut Kedutaan Besar Mesir di Berlin.
“Saya tidak pernah membayangkan saya akan kehilangan putri saya seperti ini,” ujar Dalia dengan air mata menetes hingga ke dagu. “Alih-alih menyambutnya dengan pelukan dan ciuman, saya kini menerima tubuhnya di dalam peti mati,” katanya.
Banyak yang meyakini jika Marwan dibunuh karena jilbah yang ia kenakan, begitu pula adik Marwa. “Saudari saya seorang martir jilbab,” ujar Tareq Al Sherbini, adik lelaki Marwa.
Ia mengatakan saudrinya telah berulang kali diserang oleh pembunuhnya, yang berkali-kali mencoba merenggut jilbab dengan paksa dari kepalanya. Saudara Marwa itu juga mendukung tuduah suami Marwa terhadap polisi Jerman yang lengah dan gagal melindungi saudarinya.
Wanita asal Mesir itu dilaporkan telah diingatkan sebelum sidang, jika ia harus melepas jilbanya untuk menghindari kemungkinan menjadi target penyerangan. “Sehari sebelum pembunuhan, seorang teman Marwa mengatakan ia harus melepaskan jilbabnya, karena berpotensi membahayakan nyawanya,” ujar seorang guru besar Fisika di Universitas Alexandria sekaligus teman keluarga Marwa, Hisham Al Askari. “Ia telah diberitahu jika ia dapat kehilangan nyawanya karena keagamannya,” tutur Hisham.
Jilbab telah lama menjadi subjek debat politik yang memanas di Jerman, negara tempat tinggal 3,5 juta Muslim. Beberapa negara bagian di Jerman melarang penggunaan jilbab bagi guru-guru sekolah.
Amina Nusser, seorang guru besar teologi dan filsafat pada Universitas Al-Azhar, mendukung dijadikannya wafat Sherbini sebagai Hari Jilbab Dunia.
Jenazah Sherbini telah dipulangkan ke tanah kelahirannya di Mesir. Ribuan warga Mesir yang berduka, berbaris di belakang peti mati Sherbini, Senin (6/7). Warga di kampung halamannya marah dengan serangan tersebut dan mengutuk respons lembek Jerman.
Dalam sebuah konferensi pers, juru bicara Pemerintah Jerman, Thomas Steg mengatakan serangan tersebut adalah rasis. Pemerintah, kata dia, mengutuk perubahan tersebut dengan tindakan keras. Tak pelak, pembunuhan Sherbini mendominasi headline media-media Mesir selama berhari-hari.
Hal itu berbeda jauh dengan media-media Jerman dan Eropa. Kasus pembunuhan bermotif rasisme dan Islamofobia itu cuma menjadi sorotan kecil. Islamonline menyebutnya tak lebih dari berita satu-dua kolom di halaman kriminal biasa.
Kelompok Muslim Jerman mengkritik pemerintah, petugas, dan media karena tidak memberi perhatian khusus terhadap kejahatan tersebut. (republika dan lainnya)