HIKMAH YANG MENJULANG: SECUIL TENTANG SADRAISME

HIKMAH YANG MENJULANG: SECUIL TENTANG SADRAISME
Photo by Unsplash.com

HIKMAH YANG MENJULANG: SECUIL TENTANG SADRAISMEe

Boleh jadi, sampai sekarang banyak orang yang belum akrab dengan pandangan-pandangan baru Mollâ Shadrâ yang membuatnya berbeda dengan pandangan para filosof sebelumnya.

Di tangan Mollâ Shadrâ, metafisika mengalami perubahan besar, suatu perubahan yang bisa dianggap sebagai lompatan maju dalam filsafat Islam. Lompatan ini sudah tentu didahului dengan aneka langkah perubahan bertahap yang telah dilakukan para filosof lainnya. Untuk lebih tegasnya, di masa lalu, Filsafat Peripatetik dan Ilmuminasionis mengambil dua pendekatan yang berbeda, sedangkan ‘irfân (mistisisme Islam) menapaki jalur yang terpisah. Kalâm (teologi) yang meneliti ajaran-ajaran Islam juga merupakan bidang yang terpisah dari ketiga bidang di atas.

Al-Hikmah al-Muta’âliyah adalah sintesis atas berbagai aliran pemikiran dan filsafat sebelumnya sebagaimana telah dijelaskan secara umum di atas. Namun, sebagaimana diakui Alparslan Acikgence, aliran baru ini juga menciptakan dimensi intelektual baru yang bukan sekedar ensiklopedia dialektis (menghimpun secara dialogis dan kritis berbagai teori dan pandangan) melainkan juga interpretasi segar dari berbagai khazanah tradisional.[[1]]

Sintesis ini dihasilkan tidak semata-mata oleh ‘rekonsiliasi’ dan ‘kompromi’ dangkal, tetapi atas dasar suatu prinsip filosofis. Toshihiko Izutsu, meskipun menyatakan bahwa aliran ini bisa dilihat sebagai “sesuatu yang didasarkan pada pengalaman trans-intelektual dan gnostik”, menyebutnya “suatu sistem rasional yang solid”.[[2]]

Perbedaan mazhab Peripatetik dan Iluminasionis kemudian didamaikan oleh Shadr-ud-Dîn Muhammad asy-Syirâzi sehingga mazhab filsafat baru yang tidak terbatas pada pendapat-pendapat Peripatetik maupun Iluminasionis muncul ke permukaan. Dalam beberapa isu, filsafat itu bersepaham dengan aliran pertama, sedangkan dalam beberapa isu lain bersepaham dengan aliran kedua. Karena itulah, al-Hikmah al-Muta’âliyah merupakan titik semua aliran pemikiran; Peripatetisme, ilmuniasionisme, mistisisme dan kalam.[[3]]

Al-Hikmah al-Muta’âliyah telah menyingkap sejumlah realitas yang selama ini masih misterius dan kabur. Ia telah mengganti sejumlah konsep filsafat yang sebelumnya dianggap baku dan tak bisa dibantah. Ia mendobrak dunia filsafat metafisika dengan konsep kesejatian wujud (ashâlah al-wujûd) dan menggugurkan klaim orisinalitas esensi (ashâlah al-mâhiyah)-nya Syuhrawardi dan para pendukung Iluminasi. Ia juga mengganti klaim multiplisitas wujud-nya Ibnu Sina dan para pendukung Filsafat Peripatetik dengan gagasan tentang unitas wujud yang gradual (al-wahdah fî ‘ain al-katsrah) dan gagasan tentang ‘wujud mandiri’ (al-wujûd al-mustaqil) dan ‘wujud bergantung” (al-wujûd ar-rabith). Shadrul-Muta’allihin (Penghulu para filosof ketuhanan) juga melahirkan konsep baru tentang ‘gerak substansial’ (al-harakah al-jawhariyah) dan memberikan penafsiran baru tentang kesatuan subjek ‘akal’ dan ‘objek akal’ (ittihad al-aqil wa al-ma’qul). Mullla Shadra juga memberikan kritik-kritik tajam atas para teolog, tak terkecuali para teolog Syiah, seperti Khajeh (Khawajeh) Nashiruddin Thûsi, Fadhil Miqdad, dan lainnya.

Al-Hikmah al-Muta’âliyah juga telah berhasil menjawab pelbagai hal yang menjadi titik pertentangan antara filsafat dan ‘irfân, seraya berupaya untuk lebih mempertahankan ajaran-ajaran Islam dengan tidak terjebak pada metode-metode teologi yang tengah digandrungi pada masa itu. Itulah sebabnya, mengapa filsafat mazhab Sadrian dinilai telah berperan sebagai titik persimpangan yang mempertemukan Peripatetisme, Iluminasionisme, ‘irfân, dan kalâm.[[4]]

Masih sejalan dengan tradisi filsafat, Subjek utama dalam filsafat al-Hikmah al-Muta’âliyah hanyalah ‘maujud sebagai maujud’, sebagai sebuah pengertian universal yang memiliki ekstensi (mishdâq) yang beragam. Sementara sasaran pengetahuan atau ilmu adalah mâhiyah, yang merupakan ciri pembeda antar segala sesuatu. Karena itulah filsafat bersifat sederhana dan unik. Kata Ibnu Sina, “filsafat adalah pengetahuan yang paling utama tentang objek yang paling mulia”[[5]]. Ia adalah filsafat yang utuh dan sederhana. Ia tidak dapat dipilah-pilah menjadi beberapa penggalan tema. Kalaupun dibagi, misalnya filsafat dalam arti umum (wujud) dan Filsafat dalam arti khusus (Tuhan), maka pembagian ini semata-mata demi mempermudah pencari kebijakan dan kebenaran, bukan karena objek pembahasannya berlainan.

