Skip to main content

Suatu hari seorang pemuda berencana mengungkapkan cinta kepada gadis pujaannya. Ia berjalan menuju rumahnya lalu mengetuk pintu.

Terdengar suara lembut di balik pintu, “Siapa kau?”
“Aku adalah fulan, lelaki yang tersiksa bila tidak mengungkap cinta kepadamu,” jawabnya dengan suara bergetar. Hening.

Sesaat kemudian, terdengar lagi suara lembut, “Pulanglah, kau tidak benar2 mencintaiku.”

Pemuda itu tersentak bagai disambar petir. Ia tertunduk lesu karena angannya lenyap. Sambil menyusuri jalan menuju rumahnya ia mengulang-ulang jawaban gadis pujaannya. Ia tak mengerti maksudnya

Beberapa hari berlalu. Setelah merenungkan dan merasa perlu memperbaiki perkataannya dan cara mengungkapkan cintanya, ia kembali bertandang ke rumah tautan hatinya.

Setelah mengetuk pintu, suara lembut menyentuh kendang telinganya, “Siapa kau?”

Pemuda itu tidak langsung menjawab. Ia mengambil napas dalam-dalam lalu berkata, “Aku adalah cintamu,” jawabnya tenang

Pintu rumah berderit dan terbuka sebagian.

“Senang mendengar jawabanmu. Tapi itu tidak mengungkapkan hakikat cintamu kepadaku. Pulanglah!”

Rasa gembira itu berlalu cepat karena “tapi” yang meluncur dari bibir ranum yang telah lama mengusik malam-malamnya.

Pemuda itu pun berbalik berjalan gontai mengikuti langkah kakinya menuju rumahnya. Sejak itu ia habiskan waktu untuk melakukan perenungan dan meminta nasihat para bijak.

Saat merasa menemukan jawaban yang tepat, ia kembali mengetuk pintu gadis pujaaannya itu.

“Siapa?” tannya gadis itu..

Ia tak langsung menjawab. Setelah menegakkan tubuhnya dan mengatur napasnya, ia berkata, “Aku adalah kau. Tak ada suara menyahut. ia tercekam oleh kebimbangan karena batas pengungkapan cinta hanya berlaku tiga kali dalam taklimat asmara para pujangga.

Pintu berderit, dan terbuka lebar. Wajah berpendar gadis berkerudung sutera pun menyeruak beriring suara lembut, “Masuklah. Kau memang aku, dan aku adalah kau.”