Beberapa hari lalu sepanjang jembatan layang di sejumlah jalan ibukota bendera-bendera kuning ukuran sedang berkibar-kibar ditiup angin. Yang jelas itu bukan bendera Hizbullah, karena ia adalah partai di Libanon. Para petinggi Partai Golkar sedang punya hajatan Rapim. Sungguh menggelikan, dulu, pada awal masa reformasi, bendera-bendera berlogo bringin itu tidak mungkin bertahan lebih dari sehari di jalan. Tapi kini, setelah berhasil membalikkan keadaan dan perolehan suaranya mendominasi DPR, orang iseng anti Orba yang mau mencopot bendera itu perlu mengantongi surat asuransi jiwa. Kini partai ini berjaya di lembaga legislatif dan kuat di eksekutif. Golkar dipegang oleh orang yang punya kekayaan dan kekuasaan.
Kekayaan dan kekuasaan adalah dua hal yang hingga saat ini dipandang sebagai tema yang cukup menarik untuk diperbincangkan. Mengapa? Ya, karena kekuasaan dan kekayaan sering dianggap sebagai sesuatu yang negatif, bahkan disepakati bahwa pemegang kekuasaan cenderung sewenang-wenang.
Apa relasi logis antara kekuasaan juga kekayaaan dengan kebaikan dan kebenaran. Relasi kontadiksi ataukah interseksi? Ini sangat penting untuk diuraikan agar tidak terjadi kesimpangsiuran analisa.
Kebenaran adalah nilai kesempurnaan intelektual. Secara primer hanya pikiran yang berhak menyandang predikat benar dan salah. Karenanya, “pikiran itu benar’ atau “ide itu salah”, menjadi ungkapan yang tepat. Sedangkan kebaikan adalah predikat primer bagi sebuah rasa atau sikap psikis. Karenanya, “berani itu baik” dan ‘kikir adalah buruk’ menjadi pernyataan yang tepat. Setiap perbuatan, sebagai aktualisasi dari pikiran atau rasa, dianggap baik atau buruk berdasarkan predikasi sekunder. Artinya, perbuatan ‘mencari kekuasaan’ dan ‘mencari duit’, misalnya, pada mulanya adalah aksi yang bebas dari nilai baik dan buruk.
Semestinya kekuasaan, sebagai akibat ‘mencari kuasa’, dan kekayaan, sebagai akibat ‘mencari kekayaan’, dipandang sebagai bersifat netral dan bebas nilai. Kekuasaan, sebagaimana ketidakberkuasaan, bisa baik dan bisa pula buruk, demikian pula kekayaan dan kemiskinan. Baik dan buruknya sebuah perbuatan sangat ditentukan oleh sejumlah syarat dan faktor, seperti subjek pelaku, tujuan, cara, sarana, bahkan tempat dan waktu. Kemiskinan sebagai lawan artifisial dari kekayaan bisa menjadi baik dan bisa pula menjadi buruk. Kemiskinan yang melahirkan energi negatif, seperti kedengkian, putus asa dan kebencian adalah sesuatu yang buruk. Kekayaan yang melahirkan kedermawanan, rasa syukur dan pengabdian, tentu adalah sesuatu yang baik, dan harus dicari.
Bila seseorang menerjang sebuah aturan dan menghalalkan segala cara untuk mencari kekuasaan, maka perbuatan ‘mencari’ itu adalah buruk dan ‘kekuasaan’ yang didapatnya juga menjadi buruk. Para pendukungnya yang membantunya meraih kekuasaan demikian pun bisa dianggap sebagai kontributor sebuah perbuatan buruk.
Kekayaan dan kekuasaan adalah ujian berat. Bila ia dikendalikan secara benar dan baik, juga dirasakan manfaatnya oleh orang lain yang berada di bawah kekayaan dan kekuasaanya, maka pemiliknya adalah orang yang baik dan benar. Itu berarti, kekayaan dan kekuasaan telah jatuh ke tangan orang yang tepat. Itulah rezeki yang patut disyukuri sekaligus dinikmati secara proporsional. Kemiskinan juga bisa menjadi rezeki bila ia mampu melahirkan energi positif, seperti tawakal dan semangat bertahan hidup.
Pemegang kekuasaan di negari yang sedang berusash payah melepas jerat-jerat ekonomi yang membelenggu ini, perlu bercermin kepada Mahmoud Ahmadinejad. Tanpa mengeluarkan sepeserpun uang untuk kampanye, ia dengan prilaku ‘apa adanya’ berhasil mengalahkan banyak kandidat yang jauh lebih tenar dan lebih bermodal. Tanpa kendaraan politik, baik partai maupun asosiasi petani dan semacamnya dan tanpa mengusung ‘partai wong cilik, ia menjadi pilihan kaum marjinal di seantero Iran. Ahamdinejad, pemuda yang menggabungkan militansi agama dan nasionalisme serta internasionalisme, membangun sebuah negara yang disegani oleh siapapun karena mengutamakan kepentingan nasional di atas segala ancaman embargo ekonomi dan diplomasi. Ia tidak mengemis perhatian ataupun dukungan dari siapapun, apalagi dari kekuatan imperialis dunia. Lebih dari itu, lelaki yang murah senyum dan ini tidak menyusun kabinet berdasarkan asas ‘per-konco-an’ (dagang sapi). Ahamdinejad tidak ‘bermain mata’ dengan Parlemen untuk mendukung kebijaksanaan-kebijaksanaan. Ia juga tidak terlihat gamang menjalankan amanat rakyat akibat beban ‘hutang budi’ kepada kekuatan-kekuatan politik yang menyokongnya.
Sosok Muhammad Yusuf Kalla adalah satu di antara sekian banyak putra Indonesia yang mendapatakan ujian kekayaan dan kekuasaan. Mampukah lelaki yang ramah ini mengendalikannya dengan benar dan baik? Apakah ia juga akan berskap ramah terhadap kekuatan asing yang memaksakan kehendaknya? Wallahu a’lam. Kita tentu diharamkan berputus asa dan pesimis. Kita semua berharap semoga masa suram ini akan segera berakhir. Kita masih optimis bahwa di antara sekian banyak elit politik n, ada beberapa calon pemimpin yang berjiwa ‘pelayan’ baik.
Semoga para pemegang kekuasaan atau para politikus yang gemar dengan rapat-rapat tidak menambah persoalan bangsa yang melarat ini rencana aksi balas dendam politik atau merecoki pemerintah dengan tuntutan penambahan jatah menteri. Sepatutnya iklim investasi yang lesu, daya beli masyarakat umum yang kian lemah, pertumbuhan jumlah penduduk yang tak terkendali, belum lenyapnya korupsi dari hulu sampai hilir dan segudang persoalan lainnya di negeri ini menjadi alasan yang tepat untuk menyalurkan potensi pada pengabdian, bukan kekuasaan maupun kekayaan. Kita tinggal menunggu. (copyright majalah dwimingguan ADIL edisi 05, 2006)