Al-Hikmah al-Muta’âliyah telah bangkit dengan sebuah gagasan revolusioner, yaitu mengubah corak filsafat yang esensialis dengan corak yang eksistensialis. Kebangkitan ini telah menciptakan sebuah gairah baru dalam dunia filsafat yang sebelumnya menunjukkan gejala stagnasi sejak Ibnu Rusyd. Eksistensialimse Mollâ Shadrâ telah mencairkan kebekuan dan menghidupkan kembali stoa-stoa (hawzah-hawzah) di Esfahan, Teheran, Syiraz, Qom dan lainnya. [[6]]

Al-Hikmah al-Muta’âliyah bisa didekati dari beberapa aspek; dari metodologinya yang mengharmoniskan akal, kalbu dan teks-teks para Imam Syiah, tema-temanya (baik yang merupakan gagasan baru maupun gagasan lama yang disempurnakan) dan melaui perbandingannya dengan filsafat Barat baik Yunani kuno maupun modern.[[7]]

Al-Hikmah al-Muta’âliyah telah menyingkap sejumlah realitas yang selama ini masih misterius dan kabur. Ia telah mengganti sejumlah konsep filsafat yang sebelumnya dianggap baku dan tak bisa dibantah. Ia mendobrak dunia filsafat metafisika dengan konsep kesejatian wujud (ashâlah al-wujûd) dan menggugurkan klaim orisinalitas esensi (ashâlah mâhiyah)-nya Shuhrawardi dan para pendukung Iluminasi. Ia juga mengganti klaim pluraitas wujud-nya Ibnu Sina dan para pendukung Filsafat Peripatetik dengan gagasan tentang unitas wujud yang gradual (al-wahdah fî ’ain al-katsrah) dan gagasan tentang ‘wujud mandiri’ (wujûd mustaqil) dan ‘wujud bergantung” (wujûd râbith).[[8]]

Al-Hikmah al-Muta’âliyah juga telah berhasil menjawab pelbagai hal yang menjadi pertentangan antara filsafat dan ‘irfân, seraya berupaya untuk lebih mempertahankan ajaran-ajaran Islam dengan tidak terjebak pada metode-metode teologi yang tengah digandrungi pada masa itu. Itulah sebabnya, mengapa filsafat mazhab Sadrian dinilai telah berperan sebagai titik persimpangan yang mempertemukan Peripatetisme, Iluminasionisme, irfan dan kalam.[[9]] Memang, Metode al-Hikmah al-Muta’âliyah lebih mirip dengan metode filsafat Iluminasi, meski keduanya berbeda dalam prinsip-prinsip dan kesimpulan-kesimpulan. [[10]]

Meski demikian, al-Hikmah al-Muta’liyah dan pandangan-pandangan Mollâ Shadrâ tidak luput dari kritik dan tuduhan. Pada masa dinasti Qajar, para filosof di Teheran terbagi dalam dua kelompok. Salah satu dari dua kelompok tersebut mendukung filsafat Mollâ Shadrâ, seperti Âghâ Muhammad Qomsyeh’i dan Âghâ Modarres Zonuzi. Sedangkan kelompok lainnya adalah para filosof yang mendukung filsafat Ibnu Sina, seperti Mirzâ Jalweh. Para pendukung filsafat peripatetik aktif melakukan eksplorasi terhadap sumber-sumber filsafat Mollâ Shadrâ demi membuktikan bahwa ia bukanlah seorang filosof dan penggagas pandangan filsafat baru, namun hanyalah seorang penjiplak. Bahkan tidak sedikit filosof dari pendukung filsafat Ibnu Sina berani menggunakan kata pedas ketika berbicara atau menulis tentang Mollâ Shadrâ, seperti Âghâ Zhiya’ud-Dîn ad-Durri yang dalam pengantar buku Kanz al-Hikmah karya Syahrzuri menuding Mollâ Shadrâ sebagai plagiator karya Ibnu Sina.[[11]]

Namun, apabila mempelajari secara seksama karya-karya Mollâ Shadrâ dan sumber-sumbernya, dapat disimpulkan bahwa al-Hikmah al-Muta’âliyah adalah sebuah sistem pemikiran dan mazhab filsafat yang benar-benar unik dan baru, meski tidak terlepas dari jasa dan karya serta pandangan-pandangan yang pernah dikemukan oleh para pendahuluanya dalam filsafat dan irfan.

Read more